Belum lama dunia pendidikan tinggi
dihebohkan dengan terbunuhnya seorang dosen oleh mahasiswanya sendiri. Nur Ain Lubis (63), dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) tewas setelah
ditikam mahasiswanya, Roymardo Sah Siregar (20), pada Senin (2/5/2016) sekitar
pukul 15.00 WIB.
Nur Aini Lubis
dibunuh di lingkungan kampus. Ketika ke kamar mandi, ia dibuntuti oleh pelaku. Saat
hendak mengambil air wudhu, sang dosen ditikam dengan pisau oleh mahasiswa
semester akhir itu di area kamar mandi/WC. Setelah menikam, pelaku lari ke
Fakultas Ekonomi. Belasan mahasiswa
langsung mengejar Roymardo. Sejumlah mahasiswa sempat mengeroyok pelaku,
sebelum petugas keamanan mengamankannya.
Menurut pengakuan dari berbagai pihak di kampus, bu Aini
dikenal sebagai sosok dosen yang disegani di UMSU. Dia dikenal rendah hati,
tetapi juga tegas kepada para mahasiswanya. Ain terbilang "ditakuti" oleh mahasiswi
Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan UMSU. Pasalnya, saat Ain memberikan
kuliah, para mahasiswi yang biasanya menggunakan celana jins harus membawa rok
cadangan. Sebelum masuk ke dalam kelas, para mahasiswi mampir ke kamar mandi
untuk mengganti celana jins dengan rok panjang agar diizinkan masuk ke kelas
oleh Ain. Dosen yang dikenal sangat disiplin itu marah bila melihat
mahasiswanya berpakaian tak rapi.
Dalam
mengajar, Ain lebih sering menggunakan teknik diskusi setelah menjelaskan mata
kuliahnya. Dia tak segan-segan menghukum
mahasiswanya bila berbuat salah di kelas. Para
mahasiswa juga gentar ketika berhadapan dengan Ain jika mereka hendak
mendiskusikan mata kuliahnya, tetapi tidak menguasai materinya.
Pembunuhan diduga
bermotifkan dendam. Pelaku sakit hati kepada yang bersangkutan karena beberapa
alasan. Pelaku merasa sering dimarahi. Dia juga kesal karena sering diberi
nilai jelek. Keduanya sempat cecok terkait bimbingan skripsi. Skripsi yang
dibuat kerapkali disalahkan oleh dosen yang mantan dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) tersebut.
Peristiwa di atas mengejutkan dunia pendidikan
nasional terutama di kalangan perguruan tinggi. Kasus ini mengingatkan kembali
bagaimana hubungan pendidik dan peserta didik yang semestinya. Dalam kasus itu,
hubungan keduanya dianggap memiliki masalah. Masalah bisa jadi datang dari
salah satu pihak atau keduanya (pendidik dan perserta didik). Maka wajib bagi
dunia pendiidkan untuk mengkaji ulang hubungan pendik-peserta didik tersebut.
Ini sebagai salah satu upaya agar kasus serupa tak terulang di masa yang akan
datang. Upaya ini paling tidak untuk memberi pemahaman yang sama oleh semua
pihak yang terkait.
Kemudian
bagaimana hubungan pendidik dan peserta didik itu kudu dibangun? Pendidikan
pada dasarnya adalah proses memanusiakan manusia secara manusiawi. Karenanya
semua proses pendidikan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian
itu sendiri. Nilai-nilai kemanusian harus dijaga oleh semua yang terlibat dalam
proses pendidikan. Tak terkecuali pendidik dan peserta didik sebagai pihak yang
paling dominan di dalam aktivitas pendidikan. Maka hubungan keduanya
sepantasnya dibangun berdasarkan nilai kemanusian.
Pendidikan
tidak lepas dari manusia sebagai objek didik. Manusia adalah mahluk ciptaan
tuhan yang paling sempurna di muka bumi yang memiliki ciri-ciri fisik yang khas.
Manusia juga dianugrahi dengan kemampuan intelegensi dan daya nalar yang tinggi
sehingga menjadikan ia mampu berpikir, berbuat dan bertindak ke arah
perkembanganya sebagai manusia yang utuh. Dan proses ke arah itu tak akan
terwujud bila hubungan pendidik dan peserta didik tak sehat, tak manusiawi
Hubungan
pendidik dan peserta didik yang dibangun atas dasar nilai kemanusian akan
mengesampingkan setiap hal yang mengarah tindak kekerasan. Kekerasan fisik
maupun psikis tidak boleh hadir dalam proses pendidikan. Di sini, masing-masing
dari pendidik atau peserta didik harus dapat bekerja sama, salaing mendukung,
saling mengormati. Kerja sama yang baik antara keduanya akan mempercepat
mewujudkan tujuan pendidikan.
Proses
belajar mengajar itu harus menyenangkan peserta didik juga pendidik. Dalam
belajar tidak boleh ada ketegangan. Belajar tidak juga menghadirkan ketakutan.
Untuk itu, menurut Munif Chatib (2014),
guru atau dosen sebagai pendidik kudu bisa memilih metode pembelajaran
yang menyenangkan. Pada titik ini, hukuman yang menyebalkan dan menyiksa bagi
peserta didik dianggap tidak tepat lagi sebagai alat pendidikan.
Selanjutnya,
proses pendidikan
dilakukan dengan cinta dan kasih sayang. Mengajar maupun belajar
dilaksanakan dengan hati. Mengajar atau belajar tidak boleh dengan emosi atau
amarah. Pendidik dan peserta didik dalam proses belajar mengajar wajib
menanamkan niat yang tulus, ikhlash. Niat belajar itu adalah menghilangkan
kebodohan, menggali ketrampilan untuk menyiapkan diri dalam kehidupan nyata.
Pada dasarnya, baik pendidik maupun peserta didik wajib memiliki
niat yang sama seperti disebut di atas. Dalam proses pembelajaran, idealnya
tidak ada superior. Guru atau dosen
sebagai pendidik tak lebih sebatas sebagai fasilitator, motivator, pembimbing
bagi peserta didik. Mereka semua pada hakekatnya sama-sama belajar.
Pembelajaran dengan hati yang menghadirkan cinta dan kasih
sayang akan menghadirkan kenyamanan, ketenangan bagi peserta didik juga
pendidik. Cinta dan kasih sayang seorang pendidik
tercermin melalui kelembutan, kesabaran, penerimaan, kedekatan, keakraban,
serta sikap-sikap positif lainnya dalam berinteraksi dengan lingkungannya,
khususnya dengan peserta didik. Sosok pendidik yang selalu menebar kasih sayang
pada peserta didik akan melahirkan sebuah kharisma. Peserta didik akan
mencintai guru dengan cara mengidolakannya, serta menempatkan dia sebagai sosok
yang berwibawa dan disegani. Cinta adalah sikap batin yang melahirkan
kelembutan, kesabaran, kelapangan, kreativitas, serta tawakkal. Jaring-jaring
cinta yang ditebar pendidik dengan penuh keikhlasan akan tersambut positif oleh
peserta didik. Dalam kalimat bijak
dikatakan, siapa menanam, dialah yang
akan memetik hasilnya.
Menurut
Ahmad Taufik, M.Pd dalam guruipskudu.wordpress.com,
pendidikan adalah sebuah dunia yang lahir dari rahim kasih sayang. Pendidikan
harus berlangsung dalam suasana kekeluargaan dengan pendidik sebagai orang tua
dan peserta didik sebagai anak. Pendidikan dilakukan dengan hati lewat ungkapan rasa kasih sayang (love), keikhlasan (sincerely), kejujuran (honesty), keagamaan(spiritual), dan suasana kekeluargaan (family atmosphere).
Singkat kata, insiden di kampus UMSU yang memilukan
itu harus menjadi yang terakhir. Tidak boleh ada kasus serupa di tempat lain,
pada waktu yang akan datang. Dunia pendidikan di tanah air seyogyanya
menjadikan insiden itu sebagai pembelajaran. Dunia pendidikan harus menata kembali, berbenah diri dalam
menghadirkan hubungan harmonis pendidik dan peserta didik dalam proses
pendidikan di sekolah atau di kampus.
Hubungan keduanya (pendidik-peserta didik)
dibangun atas dasar kesadaran bahwa pendidikan pada hakekatnya adalah upaya
memamanusiakan manusia. Dan tentu tidak boleh bertentangan dengan nilai kemanusian itu
sendiri. Pendidikan dilaksanakan dengan menghadirkan cinta dan kasih
sayang. Sehingga proses pembelajaran
akan menyenangkan bagi semua pihak baik peserta didik, pendidik, juga
lingkungan pendidikan. Karena itu, tak ada pilihan lain bagi para pendidik
kecuali mendidik peserta didik dengan cinta dan kasih sayang. Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar