Demokrasi
adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam
pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan
warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam
perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang
memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. (https://id.wikipedia.org/)
Demokrasi di sebuah negara seperti
Indonesia mengalami pasang surut. Ada peniliaian terhadap perkembangan
demokrasi suatu negara. Indek demokrasi namanya. Indeks Demokrasi Idonesia
(IDI) terakhir dianggap membaik. Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus
2015 mencatat
Indeks Demokrasi Indonesia 2014 meningkat 9,32 poin mencapai angka 73,04. Ini
artinya demokras di negara kita membaik.
Meski meningkat tajam, Indonesia masih berada dalam kategori 'sedang'. (https://m.tempo.co/)
Sebagai proses dinamis, jika tidak
dijaga demokrasi bisa saja memburuk.
Menurut Musda Mulia (2015), demokrasi itu bukan sesuatu yang stabil.
Kapan waktu bisa anjlok. Ancaman demokrasi sendiri dilihat dari IDI ada dua faktor.
Pertama, kontribusi partai politik. Kalau kaderisasi kurang, tidak akan membawa peningkatan dalam indeks demokrasi.
Parpol tidak berjalan baik, praktis outputnya, anggota DPR-nya juga tidak akan
menunjukkan kualitas seperti yang tergambar sekarang. Itu bisa berimbas ke kinerja DPR yang memperburuk nilai demokrasi.
Kemudian,
ancaman kedua adalah soal peraturan daerah yang diskriminatif. Perda
diskriminatif ini ditunjukkan kepada kaum perempuan, lesbian, gay, biseksual,
dan transgender (LGBT), serta kaum disable (kaum penyandang cacat).
Jika ada Perda diskriminatit akan memperburuk demokrasi
Indonesia.
Sekarang
khalayak ramai mencemaskan apa yang dilakukan partai politik. Parpol dinilai
melakukan segala hal berdasarkan kepentinganya yang sempit dan sesaat. Parpol
hanya memandang dan mendahulukan kelompoknya. Partai politik tak melihat
sesuatu berdasarkan kepentingan bangsa dan negara. Kepentingan sesaat untuk
eksistensi diri partai menjadi perimbangan utama. Paling mutakhir, hal-hal di
atas tercermin dalam tarik ulur politik terkait revisi Undang-undang Pilkada. Rencana
revisi UU tersebut mendapat perhatian khusus oleh masyarakat luas.
Rencana
merevisi UU Pilkada muncul setelah Basuki Tjahja Purnama Purnama (Ahok)
memutuskan untuk menggunakan jalur independen (perseorangan) dalam Pilkada 2017
mendatang. Ahok yang fenomenal menjadi
inspirasi di beberapa daerah untuk mendorong tokoh potensial menjadi calon
kepala daerah lewat jalur independen. Eksistensi partai terancam. Kemudian
lahirlah tuduhan deparpolisasi. Akhirnya, kekhawatiran partai menjelma menjadi
wacana revisi UU tersebut.
Terkait
dengan revisi UU Pilkada, ada beberapa hal yang membuat cemas masyarakat luas.
Kecemasan itu tepatnya sebuah kekhawatiran tergerusnya demokrasi karena ula
partai politik. Paling mutakhir soal syarat dukungan calon independen. Kasak-kusuk anggota legislatif dari berbagai
partai seperti PDIP, Golkar juga lainnya telah mewacanakan meningkatkan syarat dukungan KTP
yang awalnya 6,5-10% dari jumlah daftar pemilih tetap menjadi 15-20% dari
jumlah daftar pemilih tetap dengan alasan agar seimbang dengan parpol.
Di sisi lain, tentang keharusan seorang anggota DPRD DPD, atau DPR RI untuk mengundurkan diri jika
ingin mencalonkan diri menjadi kepala daerah, partai politik justru secara sepihak menolak. Padahal hal itu sudah menjadi keputusan Mahkamah
Konstitusi (MK). Pada Januari 2015, MK
telah mengabulkan sebagian permohonan judicial review terkait Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang.
Dengan
putusan tersebut, maka Pasal 7 huruf s UU a quo dianggap inkonstitusional.
Pasal 7 huruf s mengatakan, bahwa anggota DPR, DPD, dan DPRD cukup
memberitahukan pencalonannya sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah
kepada pimpinan, sehingga tidak perlu mengundurkan diri. Dengan dikabulkannya judicial review berarti setiap anggota DPR, DPD, dan DPRD
harus mengundurkan diri saat mencalonkan diri menjadi kepala daerah.
Pemerintah
sendiri telah menyampaikan draf usulan revisi UU Pilkada. Pemerintah
menyebutkan 16 point materi usulan perubahan UU Pilkada tersebut. Salah satu
poin revisi versi pemerintah adalah terkait kewajiban anggota DPR, DPD, DPRD,
dan PNS agar mundur dari jabatannya jika hendak mencalonkan diri sebagai calon
kepala daerah. Pemerintah juga tak
mengusulkan perubahan pada syarat pencalonan perseorangan.
Kemudian
kekhawatiran publik lainnya adalah gelagat merapatnya hampir semua partai ke
pemerintah. Kekuatan penyeimbang di DPR hanya tersisa Partai Gerindra dan
Demokrat. Ini menjadi ancaman bagi
demokrasi. Ini terkait persoalan ketidakseimbangan kekuatan politik antara
pemerintah dan legislatif. Ketidakseimbangan seperti ini akan menghambat efektifitas Checks
and balances.
Checks and balances diperlukan untuk
pengawasan dan keseimbangan
antara pemerintah dan parlemen. Dalam checks
and balances system, masing- masing kekuasaan saling mengawasi dan
mengontrol. Checks and balances system merupakan suatu mekanisme yang menjadi tolok
ukur kemapanan konsep negara hukum dalam rangka mewujudkan demokrasi. Bila Checks
and balances tidak berjalan efektif,
demokrasi akan terancam, sulit berkembang.
Akhirnya, kita hanya bisa berharap pada konsistensi
Pemerintahan Jokowi-JK dalam menegakan demokrasi. Pada point ke-2 dalam Nawacita disebutkan, membuat
pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih,
efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya
memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan
melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu,
dan lembaga perwakilan.
Semangat demokrasi dalam point ke-2 Nawacita itu harus
ditagih. Jokowi harus menghadirkan kehidupan demokrasi yang lebih baik. Apa yang menjadi kekhawatiran rakyat akan
terancamnya demokrasi oleh Parpol wajib dihilangkan. Di sini, kepiawaian
Jokowi-JK dalam berpolitik dan menghadirkan demokrasi dipertaruhkan. Bila Jokowi merangkul semua partai bergabung
ke kabinet dengan menyisahkan satu atau dua partai di parlemen, maka hal itu tak bedanya dengan Parpol.
Jokowi telah melanggar janjinya sendiri terkait koalisi tanpa syarat dan
pemerintahan yang efeisien. Jokowi ikut mencengkram demokrasi. Demikian dengan
syarat bagi calon independen, Pemerintah
kudu mempertahankan syarat yang ada, tidak memberatkannya. Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar