Ada sebagian guru yang terkadang
(karena tak bisa menahan emosi) megucapkan kata negatif seperti “bodoh, “
nakal”, ‘bandel” atau lainnya pada
peserta didik. Ucapan itu keluar, tentu ada alasannya. Bisa jadi karena sang
peserta didik tak bisa mengerjakan tugas, atau tidak mampu menjawab pertanyaan
guru. Bisa juga karena peserta didik
tersebut susah diatur, gemar membuat kegaduhan, tidak bisa diam, mengobrol
seenaknya saat pembelajaran di dalam kelas. Lebih dari itu, ada guru yang lepas kontrol dengan menghukum
siswanya dengan menampar, memukul, membentak, atau memerintahkanya berdiri
dengan satu kaki di halaman sekolah.
Bagi peserta didik, perlakuan guru
seperti di atas bila dilakukan berulang-ulang akan berpengaruh (baca:berbekas)
pada situasi kejiwaannya. Perlakuan tak seharusnya seperti itu membuatnya
sedih, minder, merasa takut. Dalam ilmu psikologi keadaan tersebut disebut Paralyzing
Expriences. Bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai pengalaman yang
melumpuhkan. Istilah yang
digagas oleh Thomas Armstrong
itu didefinisikan sebagai jenis pengalaman yang memalukan begitu parah sehingga
menghasilkan respon negatif dalam waktu lama untuk situasi yang sama.
Karena efek negatif yang serius bagi
perkembangan jiwa anak didik, maka selayaknya bagi guru untuk berhati-hati,
jangan sampai mengucapkan perkataan negatif atau melakukan tindakan yang
menyebabkan Paralyzing Expriences pada
peserta didiknya. Untuk itu, menurut hemat saya, ada beberapa hal yang bisa
dilakukan seorang guru untuk menghindari dan mengantisipasinya, pertama, menganggap semua anak cerdas.
Guru harus meyakini bahwa Tuhan tak pernah menciptakan produk gagal. Guru harus
memahami kecerdasan majemuk yang ada pada setiap didiknya, siapa pun dia. Anak
didik kita adalah para bintang yang akan cemerlang di bidangnya. Mereka para
juara yang bersinar sesuai bakat yang ada pada dirinya. Hanya bakat-bakat itu
masih terpendam. Nah, tugas guru, juga orang tua menemukan dan
mengembangkannya.
Kedua,
nilailah kemampuan anak didik dari sudut pandang yang luas. Maka, dari
setiap anak didik akan ditemukan
kelebihan dan keunggulannya. Jangan menilainya dari satu sudut atau satu
aspek saja. Sebab bila menilainya dari satu sudut saja, guru akan mudah
menemukan kesalahan yang memancing emosi. Dalam bukunya, Gurunya Manusia, Munif Chatib
(2012) menjelaskan bahwa kemampuan anak-anak kita itu seluas samudra. Sayangnya
orang tua, guru, sekolah atau sistem pendidikan telah mereduksi, mempersimpit,
mengecilkan kemampuan anak itu. Sehingga samudra itu berubah menjadi
selokan-selokan kecil.
Ketiga,
menghindari segala hal yang berbau kekerasan terhadap anak. Menurut Moore (dalam Nataliani, 2004), kekerasan atau perlakuan
salah terhadap anak pada umumnya dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori,
antara lain kekerasan fisik, kekerasan seksual dan kekerasan emosional.
Melawannya dengan Crystallizing
Expriences
Dalam kajian psikologi, anak yang
terkena Paralyzing Expriences atau pengalaman melumpuhkan, mengatasinya harus
dengan tindakan atau ucapan yang dapat menumbuhkan Crystallizing Expriences. Crystallizing
Expriences dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai pengalaman yang
mengkristal atau pengalaman yang positif. Crystallizing Expriences adalah jenis
pengalaman yang menghasilkan memori yang positif dan menarik sehingga aktivitas
akan dicari berulang kali dan kemungkinan akan menghasilkan bunga seumur hidup,
bahkan gairah seumur hidup.
Untuk menghadirkan Crystallizing Expriences pada peserta
didik guru harus mengulang-ulang hal-hal berikut, pertama, mengapresiasi setiap karya anak. Apa saja yang dikerjakan
anak dalam kegiatan belajar mengajar guru harus mengapresiasinya. Apresiasi
bisa dalam bentuk nilai, pujian, atau lainnya. Menilai dalam bentuk angka
hendaknya guru memberinya dengan murah, jangan pelit. Sebab, angka itu hanya
simbol yang relatif, yang belum tentu menggambarkan apa yang sebenarnya
dikuasai oleh anak didik. Memberi pujian dapat menggunakan kalimat atau kata
positif seperti, kamu pintar, pandai, bagus, cerdas atau sejenisnya.
Pengalaman saat kuliah, dosen-dosen
yang pelit dalam memberi nilai, bahkan terkesan menjegal mahasiswa, mereka
dijuluki dosen killer. Yakni dosen yang membunuh banyak harapan, juga potensi mahasiswa. Kelas mereka menjadi sepi.
Mahasiswa lebih memilih dosen lain. Berbeda dengan di kampus, siswa SLTA, SLTP
atau SD barangkali tak memiliki pilihan, tak bisa menghindar dari situasi dan keadaan
karena mereka tidak menggunakan sistem SKS seperti di perguruan tinggi.
Kedua,
sering-seringlah memberi pujian pada peserta didik. Pujian tidak hanya
diberikan pada saat mereka berprestasi, bila perlu pada hal-hal sepele pun guru
memberinya. Pujian akan menanamkan nilai positif pada kejiwaan anak. Sebaliknya
hindarilah mengejek, mencela, menyalahkan. Apalagi menyalahkan yang tak
memberikan jalan keluar atau solusi.
Ketiga,
berbagi kegembiraan. Berbagi kegembiraan pada peserta didik menaburkan
kegembiraan pada mereka. Dan saat bergembira, proses belajar mengajar akan
lebih mudah mencapai tujuan karena kondisi kejiwaan anak dalam kondisi baik,
terbuka, siap menerima setiap informasi yang masuk. Oleh karena itu, sangat
baik bagi guru bila kerap kali menceritkan sesuatu yang dialaminya, yang
membuatnya bergembira. Sebaliknya, jangan sering menceritakan hal yang
menyedihkan atau berbagi kesusahan di dalam kelas saat KBM.
Keempat,
memberi motivasi dengan menghadirkan contoh-contoh orang sukses. Cerita
orang sukses, apalagi dari orang terdekat siswa akan sangat membantu dalam
membangkitkan semangat meraih cita-cita, menggali potensi yang ada pada dirinya.
Mengakhiri tulisan ini saya ingin
bercerita. Seorang murid (sebut saja
Mahdi namanya) datang terlambat. Guru
kelas memarahi, dan menghukumnya dengan berdiri di depan kelas selama beberapa
menit. Hari itu, Mahdi tak bisa terseyum apalagi tertawa karena beban rasa malu
yang dirasa. Belajar terasa sangat lama dan menjenuhkan. Jangan tanya, apa
pelajaran hari itu dapat diterimanya? Lain dengan Mahdi, Imelda sepulang
sekolah berlari-lari sambil menyanyi. Di depan rumahnya ibunya bertanya, kenapa
kau terlihat gembira? Imelda menjawab polos, guruku berkata, kamu pintar. Aku
pintar, teriak hatinya kegirangan.
Mahdi adalah korban Paralyzing
Expriences sedangkan Imelda hari itu mendapatkan Crystallizing Expriences. Nah,
menjadi tugas guru, para orang tua, dan kita semua untuk sedapat mungkin
berkata atau bertindak kepada anak-anak yang menghadirkan Crystallizing
Expriences, jangan sebaliknya. Wa Allahu
Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar