Koordinator
investigasi sekretaris nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
(seknas Fitra) Apung Widadi mengatakan sebenarnya gaji anggota dewan sudah
lebih dari cukup. Dari surat edaran Setjen DPR, setelah dipotong iuran wajib
anggota Rp 478.000, dan pajak PPH Rp 1.729.608, total gaji pokok dan tunjangan
bersih anggota DPR nilainya mencapai Rp 16.207.200. Yaitu terdiri dari gaji
pokok Rp 4.200.000, tunjangan istri Rp 420.000, tunjangan anak Rp 168.000. Uang
sidang paket Rp 2.000.000, tunjangan jabatan Rp 9.700.000, tunjangan beras Rp
198.000, dan tunjangan PPH Rp 1.729.608. Wakil rakyat juga menerima penerimaan
lain-lain, seperti tunjangan kehormatan yang jumlahnya Rp 4.460.000 untuk ketua
alat kelengkapan. Wakil ketua alat kelengkapan dewan mendapat Rp 4.300.000
sedangkan Rp 3.720.000 untuk anggota alat kelengkapan dewan. Ada juga tunjangan
komunikasi sebesar Rp 14.140.000, untuk semua anggota DPR. Selain itu anggota
DPR juga mendapat tunjangan peningkatan fungsi pengawasan dan anggaran Rp
3.500.000 untuk ketua alat kelengkapan, Rp 3.000.000 untuk wakil ketua alat
kelengkapan, dan Rp 2.500.000 untuk anggota alat kelengkapan. Anggota DPR juga
mendapat biaya penelitian dan pemantauan peningkatan fungsionalitas
konstitusional dewan sebesar Rp 600.000 untuk ketua alat kelengkapan dewan.
Wakil ketua alat kelengkapan dewan mendapat Rp 500.000. Anggota DPR juga
mendapat dukungan biaya bagi anggota komisi yang merangkap anggota badan
panitia anggaran sebesar Rp 2.000.000 untuk ketua alat kelengkapan, Rp.
1.500.000 untuk wakil ketua alat kelengkapan, dan Rp 1.000.000 untuk anggota
alat kelengkapan. Belum cukup, pemerintah juga memberikan dukungan biaya
listrik dan telepon Rp 5.500.000 untuk semua anggota DPR. Selain itu, juga ada
biaya penyerapan aspirasi masyarakat sebesar Rp 8.500.000 untuk semua anggota
DPR.( http://www.jpnn.com/)
Kinerja
menurun
Berbagai
tunjangan dengan angka-angka cukup besar itu sayangnya tak dibarengi dengan
kinerja yang baik. Kinerja DPR RI periode 2014-2019 ini dinilai banyak kalangan
tak lebih baik dari periode sebelumnya, bahkan
cenderung lebih buruk. Mereka hanya ribut dan gaduh terkait dengan
kepentingan politk masing-masing. Sejak
pelantikan, mereka memperebutkan kursi pimpinan dan kelengkapan dewan
lain. KMP dan KIH mempertontonkan keegoan, ambisi masing-masing. Energi
terkuras habis berbulan-bulan dalam perkelahian ini. Saya ingat ucapan Presiden
Abdurrahman Wahid yang menjuluki mereka (baca:anggota Dewan) anak TK.Ucapan
yang dulu menggemparkan politik tanah air itu ternyata benar adanya. Kedewasaan
rakyat pilihan ini tak terlihat sama sekali. DPR lebih
senang mempertunjukan sandiwara koaliasi KIH dan KMP, ajang tarik menarik
kepentingan politik kelompok, tawar menawar dan bagi-bagi kekuasaan dan
pertunjukan lain yang tidak seharusnya terjadi.
Dalam hal legislasi, DPR juga terlihat miskin prestasi. Dari 39
Rancangan Undang-Undang yang masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) tahun 2015, hanya tiga RUU yang telah selesai dibahas dalam
keputusan Rapat Paripurna. Sebuah prestasi yang sangat tidak sebanding dan tidak seimbang dengan kecerdasan dan kepintaran
yang mereka miliki serta pendapatan yang
mereka terima setiap bulannya. Kaitan dengan ini, Wakil ketua DPR, Agus Hermato
sendiri mengakui bahwa dalam hal pembahasan Undang-undang anggota dewan jauh
tertinggal dari target yang telah ditetapkan mereka sendiri
Belum lagi soal kehadiran. Kebiasaan membolos saat sidang
sudah menjadi rahasia umum yang memalukan sekaligus memilukan. Sampai dalam
acara sepenting peringatan ulang tahun DPR RI yang ke-70 saja hampir separuh
lebih anggota tak hadir. Berdasarkan laporan CNN Indonesia,
anggota dewan yang datang pada acara terssebut tercatat hanya 288 orang dari total 560 orang
anggota. Anggota dewan yang datang berasal dari PDIP 65 anggota, Golkar 50
anggota, Gerindra 35 anggota, Partai Demokrat 25 anggota, PAN 22 anggota,
PKB 25 anggota, PKS 21 anggota, PPP 20 anggota, Partai NasDem 15
anggota dan Hanura 10 anggota. Bukankah ini memprihatinkan? Di mana
tanggung jawab mereka sebagai wakil rakyat? (http://www.cnnindonesia.com/)
Walhasil, tak adil dan tak masuk akal rasanya bila kinerja
buruk anggota DPR diapresiasi dengan kenaikan tunjangan mereka. Apalagi
kenaikan dilakukan saat kondisi ekonomi negara yang sedang krisis. Sungguh, tak
etis. Apa mereka tak memilki rasa empati pada rakyat yang diwakilinya yang sedang kesulitan dalam segala hal?
Sekarang saatnya mereka berpikir ulang, merenungkan apa yang telah diusulkan
setelah rakyat menjerit, meneriakkan ketidakadilan. Saya kira belum terlambat
bila mereka merubah keputusan, membatalkan kenaikan tunjangan. Apa itu mungkin?
Hanya waktu dan hati nurani anggota Dewan yang terhormat yang akan menjawabnya.
Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar