DPR dan martabat bangsa adalah dua hal
penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. DPR yang kepanjangan Dewan
Perwakilan Rakyat adalah lembaga negara
yang berperan sebagai legislator di setiap jenjang kepemerintahan dari pusat
sampai daerah. DPR merupakan lembaga legislatif yang mewakili rakyat. Dalam
DPR, rakyat pilihan yang biasa dikenal dengan wakil rakyat berkumpul
menyuarakan, memperjuangkan rakyat yang diwakilinya. Mereka terpilih lewat
proses yang tidak mudah. Pemilihan umum menyeleksi mereka secara demokratis
Sedangkan martabat bangsa merupakan
sesuatu yang harus dijaga, dijungjung tinggi oleh setiap warga negara, anak
bangsa.
Martabat adalah tingkat harkat kemanusiaan atau harga diri. Harkat adalah
segala sesuatu atau usaha yang dapat menaikkan kedudukan. Sementara Derajat
adalah keududukan itu sendiri, yang berupa kemuliaan, tarif, mutu dan nilai.
Martabat bangsa dapat dipahami sebagai harkat, harga diri, dan nilai sebuah bangsa dan negara.
Akhir-akhir
ini DPR dan martabat bangsa menjadi
perbincangan khalayak. Adalah Setya Novanto dan Fadli Zon, ketua dan wakil
ketua DPR RI dianggap telah merendahkan martabat diri dan bangsa di hadapan
masyarakat dunia. Ketua DPR Setya Novanto dan
wakil ketua Fadli Zon menghadiri acara sumpah kesetiaan kandidat Presiden
Amerika Serikat dari kubu Republik, Donald Trump, Kamis, 3 September 2015. Wajah Setya Novanto terekam di
sejumlah foto yang ditayangkan media massa, seperti Reuters,CNN, dan Business Insider.
Berpakaian setelan jas warna biru donker dan dasi bintik-bintik putih dengan
warna dasar ungu muda, Setya berdiri di sebelah kanan Trump. Di hadapan wartawan usai pengambilan
sumpah setia kepada kubu Republik, Trump kemudian memperkenalkan Setya kepada
para wartawan. Pria ini Ketua
DPR Indonesia, datang ke sini untuk bertemu saya. Setya Novanto, salah satu
orang paling berpengaruh dan sosok yang besar, kata Trump seperti dikutip dari Business
Insider, Jumat 4 September 2015. Dia dan rombongannya ke sini untuk
bertemu saya hari ini dan kami akan melakukan satu kegiatan besar untuk Amerika
Serikat, begitukah?" kata Trump kepada Setya, politikus Partai Golkar. Yes, Setya
menjawab. Trump melanjutkan pertanyaannya, Apakah orang di Indonesia menyukai
saya? Setya menjawab singkat, Ya, sangat. Terima kasih.
Menuai banyak kritik
Kehadiran ketua dan wakil DPR RI dalam rangkaian kegiatan
kampanye bakal calon presiden Amerika dari partai Republik, Donald Trump menuai
banyak kritik. Tindakan Setya Novanto-
Fadli Zon dinilai oleh banyak orang
sebagai perbuatan merendahkan diri sendiri. Lebih lagi, Keduanya representasi
dari bangsa Indonesia. Donald Trump pun
menyebut-nyebut Indonesia terhadap keduanya. Pertemuan itu dengan jelas menggambarkan
superior Donald Trump sekaligus minior Setya Novanto dan Fadli Zon. Keduanya
seperti mati kutu. Keduanya tak lebih sekadar numpang berselfi ria dengan
capres Amerika yang dikenal rasis, anti Islam, dan anti kulit non putih. Sangat
ironis, ketua dan wakil DPR yang terhormat dipertontonkan hanya untuk mengakui
kehebatan dan suprior Trump. Sangat memillukan beliau berdiri sambil tersenyum
sekadar mengiyakan pertanyaan sang capres. Dan itu mewakili bangsa kita.
Sejumlah kalangan mempertanyakan, termasuk anggota dewan
sendiri. Lebih-lebih, karena mereka berdua ke Amerika dalam rangka mengikuti 4
tahun Word Conference of Speakers of inter Parliamentary. Sebuah kegiatan study banding ke PBB untuk mencari
jalan keluar kesulitan ekonomi global. Perjalanan dinas itu jelas menelan
anggaran negara yang tak sedikit. Kenapa tidak dimanfaatkan secara maksimal?
Kenapa musti merendahkan diri di depan bakal capres congkak semisal Donald
Trump? Setya Novanto dan Fadli Zon dianggap telah melanggar kode etik dewan.
Berbagai kalangan meminta keduanya mempertanggungjawabkan dengan meminta maaf,
bahkan mengundurkan diri dari kepemimpinan dewan. Mereka dinilai telah
merendahkan martabat bangsa. Memang sebuah Ironi, anggota dewan yang terhormat
merendahkan martabat bangsanya sendiri.
Pelajaran
berharga
Kasus Setya Novanto-Fadli Zon memberikan banyak pelajaran
bagi kita. DPR yang memiliki kedudukan tinggi di tengah-tengan kehidupan bangsa
harus selalu dijaga kehormatannya. Menjaga kehormatan DPR bukan saja menjadi
tanggung anggotanya, tapi kita semua. Dan menjaga kehormatan DPR berarti juga
menjaga martabat bangsa. Berikut pelajaran yang bisa diambil dari kasus itu, pertama, membangun kesadaran menjaga
martabat bangsa. Martabat bangsa ibarat ruh kita yang harus dipertaruhkan bila
ada yang mengusiknya. Martabat bangsa harus diposisikan di atas segala. Karena
pada hakekatnya martabat bangsa merupakan jati diri kita sendiri.
Kedua, membangun
kesadaran memberi keteladanan. Para pejabat negara atau orang yang memilki
posisi di tengah masyarakat hendaknya menyadari bahwa mereka adalah orang yang
ditokohkan. Selayaknya memberi teladan bagi yang lain. Segala tindak laku harus
dipikirkan terlebih dahulu. Sebab mereka selalu diperhatikan dan menjadi
sorotan. Kasus ini harusnya menjadi peringatan bagi anggota dewan yang lain,
juga kita semua.
Ketiga, mengingatkan
politik bebas aktif yang bermartabat. Artinya walau politik luar negeri
menganut bebas aktif, tapi tetap harus bermartabat. Kita harus mampu
memposisikan berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dengan negara lain. Bukankah bebas berarti kita merdeka, tidak
tertekan?Apalagi bila diintervens, atau direndahkan?
Akhir kata, DPR sebagai lembaga tinggi negara yang harus
dihormati, seiring dengan kehormatan dan
martabat bangsa. Keduanya adalah hal penting bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara yang harus dijaga bersama siapa pun kita.
(Telah dimuat di Harian Radar Cirebon, Rabu, 9 September 2015)
(Telah dimuat di Harian Radar Cirebon, Rabu, 9 September 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar