Secara berurutan, tanggal 1 dan 2 Mei
menjadi hari penting bagi kaum buruh dan para guru. Kedekatan dalam kalender
seakan mengisyaratkan kemiripan nasib kedua komunitas ini. Awal Mei diperingati
sebagai hari buruh dunia atau May Day sedangkan 2 Mei sebagai hari
pendidikan nasional. Setiap 1 Mei buruh memperjuangkan nasib mereka seperti
kenaikan Upah Minimum Regional (UMR), penghapusan sistem kerja kontrak
(outsouching), soal pesangon atau lainnya.
Kemudian
setiap 2 Mei guru terkoreksi tajam karena pendidikan nasional dianggap belum
menunjukkan kemajuan signifikan. Guru yang dianggap sebagai ujung tombak
pendidikan belum bisa menghadirkan pendidikan nasional yang maju dan berkualitas.
Tuntutan dan koreksi terhadap guru sayangnya tak diimbangi dengan upaya
perbaikan nasib mereka. Padahal bila
memperhatikan nasib (baca:kesejahteraan) sebagian besar dari mereka sangat
memilukan hati. Tentu bukan mereka yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Tapi guru honorer yang jumlahnya cukup banyak.
Jika
setiap May Day kaum buruh menuntut kenaikan UMR, bagi
guru bahkan UMR sendiri tak ada. Mereka
dibayar sesuai dengan kemampuan sekolah. Satu sekolah berbeda dengan sekolah
yang lain. Honor mereka jauh dari UMR daerah manapun. Masih banyak dari mereka
yang honornya di bawah lima ratus ribu rupiah. Uang tersebut tentu tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan hidup di daerah manapun. Honor 500 ribu bila dihitung
berapa perharinya? Tidak lebih dari 20 ribuan. Sungguh jauh dari kata cukup. Ini
memprihatinkan. Juga tak manusiawi.
Padahal bila dilihat dari peran dan fungsi mereka dalam pembangunan bangsa
terutama dalam menyiapkan generasi muda sangat luar biasa. Nampaknya cerita
dalam lagu Umar Bakri masih sangat relevan. Para guru honorer harus cukup puas sekadar
mendapat sebutan gelar pahlawan tanpa tanda jasa.
Kalau
setiap 1 Mei kaum buruh mempersoalkan pesangon, bagi guru honorer hal itu belum
terpikirkan sedikitpun. Tidak ada pesangon bagi mereka. Yang ada hanya secercah
harapan terkait janji pemerintah soal pengangkatan mereka menjadi PNS. Walau
demikian, mereka tak pernah mengancam mogok kerja. Mereka sadar bahwa mogok
kerja akan menelantarkan anak didik. Jangan dibayangkan bila mereka mogok masuk
sekolah. Anak-anak, peserta didik akan berhamburan meninggalkan kelas. Mereka
keluyuran ke jalan-jalan. Mereka berpotensi untuk bertindak negatif seperti
tawuran masal atau lainnya.
Harapan
satu-satunya adalah diangkat menjadi PNS. Itupun tak kunjung datang. Janji
pemerintah tentang hal itu pada pelaksanaanya meminta kesabaran lebih. Tidak
semudah yang dibayangkan perubahan status ke PNS itu. Jalan panjang serta
berliku kudu sabar mereka lalui. Bila tidak, kesempatan akan berlalu. Belum lagi
adanya praktek-praktek kotor dan permaianan curang sepanjang proses perubahan
nasib itu. Kesusksesan (menjadi PNS) bergantung pada ketebalan uang yang
bersangkutan. Wah, lebih ngerih lagi. Juga prihatin. Mimpi semakin jauh dari
kenyataan bagi mereka yang bermodal pas-pasan.
Ditambah lagi persaingan sangat ketat
sesama mereka. Semakin banyak orang tak sabar, untuk tak frustasi.
Paling
mutakhir terkait honorer K2. Secara mengejutkan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi membatalkan rencana pengangkatan 400 ribuan
tenaga honorer K2 menjadi Aparatur Sipil Negara. Awalnya pengangkatan itu akan
dilakukan secara bertahap mulai 2016
sampai 2019. Setiap tahun direncanakan akan diangkat 100 ribuan honorer
K2.
Janji pemerintah, kini hanya tinggal angan.
Penyebabnya, karena dukungan politik dari anggota DPR untuk proses pengangkatan
tenaga honorer K2 ternyata tidak berdampak pada ketersediaan anggaran. Sebelumnya, tepatnya 15
September 2015, di hadapan Komisi II DPR, Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Yuddy Chrisnandi berjanji
akan mengangkat seluruh honorer K2 sebanyak 439.965 orang.
Nasib dan Harapan
Hari buruh
tahun ini menyerukan beberapa tuntutan. Yakni nemolak
PP No. 78 2015 tentang pengupahan,
menaikkan upah minimum tahun 2017 sebesar 30%,
mengubah komponen KHL (kebutuhan hidup layak) menjadi 84 item, mendukung UU Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA) untuk
buruh & rakyat, dan menolak
pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), PHK sepihak, upah murah, kenaikan iuran BPJS Kesehatan serta menolak kriminalisasi aktivis pekerja atau buruh. (https://m.tempo.co)
Sementara
itu, dalam sambutan Hardiknas tahun ini, Mendikbud Anies Baswedan menekankan
pentingnya kualitas karakter, kemampuan literasi dan kompetensi. Ketiga hal itu
merupakan ketrampilan utuh yang dibutuhkan oleh anak-anak Indonesia di abad 21
ini. Ketiga hal itu menjadi tanggungjawab guru sebagai pencetak SDM Indonesia
untuk mewujudkannya. Ini bukan sesuatu yang mudah. Ini terkait dengan cita-cita
bersama yang kudu dinyalakan terus semangatnya seperti ajakan moral pada tema
hardiknas tahun ini, Nyalakan Pelita,
Terangkan Cita-cita.
Baik buruh maupun guru adalah aset
bangsa. Masing-masing memiliki peran dan fungsinya dalam pembangunan. Buruh
menjadi penggerak atau motor utama ekonomi nasional. Guru merupakan lokomotif
kereta bernama pendidikan nasional. Peran masing-masing harus diapresiasi oleh
negara atau pemerintah. Pemerintah tak boleh mengabaikannya.
Terkait
buruh, pemerintah mengapresiasi hari buruh dari tahun ke tahun
dengan baik. Kritik, saran, serta masukan para buruh menjadi acuhan pengambilan
kebijakan pemerintah berkaitan permasalahan buruh. Namun, penyelesaian masalah
buruh tak sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Ada pihak lain yang lebih
penting, yakni pengusaha. Para pengusaha seyogyanya bekerja sama dengan
pemerintah, mencari solusi setiap persoalan yang mencuat di seputar buruh.
Sebagian besar tuntutan buruh dari tahun ke tahun berputar pada isu yang sama.
Ini artinya penyelesai persoalan buruh dari tahun ke tahun tak pernah tuntas,
sampai ke akar permasalahan. Ini wajib menjadi perhatian semua pihak.
Untuk guru pemerintah telah
memberlakukan Tunjangan Profesi Guru (TPG). TPG merupakan upaya pemerintah
dalam meningkatkan kesejahteraan guru. Namun pelaksanaannya, TPG tak banyak
mengubah nasib guru honorer. Problemnya adalah bahwa sebagian
besar sekolah (baik yang dikelolah pemerintah maupun yayasan atau swasta) tidak
lagi memberikan honor setelah mereka mendapat tunjangan profesi atau sertifikasi. Tunjangan dari pemerintah
yang tujuannya menambah penghasilan
dijadikan pengganti honor yang sebelumnya mereka terima dari sekolah,
berbeda dengan guru berstatus PNS. Ditambah lagi pembayaran dilakukan tiga
bulan sekali (triwulan). Tiga bulan bukan waktu yang pendek bila dihadapkan
dengan kebutuhan hidup yang selalu merangkak naik.Tidak cukup sampai di situ,
pembayaran yang dijadwalkan tiga bulan sekali kerapkali terlambat, bisa menjadi
empat, lima sampai enam bulan.Tentu sangat memprihatinkan.
Lebih
sedih lagi, ada guru honorer yang telah bersertifikat sebagai pendidik
profesional (sudah lulus PLPG) tapi terganjal oleh aturan, tunjangan tak bisa
dicairkan. Aturan bahwa SK honor harus ditandatangani oleh Bupati/Walikota
sebagai salah satu syarat dalam pemberkasan usulan pencairan. Mereka adalah
guru yang honor di sekolah-sekolah
negeri. Sedang Bupati/Walikota tak bersedia menandatangani karena
terhitung 2005 tidak dipebolekan mengangkat tenaga honorer sesuai PP No. 5
Tahun 2005 tentang Pengangkatan tenaga honorer menjadi pegawai negeri sipil
pasal 8 yang menyebutkan, sejak ditetapkan Peraturan Pemerintah ini, semua
Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang
mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Walhasil
baik buruh maupun guru mereka adalah aset bangsa. Pemerintah harus memperhatikan nasib dan kesejahteraannya.
Momentum 1 dan 2 Mei diharapkan mengingatkan kita semua terutama pemerintah
tentang pentingnya peran mereka (buruh dan guru) dalam kemajuan ekonomi dan
pendidikan nasional. Menjadi kesalahan serius bila pemerintah mengabaikannya.
Dan tak berlebihan bila kaum buruh dan para guru honorer berharap kesejahteraan
mereka membaik di waktu mendatang. Wa
Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar