Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016. Perpu tersebut
salah satunya mengatur tentang hukuman tambahan bagi pelaku kajahatan
seksual terhadap perempuan dan anak berupa hukuman kebiri kimia. Pemerintah menilai bahwa kejahatan seksual pada
perempuan dan anak termasuk kategori kejahatan luar biasa. Karena itu, perlu penambahan hukuman untuk menimbulkan
efek jera.
Kaitan dengan ini, Presiden Jokowi mengatakan, dalam Perppu
itu, diatur tentang pemberatan pidana, yakni penambahan masa hukum sepertiga
dari ancaman pidana, dipidana mati, pidana seumur hidup, serta pidana penjara
paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun. Pidana tambahan yaitu pengumuman identitas pelaku, tindakan
berupa kebiri kimia, dan pemasangan alat deteksi
elektronik.
Namun yang menjadi perdebatan sekarang, siapa yang menjadi
eksekutor kebiri itu? Secara umum, pemerintah juga masyarakat luas berasumsi
bahwa pihak yang tepat menjadi eksekutor adalah para dokter sebagai bagian
utama tenaga kesehatan. Tapi keinginan tersebut menjadi sulit diwujudkan.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai oraganisasi yang
menaungi dokter sepertinya keberatan jika ditunjuk sebagai eksekutor. Mereka takut melanggar kode etik
seorang dokter yang wajib menghormati kemanusiaan. Termasuk soal naluri seksual
yang jadi kodrat manusia.
Wakil
Ketua PB IDI, Daeng M Faqih menegaskan, IDI
tidak dalam posisi setuju atau tidak. Tapi, saat ini sebetulnya masih
dalam pembahasan. Karena dalam internal IDI masih ada penolakan. Lalu, bagaimana bila secara resmi IDI
ditunjuk? Daeng mengatakan, pemerintah perlu membicarakan lebih lanjut dengan
pihak profesi. Sebab, hingga kini pun dia tidak tahu teknis soal hukuman kebiri
itu. IDI belum pernah diajak duduk bersama untuk merancang hal tersebut. (http://www.jpnn.com/)
Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Pusat Dr dr
Prijo Sidipratomo SpRad(K) mengatakan dokter menolak menjadi eksekutor kebiri
karena sangat bertentangan dengan kode etik. Sesuai kode etik, seorang dokter
harus menjadi pelindung kehidupan sesuai Pasal 11 Kode Etik Kedokteran. Dalam
penjelasanya, seorang dokter harus mengerahkan segala kemampuannya untuk
memelihara kehidupan alamiah pasiennya dan tidak untuk mengakhirinya.
Prijo beralasan, penolakan tersebut bukan
berarti dokter tidak mendukung hukuman untuk pelaku kekerasan seksual pada anak-anak.
Sebagai buktinya, dia setuju pelaku paedofil dihukum mati. Hal lain yang akan
menjadi ganjalan, seorang dokter bertindak harus dengan inform consent atau
persetujuan tindakan medis dari pasien atau keluarganya. Tanpa itu. dokter
tidak bisa melakukan tindakan medis. Persoalan, bagaimana jika pelaku paedofil
kemudian menolak memberikan persetujuan untuk disuntik kebiri?
Menanggapi
penolakan IDI di atas, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonanhan
Laoly mengatakan eksekusi itu, akan dilakukan dokter kepolisian jika dokter
umum menolak mengeksekusinya. Hal ini kata Yasonna bukan tanpa sebab, karena
hukum telah memerintahkam demikian. Kalau hukum yang memerintahkan kita harus
lakukan, tidak boleh menolak. Kalau IDI menolak, ada dokter polisi. karena hal itu
dilindungi Undang-undang.
Lebih
jauh, Yasonna mengungkapkan, hukuman kebiri sebagai hukuman tambahan bagi
pelaku kejahatan seksual tidak hanya diterapkan di Indonesia, melainkan juga di
beberapa negara lainnya, bahkan di beberapa negara Eropa. Tetapi ia menekankan,
hukuman tambahan juga mempertimbangkan sifat kejahatan yang dilakukan pelaku
kejahatan seksual tersebut. (republika.co.id/)
Sementara
itu, pihak Kepolisian telah menyatakan kesiapannya menjadi eksekutor hukuman
kebiri kimia jika ditunjuk oleh Peraturan perundang-undangan yang berlaku. Humas Mabes Polri, Irjen Boy Rafli mengatakan, andai diminta bantuan Kepolisian
siap. Untuk bangsa dan negara apa saja kita siap. Termasuk pelaksanaan hukuman
kebiri yang sedang jadi perbincangan publik. Tapi tentu kudu melalui proses
hukum terlebih dulu. Mekanisme peradilan. Menurut Boy Rafli, hukuman kebiri tergantung putusan hakim
dalam persidangan. Kesiapan Polri sendiri tergantung permintaan jaksa sebagai
eksekutor. (http://news.detik.com/)
Saran
dan solusi
Mencermati perdebatan
tentang eksekutor keberi kimia bagi kejahatan seksual terhadap perempuan dan
anak, hal-hal berikut bisa dijadikan sebagai solusi sekaligus saran untuk pihak
terkait. Pertama, jangan ciderai
perasaan korban kejahatan seksual.
Perdebatan publik diminta menjaga perasaan para korban kejahatan.
Seberat apa pun hukumannya, bagi mereka tidak cukup. Secara psikologis, tak
dapat mengobati. Tak menjamin masa depan mereka. Sebab itu semua elemen bangsa
wajib menyadari bagaimana penderitaan mereka akibat kejahatan seksual yang
menimpa.
Kedua, semua warga negara wajib taat hukum. Hukum tidak boleh kalah
oleh segala kepentingan termasuk kode etik kedokteran. Hukum bukan untuk
dilawan. Siapa pun kita kudu memahaminya. Karenanya, hukum musti dikedepankan.
Ketiga, mengedepankan hukum dibanding ego. Masyarakat luas
sebenarnya heran kenapa IDI menolak? Mereka mempertanyakan, sebetulnya
penolakan tersebut karena alasan etik profesi atau ego semata? Apa kode etik
lebih agung, lebih mulia dibanding penegakan hukum?
Apa kode etik
itu? Ratna Samil (2001) dalam buku Etika Kedokteran menjelaskan kode etik adalah pedoman perilaku yang berisi garis-garis besar, adalah
pemandu sikap dan perilaku. Dalam kedokteran, kode etik menyangkut dua hal. Yaitu Etik Jabatan Kedokteran ( Medical Ethics ) Ini
menyangkut masalah yang berkaitan dengan sikap dokter terhadap teman
sejawat, para pembantunya serta terhadap masyarakat & pemerintah. Kemudian
Etik Asuhan Kedokteran ( Ethics of Medical Care ) yakni mengenai sikap &
tindakan seorang dokter terhadap penderita yang menjadi tanggungjawabnya.
Memahami difinisi di atas, menurut hemat saya, kode etik tak
selayaknya megalahkan hukum. Hukum berada di atas kode etik yang sepantasnya
dijungjung tinggi oleh IDI atau para dokter. Untuk itu, saya kira IDI segera
menurunkan ego. IDI kudu siap berdialog dengan pemerintah memecahkan masalah,
mencari solusi. Tak tepat bila IDI bersikukuh, mempertahankan egonya.
Keempat, pemerintah
dituntut lebih cepat membuat aturan di bawah Perpu sebagai tindak lanjut
teknis. Bisa berbentuk Peratutan Pemerintah (PP), peraturan menteri terkait
atau lainnya. Sehingga ketidakjelasan siapa eksekutor kebiri segera terjawab.
Bisa jadi, IDI menolak karena dasar hukum teknis terkait masalah itu belum ada.
Dan IDI sepantasnya dilibatkan dalam penentuan siapa eksekutor kebiri tersebut.
Karena bagaimanapun secara medis mereka adalah pihak yang paling berkompeten.
Akhir kata, perdebatan tentang eksekutor hukuman kebirih
sah saja terjadi. Tapi, alangkah bijak bila perdebatan dan diskusi publik terkait
persoalan itu tak menciderai perasaan korban kejahatan. Cukup penderitaan
mereka terima dari pelaku. Kita tak boleh menambahinya. Karena itu, segera
pemerintah mencari solusi. Menerbitkan aturan di bawah Perpu mengatur secara
teknis pelaksanaan hukuman kebiri dan pemberatan lainnya. Untuk IDI, mengambil
sikap bijak nan arif adalah pilihan tepat saat ini. Tak perlu mengedepankan
ego, apalagi mengatasnamakan kode etik. Sungguh tak etis rasanya, kode etik
dijadikan tunggangan ego profesi oleh para dokter. Wa Allahu Alam