Dari sejumlah bandara di tanah air,
kloter demi kloter jamaah haji Indonesia meninggalkan tanah air menujuh tanah
suci, Mekkah. Mereka berasal dari berbagai latar belakang, profesi, dan status
sosial. Mereka berangkat ke baitullah setelah sekian lama menunggu. Animo
masyarakat muslim yang sangat tinggi untuk berhaji memperpanjang antrian,
menjadi semakin lama menunggu. Berangkat haji menjadi impian setiap orang Islam
karena haji merupakan salah satu rukun Islam. Yang bila ditunaikan, seorang
merasa sempurna keislamannya.
Kewajiban haji berdasarkan firman
Allah SWT, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu
(bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah”. (QS Al Imron:97)
Dalam ayat ini ditegaskan bahwa kewajiban haji hanya dibebankan kepada mereka
yang mampu. Al Quran menyebutnya istitha’ah.
Dalam kajian ilmu Fiqhi, istitha’ah dimaknai dengan beberapa kriteria
atau prasyarat. Mereka yang terbebani istitha’ah untuk berangkat haji adalah
mereka yang memenuhi kriteria atau prasyarat tersebut. Bila salah satu syarat
tak terpenuhi maka gugurlah kewajiban haji.
Adapun prasyarat istitha’ah tersebut
adalah pertama, kemampuan fisik atau
sehat jasmani. Dengan kesehatan tersebut seorang calon haji mampu melakukan
perjalanan. Bila tak sehat, maka gugurlah kewajiban itu. Kecuali ia
berkeyakinan, optimis sehat maka saat sehat wajib baginya menunaikan haji. Ini berdasarkan hadist Bukhari-Muslim.
Dari Abdullah Bin Abbas RA, ia bercerita seorang wanita dari Khats’am bertanya
kepada Rasulullah SAW. Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku telah diwajibkan
untuk menunaikan haji saat dia sudah tak muda lagi (baca: sudah tua). Tetapi,
dia tak mampu bertahan dalam melakukan perjalanan, apakah aku bisa mewakilkan
haji untuknya? Rasulullah SAW menjawab, lakukanlah haji untuk mewakilinya.
(HR.Bukhari-Muslim)
Kedua,
kemampuan finansial. Artinya seorang
yang akan pergi haji hendaknya memiliki bekal yang cukup. Bekal dalam artian
segala hal yang berkaitan dengan biaya perjalan dari berangkat sampai pulang
kembali ke tanah air. Dalam cakupan ini, orang yang ditinggalkannya pun (yang
menjadi kewajibanya seperti anak atau lainnya) dapat dinafkahi selama
ditinggalkannya. Jika syarat ini tak terpenuhi, maka gugur kewajibannya. Nabi
Muhamad SAW bersabda, cukuplah dosa bagi seseorang (tatkala) ia menyia-nyiakan
orang yang menjadi tanggung jawabnya. (HR. Nasa’i dan Hakim)
Kaitan dengan biaya perjalanan, dibolehkan bagi seseorang untuk
menabung guna mencukupi biaya perjalanan haji teresebut. Kebulatan hati, tekad
yang kuat serta niat yang ikhlas untuk berangkat haji akan membuka berbagai
jalan mewujudkannya. Maka dalam banyak kasus, calon jama’ah haji terkadang
berasal dari kalanngan ekonomi kelas bawah seperti para buruh atau lainnya.
Demikianlah apa yang dipahami dan diyakini oleh orang beriman sebagai panggilan Allah SWT.
Ketiga,
faktor keamanan. Kewajiban haji berlaku saat ada jaminan keamanan dalam
perjalanan atau tempat yang ditujuh. Bila ada ancaman keamanan yang dapat
mengancam keselamatan jiwa calon jama’ah haji, misalnya, salah satu tempat
manasik haji seperti Mina atau Muzdalifah dalam keadaan tak aman karena alasan
tertentu maka kewajiban haji menjadi gugur untuk tahun itu. Kewajiban akan
berlaku kembali saat situasi keamanan sudah kembali normal. Ini berdasarkan
pada kaidah dalam Ilmu ushul Fiqhi, “La dhororo wa la dhiroro”. Artinya, tidak
boleh ada faktor kemudharatan atau dimudharatkan.
Sebaliknya, bagi mereka yang mampu
tapi tak menunaikannya, Allah SWT mengecam dengan sangat keras. Dalam Al Quran
ditegaskan, barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah
Maha kaya (tidak memelukan sesuatu) dari alam semesta. (QS.Al Imron:97) Artinya
Allah akan berlepas diri darinya. Amal ibadah lainnya, tak dipandang oleh Allah
SWT. Allah menganggapnya bukan dari bagian umat Islam. Kaitan dengan hal ini,
khalifah Umar mengaskan, barang siapa yang mampu tapi tak menunaikan haji sama
saja mereka seperti Yahudi atau Nasrani.
Haji
Cukup Satu Kali
Pada prinsipnya, kewajiban haji itu hanya
satu kali dalam semur hidup. Tidak dianjurkan seorang mengulang-ulang haji.
Apalagi saat kondisi antrian seperti di tanah air yang cukup lama bahkan
mencapai hitungan puluhan tahun. Mengulang haji sama saja menutup kesempatan
atau mempersulit saudara kita yang belum melaksanakannya. Demikian itu jelas
tidak dianjurkan oleh agama. Dalam kajian ilmu Fiqhi ditegaskan hal yang sama. Diantara
alasannya adalah bahwa Rasulullah SAW
selama hidupnya hanya melakukan haji satu kali. Rasulullah SAW menunaikan haji
pada tahun kesepuluh hijriyah walau haji telah diwajibkan sejak tahun keenam.
Kaitan dengan hal ini, para sahabat nabi SAW, pernah menanyakan tentang
mengulang-ulang menunaikan haji. Rasulullah SAW diam sejenak. Kemudian beliau
menjawab, andai aku katakan iya atau
boleh, tentu akan menjadi wajib (mengulang-ulang haji sampai tiga kali lebih)
sementara kamu tidak akan mampu melaksanakannya.
Jawaban Rasulullah SAW di atas
dipahami sebagai isyarat atau peringatan bagi umat Islam agar tidak berlebihan
atau mengulang-ulang dalam melaksanakan ibadah haji. Walau demikian
melakukannya (mengulang haji) masih diperbolehkan. Hanya ibadah haji
tersebut dikategorikan sebagai ibadah
sunnah.
Kemudian, ditambah lagi dengan latar
belakang sosial masyarakat kita. Seperti disinggung sebelumnya, animo
masyarakat menunaikan haji sangat tinggi dari hari ke hari. Waktu tunggu haji
hari ini rata-rat lima belas tahun. Maka menjadi tak arif, tak adil, bila orang
yang sudah pernah menunaikan haji diberi kesempatan kembali mendaftar. Pemerintah selayaknya membatasi mereka untuk
memberi kesempatan yang lebih luas kepada lainnya yang belum menunaikan.
Akhir kata, haji adalah kewajiban
setiap muslim. Dengan menunaikannya keislaman menjadi sempurna karena haji
merupakan salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh mereka yang mampu.
Namun demikian, bagi yang diberi kemampuan lebih tidak seharusnya
mengulang-ulang haji. Berilah kesempatan kepada yang lain. Bukankah masih
banyak amal ibadah lain yang lebih bermanfaat? Jangan beribadah dengan
menyertakan emosi, apalagi dengan niat mencari gengsi, atau pamer. Bukankah
amal yang tidak disertai niat yang ikhlas akan menjadi sia-sia? Rasulullah SAW
mengaskan, sesungguhnya amal perbuatan manusia itu bergantung pada niatnya. Lebih
baik memberangkatkan haji orang lain daripa mengulangnya.Wa Allahu A’lam
(Dimuat Di Harian Radar, Rabu, 16 September 2015)
(Dimuat Di Harian Radar, Rabu, 16 September 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar