Sepekan belakangan, dunia dikejutkan
dengan kemenangan Shadiq Khan sebagai Wali kota London, Inggris. Shadiq Khan
merupakan muslim pertama yang menjadi Wali kota di Inggris. Dia mengalahkan
lawan politiknya dari partai konsevatif Zac
Goldsmith dengan
selisih suara yang cukup signifikan. Shadiq Khan memperoleh suara 57 persen atau 1,3 juta orang.
Kemenangan Shadiq Khan dalam
pertarungan merebut posisi Wali kota London itu seperti dongeng di negeri
modern. Hal itu disebabkan latar belakangnya sebagai orang biasa, kaum
pinggiran. Orang tua Khan adalah seorang imigran dari Pakistan yang mencoba
memperbaiki kehidupan di London. Ayah Khan hanya berprofesi sebagai sopir bus merah khas London yang menjadi kebanggaan Inggris.
Sedangkan ibunya seorang penjahit. Orang tua
Shadiq Khan yang imigran Pakistan
membuatnya sering mendapat olok-olok dari berbagai kalangan bernada rasial. Shadiq Khan tinggal di daerah etnis minoritas
yang kulturnya beragam dan merasakan betul suka duka menjadi seorang minoritas
di London.
Khan
lahir di London pada tahun 1970 dari pasangan imigran yang baru datang dari
Pakistan. Khan adalah anak kelima dari total delapan bersaudara. Dia tumbuh di
sebuah apartemen padat di Tooting yang dikenal dihuni warga multietnis dan
multikultur di London selatan. Komunitas sekitar Khan tinggal inilah yang
nantinya akan menempa Khan menjadi politisi yang bangga dengan keberagaman.
Khan
mendapat gelar di bidang hukum dari University of North London. Pada 1994
kemudian ia menjadi pengacara di firma hukum Christian Fisher. Di sinilah
kemudian ia berjumpa dengan pengacara Saadiya yang kemudian dia persunting
menjadi istrinya. Sebagai pengacara, Khan ahli di bidang pembelaan hak asasi
manusia. Pada 2008, ia ditunjuk oleh Perdana Menteri Inggris waktu itu, Gordon
Brown, menjadi seorang menteri. Ia menjadi Muslim pertama di Inggris yang
menjadi seorang menteri.
Sekarang,
Shadiq Khan adalah wali kota Muslim pertama
di ibu kota negara Eropa. Kehadirannya di London diharapkan oleh semua
pihak bisa menghapus islamophobia
yang sedang
merasuki Eropa, terutama setelah migran dari Timur Tengah menyerbu Eropa
akhir-akhir ini akibat konflik berkepanjangan di Jazirah Arab seperti Syiria,
Yaman.
Ada
beberapa hal yang mengejutkan atas kemenangan Khan di London. Pertama, latar belakang keluarga.
Seperti telah disinggung sebelumnya, Shadiq Khan berasal dari keluarga imigran.
Ia keturunan Pakistan. Anak kelima dari
delapan bersaudara itu dianggap datang dari kaum marginal di London. Latar
belakang itu tentu menggambarkan bagaimana kemampuan finansialnya. Sedangkan
lawannya dalam pemilihan Walikota London itu adalah anak seorag milyarder. Zac Goldsmith adalah putra taipan
keuangan James Goldsmith. Latar belakang keluarga seperti itu menyebabkan
Shadiq Khan terpojokkan secara rasial. Tapi, justru isu rasial itulah yang
mengantarkannya menjadi wali kota London.
Kedua, latar belakang
agama. Muslim adalah kaum minoritas di
Eropa secara umum termasuk London, Inggris. Di negeri yang mayoritas non
muslim, rasanya hampir tidak mungkin seorang muslim memimpin. Namun, ini nampaknya
tak berlaku bagi Shadiq Khan. Latar belakang agama, menyebabkan Khan dituduh
sebagai pendukung kaum ekstrimis. Shadiq Khan kerap kali dikaitkan dengan beberapa
link ulama yang mendukung para ekstremis.
Ketiga, Shadiq Khan menang
di tengah hembusan isu Islamphobia di Eropa. Yakni prasangka buruk dan sikap
diskriminatif terhadap Islam atau umat muslim. Terlebih setelah insiden teror
di Paris. Ini juga sebuah keajaiban nyata. Tapi begitulah. Kemajuan tekhnologi,
media, dan era keterbukaan mendorong pemilih bersikap rasional.
Pelajaran
Apa yang dapat dipetik dari fenomena
Shadiq Khan di London? Sebagai negara yang terus belajar dalam hal berdemokrasi,
apa yang dapat dipelajari dari kemenangan seorang Shadiq Khan? Menurut hemat
saya, ada beberapa hal yang bisa dijadikan pelajaran untuk kita di Indonesia.
Sebuah pelajaran berharga dari negara maju untuk negara berkembang seperti
Indonesia. Pertama, membangun
demokrasi rasional. Pemilihan (Pilkada,
Pilpres atau lainnya) dalam sistem demokrasi semestinya tidak hanya
menghasilkan pemimpin dengan perolehan suara terbanyak, tetapi juga pemimpin
dengan kompetensi dan integritas tinggi. Demokrasi seharusnya meritokrasi
ketika pemilih memilih pemimpin mereka berdasarkan kualitas kemampuan dan
integritas sang pemimpin, bukan karena kualitas-kualitas lain seperti suku,
agama, ras, atau golongan.
Mereka
yang memilih karena kualitas kepemimpinan, kompetensi, dan integritas pemimpin
ialah pemilih rasional. Sebaliknya, mereka yang memilih karena ikatan-ikatan
sosiologis seperti suku, agama, ras, golongan, atau organisasi serta politik
uang ialah pemilih emosional. Shadiq Khan menjadi pemimpin bukan saja
karena meraih suara yang terbanyak tetapi melahirkan para pemilih rasional.
Yaitu mereka yang memilih pemimpin berdasarkan rekam jejak, integritas, kejujuran, serta kualitas sang
pemimpin. Mereka memilih pemimpin yang memiliki visi-misi jelas, terukur.
Kedua, membuang kampaye hitam. Kaitan dengan Shadiq Khan,
menurut analisa Amir Sodikin, kampanye hitam Goldsmith telah membuat Partai Konservatif
kehilangan kantong-kantong suara yang didominasi kaum minoritas yang multietnik
dan multikultur. Tanpa memandang agama dan ras, mereka pada akhirnya memilih
kandidat yang tak mempersoalkan agama dan ras itu sendiri. (Kompas.com)
Kampanye hitam
tak akan digubris oleh pemilih rasional. Justru kampanye hitam akan menjadi
senjata makan tuan. Terkait ini, sebenarnya kita sudah memiliki pengalaman.
Anda pasti masih ingat Pilpres 2014, kampanye hitam terhadap Jokowi
menjadikannya unggul dan menang.
Kampanye hitam biasanya terkait dengan agama, suku, dan ras. Dan sekarang Shadiq Khan mengulang,
mengingatkan, serta menegaskan kembali hal itu. Sebab itu, ke depan, politik
kita harus bersih dari kampanye hitam baik di Pilkada atau Pilpres
Ketiga, mengesampingkan paksaan, kekerasan. Kampanye yang
bersifat ancaman tidak akan membuat takut. Justru sebaliknya, publik atau
pemilih akan bersikap negatif. Dan kempanye semacam itu akan menjadi bumerang.
Para pemilih akan berlarian meninggalkan. Mereka akan memilih sesuai
keyakinannya.
Keempat, tidak mempolitisi agama. Mempolitisi agama akan dimaknai
oleh masyarakat sebagai penodaan agama. Dan masyarakat sekarang tak akan
tertipu pada muslihat para politisi yang memanfaatkan agama. Politisasi agama
tak akan laku dalam masyarakat modern. Karenanya, politisasi agama sama saja
dengan bunuh diri politik.
Akhir kata, fenomena kemenangan
Shadiq Khan mengejutkan dunia. Seorang muslim imigran asal Pakistan terpilih
menjadi wali kota London. Shadiq Khan dapat dijadikan inspirasi untuk
demokrasi di tanah air. Bahwa demokrasi
itu harus rasional. Demokrasi rasional mengesampingkan semua yang berbau
kampanye hitam. Demokrasi rasional membuang jauh hal-hal rasis. Demokrasi
rasional tak pernah memanfaatkan isu agama.Wa
Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar