Sudah lama Densus 88 Antiteror mendapat sorotan tajam dari publik. Terlebih, dari aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka mempertanyakan
cara yang digunakan Densus 88 Antiteror dalam
menangkap, menangani pelaku teror. Mereka tak jarang menilai penangkapan sebagai
pelanggaran HAM. Penilaian mereka terfokus pada persoalan terabaikannya proses
atau prosedur yang ada oleh Densus 88
Antiteror. Sehingga penangkapan yang dilakukan dinilai melanggar HAM.
Paling mutakhir Densus 88 antiteror
terpojokkan dengan kasus penangkapan seorang terduga pelaku teror, Siyono. Pria
asal Desa Pogung, Kecamatan Cawas,
Kabupaten Klaten, Jawa Tengah itu meninggal dunia di tangan Densus 88 Antiteror
setelah dilakukan penangkapan 8 Maret lalu. Siyono diduga merupakan anggota
organisasi terlarang Jamaah Islamiyah yang bercita-cita mendirikan negara Islam
Indonesia (NII).
Kematian Siyono dianggap menyimpan
banyak kejanggalan. Menurut keterangan pihak
kepolisian, kematian Siyono disebabkan perkelahian di dalam mobil dengan
aparat. Siyono disebutkan, melawan saat digiring ke mobil. Sebelumnya, ia
meminta pada polisi untuk melepas borgol.
Kejanggalan
tersebut mendorong Muhammadiyah dan Komnas HAM melakukan investigasi kasus tersebut. Termasuk
melakukan otopsi terhadap jenazah terduga teroris asal Klaten, Jawa Tengah itu.
Hasil autopsi tim forensik yang dipimpin
oleh dr. Gatot Suharto menjelaskan bahwa Siyono mengalami
patah di lima iga bagian kiri, patah satu iga bagian kanan, dan tulang dada
yang patah akibat benda tumpul di rongga dada mengarah ke jaringan jantung. Juga
ditemukan luka ketokan di kepala, tapi hal itu tidak menyebabkan perdarahan
atau kematian. Dari temuan tersebut tim forensik menegaskan tak ada tanda-tanda yang menunjukkan
perlawanan atau tangkisan dari yang bersangkutan.
Mantan
Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi menyatakan bahwa pihaknya sudah pernah
mengingatkan kepada aparat keamanan untuk tidak bertindak terlalu berlebihan
dalam menangani kasus terorisme. Tindakan aparat yang berlebihan kepada mereka akan
menambah militan mereka dalam aksi kekerasan. Untuk menangani soal terorisme dilakukan
sesuai dengan situasi di Indonesia atau untuk kepentingan negara dan
bangsa. Ketika aparat melakukan penindakan, harus disertai data yang lengkap.
Karena itu densus 88 diminta tidak
memperlakukan seseorang yang masih terduga teroris sebagai teroris. (http://www.republika.co.id/)
Menanggapi
berbagai tudingan miring, Kapolri Jendara Badordin Haiti, kemaren (13/4) di
Jakarta angkat bicara. Orang nomor satu di Korps Bhayangakara itu tak sepakat
jika satuan berlambang burung gagak itu disebut merampas dan melanggar HAM. Ditegaskannya, selama ini
kepolisian sudah menempatkan Hak Asasi Manusia. Kalaupun terjadi kekerasan hal
itu bukan berarti melanggar HAM. Bisa saja, kekerasan itu dilakukan untuk
melindungi diri dari upaya perlawanan maupun penyerangan yang dilakukan
tawanan.
Di
tempat terpisah, dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI kemaren (13/4),
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Tito Karnavian mengaskan
bahwa hasil otopsi tidak dapat menjelaskan kronologis. Otopsi hanya
menggambarkan luka dan bentuk kekerasan yang dialami. Untuk mengetahui lebih
jauh sebab luka atau bentuk kekerasan dibutuhkan kesaksian saksi. Untuk
kebutuhan tersebut, internal Polri sedang melakukan investigasi. (Radar Cirebon 14/4)
Catatan
Terkait permasalahan di atas, menurut
hemat saya ada beberapa catatan yang mesti dipahami bersama. Catatan berikut
diharapkan dapat membantu dalam mendudukan permasalahan secara proporsional,
juga dalam mengambil sikap. Catatan ini akan menjawab apa Densus 88 masih
diperlukan? Sebab itu, semua
pihak baik aparat, aktivis HAM dan masyarakat luas kudu memahami. Pertama, bahaya terorisme. Saya
beranggapan, semua dari kita sepakat atas itu. Bahaya terorisme telah mengancam
kedamaian masyarakat global. Secara kemanusian, tindakan terorisme tak segan
merenggut banyak jiwa. Terorisme menyebar rasa takut. Dari sisi ekonomi, aksi
teror mempersempit bahkan menutup masuknya investasi. Secara politik, terorisme
mengoyak stabilitas nasional.
Sebab itu, terorisme menjadi musuh
nyata bersama msayarakat dunia, termasuk Indonesia. Teororisme harus dilawan.
Setiap dari kita memiliki tanggungjawab dalam memerangi terorisme sesuai fungsi
dan peran masing-masing. Melawan dan memerangi terorisme membutuhkan kesatuan
dan kekompakan tekad, gerak serta langkah. Satu sama lain saling menopang dan mendukung.
Tidak boleh, berceraiberai apalagi saling menyalahkan.
Khusus untuk terorisme, Kepolisian RI
telah membentuk Detasemen khusus yang disebut Densus 88 Antiteror. Pasukan
khusus ini dilatih khusus untuk menangani segala ancaman teror, termasuk teror bom. Beberapa anggota
juga merupakan anggota tim Gegana.
Detasemen 88 dirancang sebagai unit antiterorisme yang
memiliki kemampuan mengatasi gangguan teroris mulai dari ancaman bom hingga
penyanderaan.
Kedua,
Hak Asasi Manusia
(HAM) adalah sesuatu yang wajib dijunjung tinggi oleh semua warga negara. HAM
telah diatur dalam UUD 1945. Dalam Pasal 28 A, setiap orang berhak untuk hidup
serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pasal ini sangat tegas, bahwa
menghilangkan nyawa tanpa alasan hukum yang ada merupakan pelanggaran HAM.
Ketiga,
prosedur merupakan
sesuatu yang harus ditempuh dan dilalui. Prosedur tak boleh dilewatkan. Setiap
hal ada prosedurnya. Dalam hal penangkapan misalnya, aparat kepolisian memilki
prosedur baku. Prosedur ini menjadi acuan apa seorang polisi menjalankan tugas
sesuai aturan atau tidak. Karenanya, dalam melaksanakan tugas seperti
penangkapan, polisi tidak boleh melalaikan semua prosedur yang ada. Kaitan
dengan ini, mengabaikan prosedur menyebabkan pelanggaran HAM.
Keempat, penegakan hukum. Penegakan hukum akan
menghadirkan keadilan. Hukum akan menjelaskan siapa yang salah dan yang tidak.
Setiap persoalan seyogyanya diputus melalui jalur hukum. Proses hukum wajib didahulukan.
Dan keputusan hukum harus dihormati, diterima semua pihak yang bersengketa.
Dari
catatan di atas, kita memahami, bisa bersikap terkait persoalan penangkapan
Siyono. Kepolisian sepatutnya segera mengusut, menginvestigasi anggotanya yang
diduga meyalahi prosedur terkait penangkapan tersebut. Polri tak boleh
melindungi anggotanya. Polri sebagai elemen penegak hukum sepantasnya mampu
memberi contoh dalam penegakan hukum. Ini akan menjadi pembelajaran bagi yang
lain. Sehingga di waktu yang akan datang tak ada aparat yang mengabaikan,
melalaikan prosedur dalam setiap tindakan yang diambil. Apa pun keputusannya,
semua pihak harus menerima.
Kemudian
kesalahan individu atau oknum tidak boleh digeneralkan pada institusi. Karenanya,
dalam masalah ini tidak dapat dikatakan Densus 88 melanggar HAM, harus
dibubarkan. Densus 88 tetap dibutuhkan. Membubarkan Densus 88 akan menjadi
angin segar bagi pelaku teror. Sebab
itu, Densus 88 harus meningkatkan kinerja dalam menangani terorisme. Dalam
menjalankan fungsi dan peran, Densus 88 dintuntut memperhatikan dan menjungjung
tinggi HAM.
Walhasil,
Densus 88 Antiteror masih dibutuhkan. Mereka unjung tombak dalam menghadapi
ancaman bahaya terorisme di tanah air.Terorisme yang menjadi musuh penduduk
dunia itu harus dilawan secara bersama. Setiap dari kita harus mengambil peran
sesuai fungsnya. Ini juga seyogyanya dijadikan momentum bagi Densus 88 dan BNPT untuk mengevaluasi
diri, agar kedepan lebih baik lagi menjalankan peran dan fungsinya.
Dimuat di Harian RADAR CIREBON, Rabu, 20 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar