Honorer
kategori dua (K2) yang belum terangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil
(CPNS) , Selasa, 15 September 2015 .melakukan aksi besar-besaran di gedung DPR,
Senayan, Jakarta. Honorer yang mayoritas
para guru ini menuntut diperlakukan yang sama. Seperti dengan kebijakan DKI
Jakarta yang mengangkat 5.421 guru bantu menjadi CPNS. Kalau mereka diangkat, kenapa kami tidak. Kami juga anak
bangsa, kami juga mengabdi, kata Ketum
Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) Titi Purwaningsih. Bahkan mereka sempat
mengancam akan mengepung istana bila tuntutan tidak terpenuhi. Namun sebelem ke
istana, mereka pantas bernapas lega. Pasalnya, tuntutan untuk diangkat menjadi calon pegawai
negeri sipil (CPNS) kini terpenuhi.Di hadapan
Komisi II DPR, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (MenPAN-RB) Yuddy Chrisnandi memutuskan mengangkat seluruh honorer K2
sebanyak 439.965 orang. Setelah kami
berhitung dan mempertimbangkan dampak positif dan negatifnya, kami putuskan
untuk mengangkat seluruh honorer K2. kata Yuddy pada rapat kerja Komisi II DPR
di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (15/9). Yuddy bahkan menambah lebih dari jumlah honorer K2. Jika
hanya tercatat 439.965, ia membulatkan menjadi 400 ribu orang. Proses
pengangkatan ini tidak dilakukan secara serentak melainkan bertahap. Pengangkatan
dimulai pada tahun 2016 sampai 2019. (http://www.jawapos.com/)
Janji Men-PAN-RB di
atas menjadi angin segar dan berita menggembirakan bagi tenaga honorer di tanah
air. Tapi berita gembira ini akan menjadi sekadar iming-iming yang mirip mimpi
di siang bolong bila para honorer tidak menindaklanjutinya dengan meneruskan
perjuangan mereka sampai Pak Menteri membuktikan janjinya untuk menuntaskan
pengangkatan tenaga honorer menjadi pegawai negeri sipil. Janji tersebut hanya
pijakan awal yang harus diikuti dengan langkah-langkah berikutnya. Jika tak ada
langkah dan gerakan konkrit setelahnya, maka janji akan menjadi janji semata,
tak akan terbukti. Janji pemerintah itu harus dikawal, ditagih, dan tentu
disikapi secara rasional oleh honorer
Menjadi PNS (seperti dijanjikan) bukan sesuatu yang mudah, tanpa
rintangan. Tapi sebaliknya. Dan itu harus disadari oleh semua tenaga honorer.
Ini juga diakui sendiri oleh juru bicara
Men-PAN-RB,
Herman Suryatman saat menerima informasi rencana silaturahmi akbar eks K2 yang
dikoordinasikan oleh Forum Honorer K2 Indonesia bersama Persatuan Guru Republik
Indonesia (PGRI) di kantor KemenPAN-RB beberapa waktu lalu. Beliau menegaskan,
kami dan khususnya Pak Menteri, sangat simpati terhadap nasib eks K2. Kami
tengah menyiapkan skema untuk menangani persoalan ini. Memang tidak seperti
membalikan telapak tangan, perlu waktu dan proses. Dari sisi humanisme kami
harus memperhatikan keadilan, tapi di sisi lain penyelesaiannya tidak boleh keluar
dari peraturan perundangan.
Tapi paling tidak
janji tersebut membuat hati tenaga honorer sedikit lebih tenang. Mereka bisa
bekerja kembali dengan baik dengan tetap berjuang merubah nasib agar kehidupan
mereka lebih sejahtera. Mereka harus terus merapatkan barisan, bersatu. Mereka
akan dihadapkan banyak permasalahan dalam proses panjang (menjadi PNS)
tersebut. Hal itu butuh kekompakan, kebersamaan dalam gerak dan langkah.
Hindari intrik atau perpecahan antara sesama honorer. Karena itu akan menjadi
hambatan serius bagi mereka. Manfaatkan setiap momentum yang ada untuk menagih
janji pemerintah tersebut.
Pengalaman Honorer
sebelumnya
Pengangkatan
honorer menjadi PNS sebenarnya bukan hal baru. Sebelumnya pemerintah telah
melakukannya pada tahun anggaran 2007, 2008 untuk Guru Bantu Sementara (GBS)
juga honorer lainnya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 2015 tentang
pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai negeri sipil (PNS). Disusul
dengan pengankatan honorer Kategori 1. Honorer K.1 adalah mereka yang tersisah
dalam pengangkatan di anggaran 2007 dan 2008. Dan yang terakhir (anggaran 2015)
sebagian kecil honorer K.2 telah diangkat CPNS. Berdasarkan pengalaman
sebelumnya, menurut hemat saya ada beberapa catatan yang dapat disikapi,
dipegangi oleh honorer dalam proses dan perjuangan mereka, pertama, hindari atau tepatnya jangan mudah percaya dengan
janji-janji dari oknum manapun yang menawari membantu proses pen-CPNS-an.
Kebijakan pemerintah pusat yang menjanjikan pengankatan tenaga honorer menjadi
CPNS bisa disalahgunakan oleh oknum di daerah untuk melakukakan tindak penipuan
terhadap para honorer. Mereka menjanjikan banyak hal dari soal pemberkasan, SK
pengangkatan sampai masalah penempatan. Tentu mereka tidak menjanjikannya
secara gratis. Mereka meminta uang yang tidak sedikit sebagai imbalan jasanya.
Berdasarkan pengalaman, tidak sedikit
honorer yang terbujuk, dan pada akhirnya tertipu.
Kedua, ikuti semua proses yang ada,
jangan ada yang tertinggal baik berupa pendataan, pemberkasan maupun lainnya.
Karenanya, ikuti setiap perkembangan
proses yang sedang berjalan. Informasi dapat diperoleh dari pemerintah dalam
hal ini instansi terkait baik di daerah atau pusat, media (cetak-elektronik),
organisasi honorer baik di pusat atau daerah, juga dari sesama honorer.
Ketiga, jalin komunikasi
berkesinambungan dengan pemerintah, instansi terkait baik di daerah maupun
pusat. Itu dapat dilakukan baik dengan audiensi, rapat kordinasi, atau lainnya.
Tentu hal ini lebih efektif bila dilakukan oleh organisasi yang menaungi
honorer.
Keempat, memaksimalkan peran aktif
organisasi dalam menyatukan langkah, menlindungi anggota dari segala hal yang
merugikan, serta mendorong, menekan,
pemerintah untuk merealisasikan janji.
Mengakhiri
tulisan ini, ada seorang honorer di Madura Ruskin namanya. Seorang guru salah
satu SMP negeri di Pemakasan Madura ini telah mengabdi menjadai honorer sejak
tahun 1984. Honornya berawal dari 6 ribu rupiah sampai sekarang hanya 500 ribu.
Awalnya Ruskin merasa genbira bukan kepalang saat mengetahui janji pemerintah
akan mengangkat tenaga honorer K2. Harapan besar itu buyar seketika tatkala MK
menolak Uji Materi Undang-Undang No.5 Tahun 2014 tentang tentang aparatur sipil
negara (ASN). Dalam putusan tersebut ditegaskan bahwa batas maksimal usia CPNS
adalah 35 tahun. Sedangkan Ruskin
usianya 53 tahun. Pupuslah harapan sang honorer. (http://radarmadura.co.id/)
Ternyata
nasib Ruskin tak seindah janji pak Menteri. Tegasnya, janji itu baru pijakan
awal yang membutuhkan perjuangan tanpa kenal lelah oleh para honorer untuk
mewujudkan mimpinya menjadi aparatur negara sipil. Semoga tak ada Ruskin-Ruskin
lain di waktu mendatang amin.
(Tulisan telah dimuat di Harian Radar Cirebon, Sabtu, 19 September 2015)
(Tulisan telah dimuat di Harian Radar Cirebon, Sabtu, 19 September 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar