Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
mengatakan, ia akan berdiri paling depan untuk menolak jika ada militer di
Indonesia yang hendak mengudeta Presiden RI selaku pemimpin pemerintahan dan
negara. Itu karena, menurut SBY, kudeta sama saja dengan
menggerus hasil kerja keras para perwira tinggi TNI yang dilakukan pasca reformasi
sampai hari ini. Kalau ada pemikiran
militer untuk melakukan kudeta, sekarang saya yang paling depan mengatakan
menolak dan tidak setuju. Kalau ada yang nekat melaksanakan kudeta, saya akan
berada di pihak yang berseberangan, karena itu merusak apa yang sudah kita
lakukan sampai hari ini. Hal ini disampaikan SBY dalam tanggapannya terhadap buku Transformasi
TNI karya Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo di Kantor CSIS, Jalan
Tanah Abang III, Jakarta Pusat, Senin (28/9/2015).
Lebih jauh, SBY menjelaskan,
jika hendak menyampaikan sesuatu terkait kondisi terkini, para petinggi TNI dan
Polri bisa langsung mengomunikasikannya ke Presiden. Penyampaian perlu
dilakukan dengan baik dan kontekstual. Itu karena ada mekanisme di mana
presiden memiliki ruang untuk berkomunikasi dengan Panglima TNI dan Kapolri. Kalau ada pikiran-pikiran TNI yang ingin disampaikan
kepada presiden, sampaikan di sini dengan cara yang baik, kontekstual sambil
memberikan rekomendasi, mungkin mengingatkan
juga tidak dilarang. Pasti presiden mendengarkan. Namun jika disampaikan dengan "jalur pintas"
melalui kudeta, maka demokrasi Indonesia yang sudah belasan tahun dibangun akan
rusak. Bahkan menurut SBY, bukannya semakin maju, demokrasi akan kembali mundur
ke belakang jika pengambilalihan kekuasaan dengan paksa itu dilakukan.
(Liputan.6.com)
(Liputan.6.com)
Pernyataan mantan Presiden, sekaligus Ketua Umum Partai Demokrat
itu mengejutkan banyak pihak. Seperti petir di siang bolong, statemen SBY itu
memunculkan banyak tanya. Laksana bola liar, isu kudeta yang digulirkan oleh Presiden
keenam akan menerjang setiap kelompok, elemen bangsa yang ada. Sebagian orang
mempertanyakan dari mana sumber informasi yang diterima SBY? Orang sekelas Pak
SBY apa mungkin menyatakan sesuatu tanpa ada sumber yang jelas? Karena
sebelumnya tak ada tanda-tanda tentara (baca:TNI) berencana mengkudeta
Presiden. Presiden dan tentara bahkan terlihat mesrah (baca:dekat). Presiden
Jokowi dikelilingi oleh para purnawirawan Jenderal seperti Sutiyoso yang
diangkat kepala BIN, Luhut Binsar Panjaitan Menkopulhukam dan lainnya. Selama
ini tidak terlihat gejolak di tubuh TNI terkait dengan Presiden. Kalau ada sedikit
kekecewaan itu dikarenakan mutasi yang dilakukan beberapa waktu lalu. Dan itu
juga masih dalam batas kewajaran.
Kalau pun pernyataan di atas ada sumbernya, Pak SBY pastinya
tidak akan langsung menelan menta-menta, mempercayainya. Tentu akan dikaji terlbih
dahulu sejauh mana kebenaran berita yang diterima. Dan SBY harusnya tidak
berbicara sembarang, asal-asalan. SBY bukan rakyat biasa. SBY mantan presiden.
SBY ketua umum sebuah Partai besar. SBY memiliki banyak pengikut, yang
mengagguminya. Apa yang dikatakannya akan sangat berpengaruh dalam masyarakat.
Tapi kenapa isu kudeta disampaikannya? Ini yang belum bisa dipahami oleh
khalayak.
Kemudian cara yang dipilih, menyampaikan langsung ke publik juga
dianggap tak tepat. Harusnya, sebagai seorang negarawan, SBY lebih baik
membicarakannya langsung ke Presiden Jokowi. Tapi kenapa cara bijak ini tak
dilakukannya? Bukankah hal itu lebih dapat mengelola konflik (kalau memang ada)
daripada membukanya ke publik secara terbuka. Karena hal itu dapat menimbulkan
salah tafsir, spekulasi, saling tuduh, saling mencurigai antara sesama warga
negara, elemen bangsa. Dan ini sangat bahaya bagi keamanan dan stabilitas
negara. Apa sebenarnya motif atau tujuan yang ingin dicapai Pak SBY di balik
isu kudeta yang disampaikannya?
Sebenarnya cara ini, menyampaikan sesuatu ke publik secara
terbuka, bukanlah yang pertama bagi SBY. Sebelumnya saat Pemerintah sibuk
merumuskan langkah, kebijakan yang akan diambil dalam mengatasi krisis ekonomi
SBY mengkritisi Pemerintahan Jokowi-JK secara terbuka dan mengusulkan beberapa
strategi, langkah yang harus diambil. SBY terkesan menggurui dan mendikte
Pemerintah. Padahal kalau beliau menyampaikannya secara langsung, Jokowi tak
mungkin menolaknya. Paling tidak akan dijadikan sebagai masukan. Saat itu orang
menilai Pak SBY terkena post power
syndrome. Apa yang dilakukakannya didasari pada perasaan atau bayang masa lalunya saat masih menjabat presiden.
Kemudian bola panas “isu kudeta” juga akan mengganggu stabilitas
keamanan dan politik yang pada akhirnya dapat mengganggu stabilitas ekonomi.
Para invsestor akan menahan bahkan menarik diri untuk menanam modal karena
faktor distabilitas keamanan yang dianggapnya mengancam. Padahal Pemerintah,
seperti yang sering disampaikan oleh Presiden Jokowi sedang berusaha keras
memperbaiki keadaan ekonomi dengan menjaga kondusifitas dalam negeri. Jokowi
meminta semua elemen untuk menjaga stabilitas keamanan, termasuk menghindari
segala macama kegaduhan baik politik, hukum, atau lainnya.
Karenanya, terkait dengan isu kudeta, anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), Syaiful Bahri Anshori mengatakan bahwa ia belum
melihat ada isu ke arah sana. SBY harus mengklarifikas, siapa yang mau
kudeta?" sebut Sekretaris Dewan Syuro DPP PKB itu di gedung DPR, Senayan,
Jakarta (Selasa, 29/9). Syaiful menjelaskan, sepengetahuannya Panglima TNI
Jenderal Gatot Nurmantyo siap menjamin Pemerintahan Jokowi-JK selama lima
tahun. Selain itu, tambah Syaiful,
Presiden Jokowi juga dalam periode kepemimpinannya saat ini, menginginkan TNI
yang kuat. (http://politik.rmol.co/read/2015/09/29/218998/Isu-Kudeta-Militer-SBY-Jauh-dari-Kebenaran-)
Akhir kata, sebagai pelempar isu, Pak SBY harus segera mengklarifkasi dan
menjelaskan kepada masyarakat apa yang menjadi kekhawatirannya berupa kudeta
militer. Bila tidak jangan salahkan kalau masyarakat menilainya hanya omong
kosong. Tidak ada pilihan lain kecuali kita menyebut hal seperti itu sebagai
bagian post power syndrome yang sedang
dialami SBY. Sebagai rakyat kecil seperti saya, kita hanya bisa menunggu
kedewasaan politk, kenegarawanan dari
mantan orang nomor satu di Republik ini. Selebihnya, kita diminta tak
mudah mempercayai atau menganggap isu sebagai sebuah kebenaran siapa, dan dari
mana pun sumbernya. Isu tetaplah isu. Akhirnya, menjaga persatuan dan kesatuan
menjadi pilihan akhir dalam menghadapi setiap persoalan, termasuk soal isu
kudeta. Wa Allahu ‘Alam
(Dimuat Di Harian Radar Cirebon, Kamis 1 Oktober 2015)