Benarkah sertifikasi guru akan
dihapus? Pertanyaan ini muncul, mengemuka, diperbincangkan oleh khalayak ramai
di media sosial setelah beredar kabar Pemerintah berencana menghapus tunjangan
profesi guru (TPG). Dengan peniadaan itu, ke depan guru hanya akan menerima
tunjangan kinerja setelah melalui pengujian. Dirjen
Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) Sumarna Surapranata mengatakan dasar penghapusan TPG karena tidak semua guru
berkinerja bagus meskipun telah mendapat tunjangan itu. Kemendikbud pun
menggariskan bahwa insentif kepada guru akan diberikan sesuai dengan kompetensi
dan kinerja. Ini artinya TPG harus disesuaikan. Pemerintah ingin
secepatnya insentif berbasis kompetensi dan kinerja itu terealisasi.
Lebih jauh, Sumarna Surapranata menegaskan penghapusan
Tunjangan Profesi Guru sah dilakukan mengingat dalam Undang-Undang Aparatur
Sipil Negara (UU ASN) disebutkan bahwa besaran gaji PNS tergantung pada kinerja.
Ke depan, tunjangan harus disesuaikan dengan tiga komponen uji yang akan
dilakukan Kemendikbud, yakni penilaian kinerja guru (PKG), uji kompetensi guru
(UKG), dan prestasi siswa.
Sumarna Surapranata melanjutkan, reformasi
tunjangan guru akan dimulai tahun ini dengan penerapan UKG pada 19 November- 27
November. Selain itu akan dilaksanakan pula penilaian kinerja guru untuk
memastikan kualitas dan transparansi evaluasi kinerja mereka. Dua hal itu akan
menjadi menu pada pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB). Jadi rapor guru
nantinya harus terdiri atas PKG, UKG, dan prestasi belajar. Adanya PKB ini
merupakan terobosan baru pelatihan guru. (
http://www.koran-sindo.com/)
Kabar rencana Pemerintah di atas memunculkan pro
kontra dalam masyarakat terutama mereka yang terkait, atau peduli dengan dunia
pendidikan di tanah air. Bagi yang mengamini rencana tersebut, melihat bahwa
setelah dilaksanakan program sertifikasi guru belum nampak perbaikan, perubahan
yang signifikan padan kinerja guru khususnya atau pada dunia pendidikan
umumnya. Menurut Hafid Abbas (2015), guru besar FakultasI lmu Pendidikan
Universitas Negeri Jakarta, menilai sertifikasi guru melalui portofolio dan
pelatihan 90 jam tak lebih dari formalitas belaka. Guru tidak dilatih,
melainkan hanya diberi sertifikat secara cuma-cuma. Hafid mendukung revisi
sertifikasi guru karena tidak memberi dampak perbaikan atas mutu pendidikan
nasional.
Bagi
guru, penghapusan TPG tentu menjadi
kabar buruk. Sehingga PGRI sebagai induk organisasi yang menauingi para
guru telah menolak dengan tegas dan keras rencana itu. Ketua PGRI, Sulistiyo
mengingatkan, bahwa Presiden Jokowi telah berjanji tidak akan menghapus sertifikasi guru. Hal itu
disampaikan Jokowi saat mengunjungi, menghadiri Rapat Kordinasi Pimpinan
Nasional (Rakorpimnas) PGRI akhir Juni 2014. Jika penghapusan dilakukan berarti
Jokowi telah mengingkari janjinya sendiri. Dan itu yang akan dituntut oleh para
guru. PGRI sebagai wadah guru, siap menerjunkan ribuan guru untuk menagih janji
tersebut.
Sulistiyo
melanjutkan, dasar hukum pemerintah ingin menghapus TPG karena adanya UU ASN
dinilai ada yang salah dipahami oleh Kemendikbud. Sebab TPG dan TPD (Tunjangan
Profesi Dosen) harus tetap diberikan karena hal itu merupakan amanat UU Nor
14/2015 tentang Guru dan Dosen (UUGD). Dalam UUGD tertulis sangat jelas bahwa
guru (termasuk dosen) yang telah memperoleh sertifikat pendidikan (mengikuti
sertifikasi) akan memperoleh satu kali gaji pokok. Saat ini ada sekitar 1,6
juta guru telah memperoleh TPG. Masih sekitar 1,5 juta guru belum
memperolehnya. Saat belum semua guru mendapatkan TPG apa mungkin
pemerintah mau menghapusnya? Karenanya Sulistiyo
berharap, pemerintah tidak menghapus tunjangan tersebut lantaran saat kondisi
ekonomi negara sedang mengalami kesulitan sehingga apabila tunjangan itu
dipotong maka guru akan semakin kesusahan.
Intropeksi diri
Terlepas benar tidaknya rencana penghapusan sertifikasi,
bagi guru harusnya hal itu dijadikan momentum untuk mengevaluasi diri,
mengintropeksi diri. Dari evaluasi dan intropeksi diri itu diharapkan menjadi
perisai yang mementahkan keraguan banyak kalangan terhadap peningkatan kinerja
dan prosfesionalisme guru setelah menerima tunjangan sertifkasi. Berikut
beberapa hal, bahan renungan bagi kita, para guru, pertama, sadar atau tidak,
setelah adanya TPG, guru menjadi sorotan dalam masyarakat. Eksistensi
mereka disorot dan diperhatikan. Rejekinya (baca:kesejahteraannya) menjadi
konsumsi pembicaraan orang banyak. Guru
seperti selebriti yang lagi naik daun. Guru selalu disorot, dilihat terutama
kinerjanya. Nah, untuk alasan itu guru harus wapada, senantiasa menjaga diri,
menjalankan tugas dengan baik. Guru jangan malas. Guru harus menunjukkan
kinerja maksimal dalam mengajar di sekolah.
Kedua, untuk
memaksimalkan kinerja, profesionalisme, guru harus mengembangkan SDM-nya.
Pengembangan SDM bisa dilakukan dengan belajar lagi, mengikuti kuliah S.2
misalnya atau mengikuti diklat-diklat yang menunjang tugasnya, seminar, serta
kegiatan keilmuan lainnya. Ini penting. Karena perkembangan ilmu pengetahuan
dan tekhnologi sangat cepat. Guru harus bisa mengikutinya. Guru jangan sampai
tertinggal informasi. Derasnya arus informasi memudahkan setiap orang
memperolehnya. Bila guru tak tanggap, bisa jadi ia tersalip oleh siswanya. Ini tentu
memalukan dan sangat memilukan.
Ketiga, sepantasnya
bila guru menyisihkan sebagian rejekinya untuk sesuatu yang menunjang pekerjaan dan tugasnya. Misalnya
menyisikan uang sertifikasi untuk membeli buku, kompeter, laptop, infokus, membuat
alat peraga atau lainnya. Guru sebagai sumber belajar bagi siswa seharusnya
memiliki koleksi buku lebih banyak. Coba kita mengevaluasi diri, sejak menjadi
guru, berapa buku yang kita beli setiap
bulannya?
Keempat, membaca
lebih banyak lagi. Guru yang baik adalah guru yang mau menjadi pembelajar
abadi. Yakni guru yang tak pernah berhenti belajar. Membaca sebagai kunci belajar
harus berada di tangan setiap guru tentunya. Saatnya kita mengevaluasi, sebagai
guru, berapa buku yang kita baca dalam seminggu?
Nah, hal-hal di atas akan bermanfaat bagi guru bila
dilakukan. Tentu untuk meningkatkan kinerja dan profesinya sebagai guru
profesional. Bila kinerja meningkat dengan sendirinya kualitas pembelajaran di
kelas meningkat. Kualitas pembelajaran meningkat akan mempengaruhi mutu
pendidikan kita ke depan. Selamat mengevaluasi diri. Saatnya, guru Indonesia
berubah. Wa Allahu ‘Alam
(Dimuat di Radar Cirebon, Rabu, 30 Sepetember 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar