Belakangan kehidupan berbangsa dan
bermasyarakat kita terusik dengan insiden dan tindakan intoleransi yang
dilakukan oleh sebagian elemen masyarakat. Mereka melakukan tindakan yang
mengabaikan hak-hak warga negara lain. Atas nama mayoritas, mereka menekan kaum
minoritas yang dianggap berbeda. Mereka merampas kemerdekaan berpendapat,
berkumpul dan mengamalkan apa yang diyakini. Untuk tujuan itu, tindakan
kekerasan dijadikan pilihan penyelesain masalah. Mereka memaksakan kehendak,
membubarkan kegiatan. Kaum minoritas pun tak punya pilihan selian mengalah
walau mereka mengantongi surat izin dari kepolisian. Dan sedihnya, tindakan
intoleransi itu dilakukan oleh ormas keagamaan.
Awal bulan ini, secara beruntun
tindakan intoleransi mencoreng kedamain warga. Diawali dengan pembubaran
peringatan kelahiran putri Rasulullah SAW, Fatimah Az-Zahra oleh komunitas yang
menamakan diri Aswaja di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. Kegiatan diperingati komunitas
pencinta Ahlul Bait Nabi, atau yang dikenal dengan Syiah itu semula akan di digelar
di Gedung Diponegero, Bangil, Jumat (1/4/2016). Karena alasan keamanan,
berdasarkan hasil pertemuan antara panitia dan
pemerintah setempat acara dipindahkan
di salah satu rumah warga. Walau dengan jaminan keamanan dari aparat
kepolisian, acara tersebut tetap dipaksa bubar oleh masa Aswaja.
Di
hari yang sama (1/4), Organisasi Front Pembela Islam (FPI) membubarkan secara
paksa forum diskusi yang digelar kelompok diskusi Batas Arus Pekanbaru,
Jaringan Filsafat Islam (Jakfi) Pekanbaru, dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),
di Pusat Kegiatan HMI di Jalan Melayu, Kecamatan Marpoyan Damai, Pekanbaru. Pembubaran dilakukan dengan cara menjemput
paksa pembicara asal Yogyakarta, AM Safwan saat tiba di Pekanbaru. Tindakan FPI dilakukan karena mereka mengira diskusi itu akan
membahas soal aliran Syiah.
Berikutnya (2/4), aparat kepolisian bersama sejumlah organisasi massa yang
mengatasnamakan Islam membubarkan acara Lady Fast 2016 di ruang komunitas seni
Survive Garage, Bugisan, Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pembubaran
dilakukan oleh Forum Umat Islam (FUI) dan Fron Jihad Islam (FJI).
Tindakan intoleransi di
atas ironis terjadi. Kenapa? Karena sebelumnya Presiden Jokowi sudah memerintah
Kepolisian untuk bertindak tegas pada kelompok intoleransi yang melarang aktivitas kelompok lain. Siapa pun yang
melakukan tindakan intoleransi dalam konteks kenegaraan harus ditindak.
Perintah tegas Presiden nampaknya tak
dipahami jajaran kepolisian. Terbukti, mereka tak mampu menjalankan perintah
tersebut. Aparat kepolisian lebih cenderung mengalah, mengikuti tuntutan
kelompok intoleransi. Padahal pihak yang dibubarkan telah mengantongi izin dari
mereka. Bukankah ini aneh? Memberi izin, tapi tak mampu mengamankan kegiatan.
Menurut
Zuhairi Misrawi, intlektual muda NU, masalah
terbesar intoleransi adalah pembiaran negara terhadap pelaku intoleransi.
Bahkan, cilakanya dalam beberapa kasus, pemerintah dan aparat keamanan justru
terlibat dalam aksi intoleransi bersama-sama dengan kelompok intoleran.
Di
samping itu, ormas keagamaan dan Majelis Ulama Indonesia dianggap menjadi
pemicu intoleransi dengan fatwa-fatwanya yang cenderung diskriminatif terhadap
kelompok minoritas. Adapun kelompok yang paling banyak menjadi korban, yaitu
Ahmadiyah, Syiah, dan Kristen.
Yang
mutakhir, rencana Majelis Ulama Indonesia untuk mengeluarkan panduan fatwa
sesat terhadap Syiah makin menciptakan kecemasan di antara warga penganut Syiah
di negeri ini. Jika ini tidak diantisipasi dengan baik, maka konflik
Sunni-Syiah yang mencabik-cabik Timur-Tengah akan merembes serius ke negeri
ini.
Selain
itu, belakangan muncul trend baru, yaitu kelompok yang diduga sebagai
manifestasi komunisme menjadi sasaran pelaku intoleransi. Pembubaran festival
Belok Kiri di Taman Ismail Marzuki, pembatalan pemutaran film Pulau Buru di
Goethe Institute, dan pembubaran pentas monolog Tan Malaka di Bandung. Padahal
untuk yang terakhir bisa digelar karena adanya jaminan keamanan dari Walikota
Bandung, Ridwan Kamil.
Tapi, tetap saja dibubarkan.(http://nasional.kompas.com/)
Menurut
hemat saya, intoleransi akan lenyap dari bumi pertiwi jika setiap dari kita mengakui perbedaan. Perbedaan adalah
keniscayaan. Apalagi, bagi kita bangsa Indonesia. Bangsa ini memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika. Semboyan dari
leluhur itu menjelaskan, manusia pasti
berbeda-beda. Tapi perbedaan tak boleh memecah belah bangsa. Walau berbeda, kita
tetap satu.
Bhineka
Tunggal Ika telah menyatukan bangsa dan negara. Apa mungkin sebagian dari kita akan
meruntuhkan dan merobohkannya? Sikap intoleransi akan mengoyak persatuan
bangsa. Intoleransi bisa dimanfatkan oleh pihak asing untuk mengadu domba antara anak bangsa.
Terbukti, di Timur Tengah intoleransi menjadi pemicuh utama perang saudara
berkepanjangan sesama negara muslim.
Kemudian,
saling menghormati dan menghargai. Bukankah itu ajaran setiap agama? Tidak ada satu agama pun yang membolehkan saling
menyerang, mencaci, menghina orang lain. Tidak aga agama memperbolehkan tindak
kekerasan. Lebih-lebih Islam, manusia diumpamakan seperti bangunan yang saling
menguatkan, membutuhkan.
Selanjutnya,
mengedepankan dialog mencegah tindak kekerasan. Dialog diartikan sebagai adu
argumentasi secara sehat dan rasional.
Masing-masing pihak yang berbeda dapat menguji argumentasi masing-masing. Dialog tersebut
dilakukan dengan senantiasa menjujung tinggi kesantunan. Sehingga dialaog
dimaksud tidak berakhir pada tindak kekerasan. Dialog berakhir dengan saling
mengormati, menghargai satu sama lain. Dialog berakhir dengan pengakuan atas
perbedaan itu sendiri.
Seseorang
menutup dialog dikarenakan sempit pandang dan dangkalnya ilmu. Kemudian muncul
sikap berlebihan (baca:fanatik) terhadap yang dipahami dan diyakini. Fanatisme
seperti itu menghadirkan peerasaan paling benar. Merasa paling benar melahirkan
anggapan semua yang berbeda menjadi salah. Maka layak disesatkan, dikafirkan, dilawan, dan
dibubarkan. Berakhirlah pada pilhan tindak kekerasan.
Selain
itu, menyadari pentingnya persatuan bangsa. Bangsa ini berdiri karena jasa para
pendahulu. Mereka bersatu mengusir penjajah, mendirikan dan membangun negara.
Walaupun suku, agama, bahasa, budaya serta lainnya berbeda, mereka tetap
bersatu. Tak melihat perbedaan sebagai penghalang. Perbedaan dipahami sebagai
kekayaan, potensi bangsa. Ini barangkali arti perbedaan sebagai rahmat yang
diajarkan Islam. Bukankah Nabi Muhamad SAW pernah menyatakan bahwa perbedaan
adalah rahmat?
Akhir
kata, mengutif Prof. M.Quraish Shihab (2014), perbedaan adalah keniscayaan,
sedangkan persatuan adalah keharusan yang harus diwujudkan. Keragaman dan
perbedaan tidak dapat dihindari walau dalam saat yang sama, manusia dituntut
oleh kedudukannya sebagai makhluk sosial untuk menyatu dalam bentuk bantu
membantu dan topang menopang.
Maka
tak ada pilihan lain selain mengembangkan sikap toleransi dan membuang
intoleransi. Sebab itu, setiap dari kita
harus mengakui perbedaan-perbedaan yang ada, saling menghormati dan menghargai,
mengedepankan dialog menghindari kekerasan, mengulurkan tangan dengan yang
berbeda sembari mengedepankan persatuan di atas segala.
Kemudian
Pemerintah terutama aparat kepolisian diminta lebih tegas lagi terhadap setiap
tindakan, gerakan kelompok intoleran. Deretan insiden di awal bulan ini harus
menjadi pelajaran penting bagi kepolisian RI. Polri harus patuh pada perintah
Presiden. Mereka wajib menjalankan setiap perintah. Kelalaian dan pembiaran
aparat keamanan dalam menindak setiap tindak intoleransi bisa menjadi preseden
terburuk keamanan negeri ini.Wa Allahu
Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar