Kemaren (10/11) dalam rangkaian
peringatan hari pahlawan, pemerintah telah menganughrahkan gelar pahlawan pada
seorang yang dianggap layak menjadi pahlawan. Yaitu kepada mereka yang telah
membantu, memberikan sumbangsih pada kemerdekaan Indonesia. Gelar ini hanya
diberikan kepada seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang
sekarang menjadi kawasan NKRI, yang meninggal dunia demi membela bangsa dan
negara, yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan
prestasi dan karya luar biasa bagi pembangunan, kemajuan bangsa, dan negara
Republik Indonesia.
Tahun
ini, gelar itu diberikan pada Kiai Haji Raden As'ad Syamsul Arifin. Berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 90/TK/Tahun 2016 yang disahkan pada 3 November 2016,
KH As'ad Syamsul Arifin ditetapkan sebagai Pahlawan nasional. KH As'ad Syamsul
Arifin merupakan tokoh yang berperan besar dalam membangun organisasi kemasyarakatan, Nahdlatul Ulama. Penghargaan tersebut diterima
cucu As’ad, yaitu Achmad Azaim Ibrahimy di istana negara dalam acara resmi
kenegaraan.
As'ad Samsul Arifin atau dikenal dengan
sebutan Kiai Haji Raden As'ad Samsul Arifin (lahir pada tahun 1897 di Mekah - meninggal 4 Agustus 1990 di Situbondo pada umur 93 tahun)
adalah pengasuh Pondok
Pesantren Salafiyah Syafi'iyah di Desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo. Ia adalah ulama besar sekaligus tokoh
dari Nahdlatul
Ulama dengan jabatan terakhir sebagai Dewan Penasihat (Musytasar)
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama hingga akhir hayatnya.[1][4] Ia adalah penyampai pesan (Isyarah) yang berupa
tongkat merupakan cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama. (https://id.wikipedia.org)
Selama ini
pemahaman tentang kepahlawanan selalu dikonotasikan pada mereka yang mempunyai
andil besar dalam perang kemerdekaan. Pemahaman sepertii itu sudah terasa
sempit jika diterapkan di era sekarang. Pengertian tentang kepahlawanan kudu
diubah, disesuaikan mengikuti perkembangan zaman.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia pahlawan adalah orang yang menonjol karena
keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau pejuang yang
gagah beran. Menngacuh pengertian ini setipa warga negara dapat menjadi
pahlawan. Tidak harus mereka yang ikut dalam perang kemerdekaan. Setiap dari
kita bisa mendapat gelar itu termasuk para penulis. Ya, penulis bisa menjadi
pahlawan.
Ada kesamaan
pahlawan kemerdekaan dengan para penulis. Pertama,
terkait persiapan. Seorang pahlawan pasti memiliki persiapan cukup matang
dalam menghadapi musuh (penjajah). Tidak mudah orang berangkat ke medan perang.
Demikian juga denga penulis. Penulis sebelum menulis sepatutnya memperisiapkan
banyak hal seperti data atau informasi, kajian kepustakaan, termasuk kemampuan mengurai buah pikiran,
serta mengelola kata sehingga enak dibaca. Penulis tak cukup bermodalkan nekad
atau keberanian jika tulisan ingin dibaca banyak orang dan mampu memberikan
pencerahan. Terlebih jika ingin membawakan perubahan besar masayarakat
sekitarnya.
Kedua, mengenal medan. Baik
pahlawan perjuangan maupun penulis harus mengetahui dan mengenal medan dengan
baik. Pejuang yang tak mengenal medan akan mudah menjadi korban. Demikian juga
dengan penulis. Medan penulis adalah adalah ruang pembaca, masyarakat yang
membutuhkan informasi, gagasan. Tidak memahami kebutuhan pembaca sama saja
seperti pejuang yang buta medan perang. Sebab itu seorang penulis dituntut bisa
menyesuaikan tulisan dengan pangsa pasar. Sebagus apapun tulisan seseorang jika
tak dibutuhkan pembaca maka tidak akan berdampak apa-apa. Tulisan menjadi
sia-sia.
Ketiga, memiliki senjata.
Senjata para penulis adalah goresan pena atau tulisan itu sendiri. Tulisan
ibarat pistol atau senjata lain. Penulis kudu mampu menggunakannya dengan baik.
Menggunakan senjata yang asal-asalan akan mematikan diri sendiri. Untuk itu,
penulis dituntut pandai dalam merangkai kalimat, mengurai gagasan, meracik
gagasan atau ide, menawarkan solusi, dan
menyampaikan informasi.
Kaitan
dengan ini kualitas seorang penulis sangat menentukan hasil sebuah tulisan. Tulisan
yang ditulis berdasarkan data dan fakta yang akurat, yang disusun dengan
kalimat jelas dan mudah dipaham serta menyajikan gagasan orsinil akan
digandrungi oleh banyak orang. Tak menutup kemungkinan tulisan seperti itu
menjadi motivator atau membawakan pencerahan bagi pembaca.
Nah, mau jadi pahlawan?
Jadilah penulis hebat. Penulis handal yang tulisannya dinanti oleh para
pembaca. Tulisan yang mencerahkan. Tulisan yang mendatangkan perubahan. Serta
tulisan yang menyuarakan kebenaran. Menjadi penulis handl memang tidak mudah.
Menulis tidak cukup sekadar menguasai teori. Menulis butuh praktek. Belajar
menulis adalah dengan menulis, munulis dan menulis.
Terakhir, layak tidaknya
penulis jadi pahlawan tidak hanya ditentukan oleh para pembaca tapi bagaimana seorang
penulis memperjuangkan sebuah kebenaran dengan gigih dan keyakinan. Kebenaran yang disuarakan oleh penulis akan
dirasakan oleh masyarakat. Saat itulah masyarakat menjuluki para penulis
sebagai pahlawan. Ya, pahlawan sang pejuan kebenaran. Selamat menulis. Selamat
berjuang. Merdeka! (Ditulis 11 Nopember)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar