Seperti diakui Mendikbud, persentase minat
baca masayarakat Indonesia hanya 0,01 persen. Dari peresentasi tersebut
dipahami bahwa dari 1000 orang hanya satu yang terbiasa membaca. Ini sangat
memprihatinkan.
Sebab
itu, bulan Agustus 2015 lalu, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendikbud)
meluncurkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). GLS dikembangkan berdasarkan Permendikbud
Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Permendikbud tersebut
merupakan upaya untuk menumbuhkan budi pekerti pada peserta didik. Menggunakan istilah menumbuhkan bukan
menanamkan karena pada hakekatnya setiap anak memiliki budi pekerti dimaksud. Menurut
Mendikbud, Anis Baswedan menumbuhkan maknanya memberi ruang bagi
tumbuhkembangnya budi pekerti peserta didik.
Sebab, pada dasarnya anak sudah memilki modal dasar budi pekerti.
Dalam Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015
tentang Penumbuhan Budi Pekerti, guru diminta melakukan pembiasaan
mengajak peserta didik membaca buku selama 15 menit. Kegiatan 15 menit membaca itu
dilakukan untuk membiaskan mereka membaca. Buku yang dibaca tidak harus buku
paket atau kurikulum. Peserta didik bebas membaca buku yang disukai. Buku dapat
diambil dari perpustakaan atau membawa dari rumah baik dapat meminjam orang
tua, teman atau membeli sendiri.
GLS seperti disebutkan Kepala Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud, Mahsun bertujuan membiasakan dan
memotivasi siswa untuk mau membaca dan menulis guna menumbuhkan budi pekerti.
Dalam jangka panjang, peserta didik memilki kemampuan literasi yang tinggi. (http://litbang.kemdikbud.go.id/)
Sekarang bagaimana pelaksanaan GLS? Apa
cukup sekadar membaca 15 menit sebelum belajar? Tentu tidak. Membaca 15 menit di
awal jam pelajaran itu hanya salah satu upaya membiasakan, mendorong anak untuk mau membaca. Dengan pembiasaan tersebut
membaca diharapkan menjadi kebutuhan bagi peserta didik. Juga untuk menanamkan
kecintaan mereka pada membaca dan buku.
Dalam sebuah acara di TV swasta,
Mendikbud Anies Baswedan mengatakan, untuk mendorong minat baca masyarakat
sekadar membaca buku tak cukup. Dibutuhkan gerakan bersama. Di samping membaca,
kita harus mengajak orang lain membaca. GLS
merupakan usaha yang bertujuan untuk itu di lingkungan sekolah. Tapi
saya meyakini GLS di sekolah saja tak cukup. Perlu gerakan di tempat lain.
Gerakan itu harus bermula di keluarga dan diakhiri di lingkungan masyarakat. Ini
yang dimaksud gerakan bersama seperti diungkapkan sang Menteri. Sebab itu
permasalahan ini menjadi tanggungjawab setiap dari kita, bukan para pendidik di
sekolah semata.
Gerakan membaca di keluarga bisa
diupayakan dengan hal-hal berikut. Pertama,
teladan dari orang tua. Teladan menjadi sesuatu yang penting. Keteladan
lebih mudah diterima oleh anak dibanding perintah. Sebab, manusia memilki kecenderungan
melawan perintah. Karena dalam kata perintah terdapat perampasan ego seseorang.
Untuk itu gerakan membaca dalam keluarga harus dimulai dari orang tua. Ayah dan
ibu kudu membiasakan diri membaca
terlebih dahulu sebelum memerintah.
Kedua,
menyisihkan uang belanja untuk membeli buku. Sehingga di rumah memilki buku
bacaan. Terlebih bagi yang memilki anggaran lebih, membentuk perpustakaan kecil
di sudut rumah menjadi pilihan bijak. Untuk menamkan kecintaan pada buku, orang
tua dapat mengajak anak saat membeli buku.
Ketiga,
orang tua mengarahkan bacaan anak. Bacaan anak disesuaikan dengan usia
mereka. Bacaan untuk anak tak perlu dibatasi. Biarkan mereka memilih bacaan
yang disukai secara bebas. Orang tua cukup mendampingi dan membimbing.
Selanjutnya,
gerakan membaca di sekolah seperti yang
dicanangkan Kemendibud dengan GLS-nya. Kepala sekola dan guru harus
menyikapinya dengan baik. Guru dan semua civitas sekolah wajib melaksanakan. Gerakan
membaca di sekolah seyogyanya menjadi contoh bagi keluarga, masyarakat luas.
Bagaimanapun di sekolah adalah tempat manusia terdidik. Sangat ironis bila
sekolah sebagai lembaga pendidikan budaya membacanya lemah.
Sebab itu, selain kegiatan 15 menit
membaca setiap awal pelajaran juga diperlukan langkah lain, seperti
mengoptimalkan perpustakaan sekolah. Setiap sekolah idealnya memiliki
perpustakaan. Perpustakan sebagai sumber informasi, ilmu juga rujukan kudu
dikelola secara baik. Selama ini,
perpustakaan sekolah terbengkalai.
Pemerintah
tak sedikit memberi bantuan buku, juga gedung. Hanya pemerintah memang belum
bisa menyediahkan tenaga kepustakaan untuk sekolah. Karenanya, guru wajib
mengelolanya. Untuk ini, membutuhkan kesadaran tersendiri dari guru. Bagi
mereka yang tidak cinta buku, tak biasa membaca panggilan moral itu tak akan muncul. Sehingga kita
menyaksikan banyak perpustakaan sekolah yang keberadaannya antara ada dan
tiada.
Majalah dinging (mading) juga musti
ada di sekolah. Mading berfungsi untuk memberikan informasi. Melalui mading,
siswa bisa dilatih mengelola informasi. Mading dapat berfungsi sebagai korannya
sekolah. Di mading pula kreatifitas menulis bisa dikembangkan. Mereka yang
berbakat menulis, melukis atau lainnya dapat ditampilkan di mading. Ini akan
menjadi mootivasi luar biasa bagi peserta didik untuk melatih menulis dan
menghasilkan karya. Dan otamatis kegiatan membaca menjadi lebih semarak.
Kegiatan membaca peserta didik perlu
dipantau terus oleh guru. Sekolah dapat menyediahkan buku laporan membaca siswa.
Dalam setiap minggu atau bulan buku itu diperiksa guru. Guru dapat mengetahui
sejauh mana peserta didiknya membaca dalam seminggu atau sebulan? Sudah berapa
buku? Lebih jauh, mereka dilatih menulis ringkasan dari bacaan yang dipahami.
Ini tentu sangat menarik, bermanfaat dalam menumbuhkembangkan budaya literasi
anak.
Kemudian,
gerakan dalam masyarakat luas. Sebagai
anggota masyarakat, setiap dari kita harus berperan aktif dalam menggerakan minat baca.
Ketika membaca buku di berbagai tempat
seperti terminal, pasar, pinggir jalan
atau lainnya, saat itu secara tak sadar kita telah mengkampanyekan pentingnya
membaca. Saya kadang merasa malu melihat
orang asing yang berkunjung ke negara kita. Mereka telah terikat dengan bacaan
dan buku. Mungkin anda pernah menyaksikan turis asing itu ke mana-mana, di mana
saja membawa buku dan membacanya. Membawa buku seperti rokok bagi bangsa kita.
Walhasil,
gerakan membaca yang dilakukan dalam
keluarga, sekolah dan masyarakat luas diharpkan bisa merubah bangsa Indonesia
menjadli lebih berbudaya dan beradab. Budaya membaca akan mendorong budaya
menulis. Maka, di masa mendatang Indonesia tidak lagi menjadi negara terbelakang dalam budaya literasi. Namun, hal itu tidak
semuda membalik tangan. Butuh kerja sama, kesadaran tinggi, komitmen kuat serta
gerakan bersama dari masyarakat. Sekarang bagaimana dengan kita, apa sudah siap? Jawaban pertanyaan tersebut akan menentukan budaya
leterasi, minant baca khususnya dia
waktu yang akan datang. Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar