Saat
mengunjungi sebuah toko buku, saya mendengar informasi disampaikan. Bahwa untuk
hari ini ada discount 20% dalam setiap pembelian buku. Saya baru ingat, ini
terkait dengan Hari Buku Nasional. Saya pun memanfaatkannya. Saya membeli buku tidak
seperti biasanya. Hari itu, saya lebih banyak mendapatkan buku.
Setiap 17 Mei
diperingati sebagai Hari Buku Nasinal. Peringatan Hari Buku Nasional
dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2002. Hari Buku Nasional sendiri
merupakan ide Menteri Pendidikan Kabinet
Gotong Royong, Abdul Malik Fadjar. Tanggal 17 Mei diambil dari pendirian
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) di Jakarta yakni 17 Mei
1980.
Melalui
Hari Buku Nasional diharapkan memacu
minat baca masyarakat Indonesia, sekaligus menaikkan penjualan buku. Pasalnya,
di Indonesia, rata-rata hanya 18 ribu judul buku yang dicetak setiap tahunnya.
Jumlah tersebut jauh berbeda dengan negara lainnya, seperti Jepang dengan 40
ribu judul buku per tahun dan China dengan 140 ribu judul buku per tahun.
Terkait minat baca, Taufiq
Ismail pernah melakukan penelitian. Pada tahun 1996 menemukan perbandingan
tentang budaya baca di kalangan pelajar, rata-rata lulusan SMA di Jerman
membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Rusia 12 buku, Jepang 15 buku,
Singapura 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunei 7 buku, sedangkan Indonesia 0 buku.
Itu 20 tahun lalu. Bagaimana dengan
sekarang?
Sekarang,
seperti diakui oleh Mendikbud Anies Baswedan, mengutip data UNESCO, persentase
minat baca Indonesia hanya 0,01 persen. Dari peresentasi tersebut dipahami
bahwa dari 1000 orang hanya satu yang terbiasa membaca. Ini tentu sangat minim.
Juga memprihatinkan. Nampaknya, minat baca kita tidak mengalami perkembangan
yang menggembirakan.
Belum
lama, saya menyaksikan melalui media online betapa meriahnya pameran buku Big Bad Wolf. Kegiatan
yang dilaksankan di ICE Bumi Serpong Damai Tangerang itu ramai
dibicarkan di dunia maya. Dalam pameran yang
setiap hari libur buka 24 jam itu antusias pengunjung sangat tinggi. Mereka datang hingga tengah
malam. Mereka memborong buku. Maklum,
sebab di pameran tersebut buku dijual sangat murah. Mengamati kegiatan itu sepertinya
orang Indonesia suka membeli buku. Tapi kenapa
perkembangan minat baca di tanah
air tidak seiring dengan ramainya pameran buku itu? Apa bangsa kita hanya gemar
beli buku tapi tidak mau membaca?
Data lain
menyebutkan, berdasarkan sebuah
survei, Indonesia menempati urutan ke 60 dari 61 negara. Indonesia
hanya setingkat lebih tinggi dari Botswana, sebuah negara miskin di Afrika. Penelitian di bidang literasi yang
dilakukan oleh Central Connecticut State University di New Britain, Conn,
Amerika Serikat, menempatkan lima negara pada posisi terbaik yaitu Finlandia,
Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia. (The
Jakarta Post, 12 Maret 2016).
Berbagai data di atas menunjukkan betapa lemahnya budaya
literasi dalam masyarakat Indonesia. Bangsa kita masih mengandalakan apa
yang dilhat dan didengar dalam berpikir,
bersikap, dan bertindak. Berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik (BPS),
seperti ditulis selasar.com 29-5-2015,
pada tahun 2006 menunjukkan
85,9 persen masyarakat memilih menonton televisi daripada mendengarkan radio
(40,3 persen) dan membaca koran (23,5 persen).
Masyarakat belum terbiasa melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman
dari membaca. Mereka belum dapat mengaktualisasikan diri melalui tulisan. Membaca dan menulis
belum mengakar kuat dalam budaya bangsa Indonesia. Masyarakat lebih sering menonton atau mendengar dibandingkan
membaca apalagi menulis.
Kondisi di atas tidak hanya pada kalangan awam (masyarakat
umum), lingkungan terpelajar atau dunia pendidikan pun masih jauh dari apa yang
disebut budaya literasi. Peserta didik belum tertanam kecintaan membaca. Bahkan
guru dan dosen, tak sedikit dari mereka yang juga sama keadaanya. Itu bisa
dibuktikan dengan minimnya jumlah buku
yang dimiliki mereka. Perpustakaan sekolah yang tak terawat dapat menjadi saksi
bisu betapa civitas akademika itu jauh dari
budaya literasi.
Sebab itu, di awal tahun pelajaran 2015-2016 yang lalu, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan telah mengeluarkan peraturan
menteri (Permen), yang mewajibkan para siswa membaca buku 10 menit sebelum jam
belajar dimulai. Ini sebuah upaya menamkan, menumbuhkan minat baca peserta
didik. Diharapkan, kegiatan membaca itu berkelanjutan, menjadi kebiasaan hingga
hari tua.
Budaya
Literasi
Apa budaya litersai itu?
Budaya seperti disebutkan wikipedia.org diartikan sebagai sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, dan
meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga
dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan literasi dalam Kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
sesuatu yang berhubungan dengan tulis-menulis. Dalam konteks kekinian,
literasi atau literer memiliki definisi dan makna yang sangat luas. Literasi
bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis dan peka terhadap
lingkungan sekitar.. Maka secara sederhana, budaya literasi dapat didefinisikan
sebagai kemampuan menulis dan membaca
masyarakat dalam suatu negara.
Untuk
membangun budaya literasi, menurut hemat saya, beberapa langkah bisa dilakukan.
Pertama, menumbuhkan minat baca
sedini mungkin. Minat membaca diimulai dari keluarga. Orang tua wajib mendorong
putra-putrinya untuk membaca banyak buku. Tak cukup itu, mereka seyogyanya
memberi contoh. Mereka kudu terlebih
dahulu membiasakan membaca. Mereka dapat menciptakan lingkungan yang mendukung
menumbuhkan minat baca seperti menyediakan ruang baca dengan buku bacaan yang
cukup. Sebab itu, membeli buku dijadikan kebutuhan primer yang harus dipenuhi
dalam setiap bulannya. Menyisihkan uang bulanan untuk tujuan di atas menjadi
pilihan orang tua bijak dalam membangun
budaya literasi.
Kemudian, sekolah memiliki peran
penting. Di sekolah, anak-anak wajib dibiasakan membaca. Guru memberi teladan.
Mereka menanmkan kepada peserta didik kecintaan terhadap buku. Perpustakaan
sekolah (diupayakan ada) sepantasnya dikelola dengan baik. Sehingga
perpustakaan sekolah menjadi menarik untuk dikunjungi.
Di sekolah, budaya tulis menulis
dimulai. Peserta didik diajari menulis. Dalam setiap pembelajaran, guru dapat
menyisipkan kegiatan menulis atau mengarang. Osis dilatih mengelola majalah
dingding. Lebih jauh, pelajar SLTP atau SLTA dapat dipacuh untuk menerbitkan
buletin, jurnal atau lain.
Kedua,
subsidi buku. Di beberapa negara maju, pemebelian buku memperoleh subsidi
dari pemerintah. Sebagai negara berkembang yang mengejar ketertinggalan di
berbagai sektor, tak salah bila Pemerintah mengusahakan hal tersebut. Subsidi
akan membantu masyarakat dalam memiliki serta membaca buku. Ini terlihat
mustahil. Tapi selagi ada usaha dari semua pihak, saya yakin tidak ada yang mustahil.
Ketiga
mengoptimalkan peran perpustakaan daerah. Keberadaan perpustakaan daerah
selama ini belum menunjukkan perannya di tengah masyarakat dalam mendorong
minat baca. Keberadaanya antara ada dan tiada. Ini terkait dengan pengelolaan
dan pelayanan yang belum maksimal. Koleksi buku perlu ditambah. Perpustakaan
daerah diupayakan membuat terobosan dengan kegiatan menarik seperti lomba
menulis, lomba baca puisi, atau lainnya. Saya juga melihat sosialisasi masih
sangat kurang.
Ke
depan perpustakaan daerah diminta menjadi lokomotif minat baca masyaraat. Ini sebuah tantangan berat sekaligus tanggung
jawab dalam upaya menamkan budaya
membaca dan menulis. Kemudian, rasanya tidak rasional bila satu daerah hanya
satu perpustakaan. Sebab itu, perlu dipertimbangkan oleh pemerintah untuk
membangun perpustakaan umum di setiap kecamatan atau desa. Ini semata-mata
untuk mendekatkan bacaan ke masyarakat..
Keempat, menghargai karya tulis. Bangsa ini musti belajar mennghargai
karya orang lain. Dan karya tulis sepatutnya memperoleh tempat khusus, melebihi
karya lain. Pemerintah dituntut memilki perhatian khusus pada para penulis.
Pemerintah harus mendorong kegiatan penulisan juga penelitian.
Akhir kata, Hari Buku Nasional dimaknai tidak sebatas
serimonial belaka. Hari Buku Nasional harus mampu meningkatkan minat baca
masyarakat. Ini membutuhkan upaya bersama. Mengutip ungkapan Pak Anies
Baswedan, kita tidak boleh hanya sekadar membaca tapi harus mengajak orang lain
membaca. Lingkungan membaca harus diciptakan di mana saja kita berada. Dari budaya
membaca akan lahir budaya menulis. Membaca dan menulis itulah hakekat dari
budaya literasi. Wa Allahu Alam
Tulisan ini dimuat di harian umum Fajar Cirebon, Senin 23 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar