Hari ini (16-09-2015) telah
dijadwalkan pemanggilan beberapa pihak terkait kasus dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh
ketua, wakil ketua DPR RI saat kunjungan ke Amerika awal September lalu. Setya
Novanto dan Fadli Zon (ketua dan wakil ketua DPR RI) menghadiri rangkaian
kegiatan bakal calon presiden Amerika dari partai Republik Donald Trump di
sela-sela kunjungan resmi mereka dalam mengikuti
4 tahun Word Conference of Speakers of inter Parliamentary. Sebuah kegiatan study banding ke PBB untuk mencari
jalan keluar kesulitan ekonomi global
. Kehadiran mereka dianggap telah melanggar kode etik karena telah merendahkan
diri dan martabat bangsa dalam acara tersebut.
Dugaan
pelanggaran kode etik mereka digugat banyak pihak. Adalah Budiman Sudjatmiko,
Adian Napitulu, Carles Honoris, Diah Pitaloka dari Partai Demokrasi Perjuangan
Indonesia, Maman Imanulhaq dari Partai Kebangkitan Bangsa, Amir Uskara dari
Parta Persatuan Pembangunan, dan Akbar Faizal dari Partai Nasdem. Mereka telah
melaporkan Setya Novanto, Fadli Zon dan
lainnya ke Mahkamah Kehormatan DPR RI pada tanggal 7 September 2015 lalu.
Menurut para pelapor, Setya Novanto dan Fadli Zon diduga melanggar Pasal 292
Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib mengenai Kode Etik yang menyebutkan bahwa
setiap anggota selama menjalankan tugas harus menjaga martabat, kehormatan,
citra, dan kredibelitas DPR. Selain itu, mereka dituding melanggar Peraturan
DPR RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik, Pasal 1 ayat 10 tentang Perjalanan
Dinas, serta Bab II Ketentuan Umum
dan integritas (http://www.cnnindonesia.com/politik)
Bagi saya orang awam, apa yang dilakukan oleh kedua pemimpin DPR
RI itu memang sangat janggal dan menyalahi asas kepatutan seorang pemimpin
lembaga tinggi negara. Berikut beberapa hal yang menjelaskan dan memperkuat
asumsi itu, pertama, pertemuan mereka
dengan Donald Trump, bakal calon Presiden Amerika tersebut dilakukan pada 4
September, padahal kunjungan resmi mereka berakhir 2 September. Kenapa mereka
tidak langsung kembali? Bahkan menurut berita yang beredar mereka kembali di
atas tanggal 10 September. Untuk
kepentingan siapa mereka memperpanjang kunjungan tersebut? Kepentingan
pribadi atau masih untuk kepentingan bangsa dan negara yang telah membiayai
perjalanan dinas tersebut?
Kedua, tidak sepantasnya seorang
pimpinan lembaga tinggi negara menghadiri rangkaian kegiatan kampanye calon
presiden di negara lain. Apalagi dalam pertemuan tersebut sangat jelas mereka
berdua telah dimanfaatkan. Bagaimana kalau sang bakal calon presiden ternyata
kalah? Sedangkan mereka mengatasnamakan Indonesia. Bahkan dalam jas mewah
mereka pun masih menggantung atribut DPR RI. Dan Donald Trump, sang bakal calon
presiden juga menyebut-nyebut Indonesia. Tentu itu akan menjadi catatan
tersendiri bagi presiden terpilih dalam memandang Indoenesia di waktu yang akan
datang.
Ketiga, sangat tidak logis, seorang
pejabat tinggi negara saat melakukan kunjungan ke luar negeri tidak untuk
kepentingan bangsanya tapi untuk kepentingan bangsa yang dikunjungi. Bukankah
Setya Novanto, sang ketua DPR RI dengan enteng mengiyakan pertanyaan Donald
Trump saat menegaskan bahwa dia dan rombonganya ke
Amerika untuk bertemu denga drinya dan akan melakukan satu kegiatan besar untuk
Amerika Serikat. Ini jelas tidak mudah diterima oleh kita, bangsa Indonesia.
Keempat, jawaban Setya Novanto bahwa
bangsa Indonesia menyukai Donold Trump jelas sebuah kebohongan. Apa dasarnya?
Apa betul kita semua sangat menyukai Donald Trump yang anti Islam, rasis, dan
anti kulit non putih? Rasanya tak mudah membuktikanya. Kenapa semudah itu Setya
Novanto mengatasnamakan bangsanya untuk dipertaruhkan mengikuti kepentingan dan
amabisinya. Ironi memang.
Kelima, sedihnya lagi mereka bersikukuh, merasa benar. Ditambah lagi
perlawanan yang ditunjukan di depan publik. Mereka dengan congkak menujukkan
kekuasaan dengan menggunakan berbagai macam alasan dan logika. Tapi lucunya,
logika dan alasan mereka dengan mudah ditelanjangi oleh rakyat. Bagaimana
tidak? Mereka beralasan pertemuan dengan Donald Trump itu untuk menarik
investasi ke dalam negeri. Mereka lupa bahwa itu bukan tugas mereka, bukan
kewenangan mereka. Mencari investasi dengan mengadakan pertemuan berbagai pihak
itu tugas pemerintah dalam hal ini Presiden dan para menterinya. Terlihat
alasan yang mengada-ada, dan dibuat-buat.
Keenam, lebih sulit dicerna lagi, Fadli
Zon menganalogikan dan menyamakan kunjungannya dengan kunjungan Presiden Jokowi
yang membawa serta istri. Fadli Zon nampaknya tidak memahami bahwa istri
Presiden itu ibu negara. Ibu negara jelas sangat dibutuhkan kehadiranya dalam
pertemuan bilateral dalam sebuah kunjungan presiden ke luar negeri. Dalam
pertemuan-pertemuan itu ibu negara sangat berperan mendampingi sang Presiden.
Dan biasanya para ibu negara memiliki agenda tersendiri untuk membicarakan
hal-hal lain seperti masalah budaya, tradisi, dan tema-tema lainnya. Nah, kalau
istri pimpinan dewan untuk apa?
Ketujuh, kenapa mereka tidak mau minta
maaf ke rakyat. Padahal kalau meminta maaf, saya yakin permasalahannya tak
serumit ini. Dan itu terlihat lebih elok, bijak, dan lebih dewasa. Bangsa kita
juga bangsa yang mudah memaafkan. Bahkan dalam banyak kasus sering melupakan kesalahan-kesalahan
di masa lalu dalam kehidupan berbangsa. Justru sebaliknya, mereka merasa paling
benar. Dan tak boleh disalahkan.
Akhirnya, rakyat
kecil seperti saya hanya bisa menyerahkan semua persoalan di atas ke proses
hukum dan politik yang berjalan di DPR. MKD DPR dinanti peran aktifnya untuk
bisa mengungkap lebih jauh dugaan-dugaan tersebut dan menghadirkanya ke rakyat
dengan bukti. Dan lebih dari itu, MKD harus tegas. Katakan yang sebenarnya pada rakyat. Berilah sanksi pada
pihak yang melanggar sesuai kadar pelanggarannya. Hindari basa-basi politk yang
menjijikan. Rakyat sudah bosan menyaksikannya. Ditunggu. Wa Allahu Alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar