Selama sepekan Presiden Jokowi
bergrilya, merapatkan barisan dalam menyatukan semua elemen bangsa pasca aksi
damai 4 Nopember. Dalam safari poliitik
konsolidasi tersebut tak terlihat para pemimpin parpol pendukung mendampingi.
Seorang diri, Jokowi meyakinkan dan mengajak rakyat menjungjung tinggi
kebinekaan, Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Saya tak menyaksikan satu parpol
pendukung pun, walau sekadar jumpa pers
menyatakan dukungan terhadap langkah yang diambil Jokowi. Mungkin sudah budaya
politik parpol-parpol kita. Menunggu arah angin lebih jelas, siapa yang
memenangkan permainan. Mereka terbiasa hadir saat menjelang akhir ketika happy
ending di depan mata. Padahal aksi 411 terindikasikan adanya upaya melengserkan
Jokowi dari kursi RI-1.
Setelah
arah angin mulai nampak jelas, Kemaren (13/11) Parta Amanat Nasiona (PAN)
menggelar Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas). Dalam sambutannya, Ketua umum
PAN, Zulkifli Hasan menegaskan, kita
mengapresisasi pernyataan presiden yang disampaikan beberapa saat lalu.
Presiden telah menyampaikan, menimbang, mengikuti aspirasi usulan umat muslim
terhadap yang ramai 4 November kemarin. Pemerintah telah merespons tuntutan
aksi. Dan saya sudah sampaikan langsung bahwa persoalan ini akan diselesaikan
secara hukum. Presiden tidak akan melindungi Gubernur petahana nonaktif DKI
Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.
Ucapan di atas bertolak belakang dengan sikap beliau ketika
mengizinkan (seperti halnya Fahri Hamzah dan Fazli Zon) para demonstran bermamalam
di gedung DPR-MPR. Sikapnya menimbulkan tanya, apa sebenarnya yang dipikirkan
sang Ketua saat itu? Apa beliau mengikuti irama atau skenario Fahri Hamzah dan
Fadli Zon? Apa Zulkifli Hasan sedang menyamakan posisi dengan besanya, Amin
Rais yang ikut juga berorasi dalam aksi tersebut?
Sikap Zulkifli Hasan yang memfasilitasi demonstran bermalam
di gedung DPR/MPR tak mencerminkan sebagai seorang negarawan. Sikap tersebut
lebih menegaskan posisi beliau sebagai politikus ulung. Politikus yang mampu
memposisikan diri mengikuti arah angin politik. Sebagai ketua PAN-pun, beliau
tak membuktikan diri menjadi partai pendukung pemerintah. Bagaimana beliau
mengizinkan demonstran bermalam di gedung parlemen saat aparat keamanan sebagai
kepanjangan tangan pemerintah berupaya membujuk perserta aksi menaati aturan,
membubarkan diri?
Sebagai
orang awam, saya tak mampu menerjamahkan permaianan politik semacam itu. Saya
hanya bisa menyimpulkan, kok seperti dagelan. Politik memang kerap seperti
dagelan. Tak ada lawan maupun kawan abadi. Yang ada kepentingan sejati. Politik
hanya mengupayakan kekuasaan. Tak perlu menimbang moralitas. Tak harus setia
dengan kawan. Tak malu berpelukan dengan lawan.
Dan Hari
Minggu lalu, di depan forum Rapimnas PAN, Presiden Jokowi menyampaikan
pandangannya. Presiden Joko Widodo mengaku heran dengan
kasus dugaan penistaan agama yang dituduhkan ke Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama atau
Ahok. Menurut Jokowi, kasus tersebut melebar dan malah menyeret namanya sebagai
Kepala Negara. Dalam aksi unjuk rasa 4 November,
tuntutan pendemo adalah Ahok segera diproses hukum. Namun, setelah aksi
tersebut tuntutan melebar hingga ada yang menyuarakan pelengseran Presiden.
Jokowi
mengatakan, Saya heran, ini kan urusan DKI. Lha kok digesernya ke presiden, ke
saya? Coba kita logika dan kalkulasi nalar saja. Kalau saya sih senyam senyum
saja. Ungkapan Jokowi tersebut merupakan sindiran halus namun kuat kepada
parpol-parpol pendukung pemerintah termasuk PAN, yang tak memposisikan diri
bersama dirinya sebagai kepala negara dan pemerintahan dalam mengadapi kasus
Ahok yang berujung aksi 4 Nopember beberapa waktu lalu.
Presiden
seakan menegaskan sebagai partai pendukung kemana kalian saat pemerintahan atau
negara dirorong? Kemanakah kalian ketika wibawa kepala negara dilecehkan? Kemana
kalian manakala pemerintahan Jokowi-JK hendak dijatuhkan, dilengserkan?
Semuanya Cuma menonton. Mengikuti permainan yang ditabuh oleh para oposan.
Aneh. Memang aneh. Kata teman saya, kalau gak aneh bukan Indonesia namanya. He,
hehe.
Aksi
damai 4 Nopember disamping menjadi ujian berat buat Presiden Jokowi juga dapat
dijadikan sebagai alat mengukur kesetian partai pengusung. Jokowi pastinya tak
bodoh. Dia akan mempelajari secara cermat. Kajiannya akan dijadikan
pertimbangan berikutnya saat mengambil keputusan terkait partai politik yang
mengusungnya.
Terakhir,
semoga ini menjadi pembelajaran bagi semua. Berpolitik itu sah, dilindungi oleh
konstitusi. Karena itu jangan cemari politik dengan prilaku kotor, mengejar
kekuasaan dengan segala cara. Politik bermartabat memberikan pembelajaran
berharga bagi rakyat. Begitu sebaliknya. (ditulis 14 Nopember 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar