Judul tulisan ini mungkin sedikit
janggal. Apa ada Presiden sekelas Walkota? Demikian, apa ada orang sekelas
presideng menjadi calon gubernur (Cagub)? Ya, namanya juga politik. Segala hal
dapat terjadi. Membaca judul di atas, saya yakin anda mengetahu siapa yang
dimaksud. Tanpa berlama-lama, saya menyebut Presiden Jokowi dan bakal c.alon
gubernur DKI Jakarta, Prof Yusril Ihza Mahendra.
Anda pasti ingat, saat Pilpres tahun
2014 yang lalu, Prof. Yusril menyebut (tepatnya mengejek) Jokowi sebagai calon
Presiden sekelas Walikota. Sebenarnya sebutan itu sudah dilontarkan sang
Profesor ahli hukum itu ketika Jokowi mencalonkan diri menjadi calon gubernur
DKI. Bahkan sampai saat ini, ejekan sang Profesor itu masih berlaku, kerap kali
digunakan.
Belum lama, ketika menjadi khatib
Jumat di Masjid Nurul Iman, Blok M Square, Jakarta Selatan, Jumat (25/3/2016), Yusril
yang pernah menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Menteri Hukum dan
Perundang-undangan, serta Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia pada kabinet
pemerintahan yang lalu itu kembali
melontarkan statemen benada ejekan tersebut.
Yusril mengatakan, orang yang memiliki
pengalaman menangani masalah nasional, pasti mampu menangani permasalahan
daerah. Sebaliknya, kapabilitas seseorang akan diragukan jika menangani
permasalahan nasional hanya dengan pengalaman mengelola daerah. Jadi, kalau ada tokoh yang mampu
memecahkan persoalan nasional dan dia mau turun memecahkan persoalan daerah itu
baik. Yang tidak baik itu, kapasitas wali kota tetapi jadi presiden, misalnya.
Itu sudah kacau jadinya. (http://megapolitan.kompas.com/)
Mulutmu Harimaumu
Mengamati tutur kata Ketua Umum Partai
Bulan Bintang (PBB) di atas, saya teringat pepatah mulutmu adalah harimaumu. Bahwa tidak sedikit orang dibunuh (karir, kedudukan, kehormatan dll)
oleh mulutnya sendiri. Paling mutakhir adalah apa yang menimpa mantan Wakil
Ketua Fahri Hamzah. Gaya komunikasi politik yang arogan, ugal-ugalan, kasar
menyebabkan partainya sendiri melengserkan.
Sekarang bagaimana dengan Pak Yusril?
Saya melihat beliau sedang mempertaruhkan martabat dan kehormatannya. Saya
menilainya sebagai sebuah keberanian, yang menurut analisa politik saya, sangat
kebablasan. Atau dalam bahasa lain terlalu berani. Bagi saya orang awam, bodoh
politik, terlalu mahal kalau jabatan semisal kursi gubenur harus dibayar dengan
harga diri dan kehormatan.
Berikut penjelasan lebih jauh. Di
antara calon gubernur DKI Jakarta yang namanya beredar, saya melihat Yusril
yang paling berambisi, menggebu-gebu. Tapi sayang, ambisi dan semangat politik
beliau tak dibarengi dengan kekuatan politik riil yang menggembirakan. Yusril
adalah ketua umum PBB. PBB tak memiliki kursi satu pun di DPRD DKI Jajarta.
Dengan demikian, otomatis tak dapat diandalkan. PBB tidak mungkin bisa
mendaftarkan sang Ketua Umum. Ini kenyataan yang mestinya dipahami oleh Yusril.
Namun, nampaknya beliau tidak memahami hal itu. Atau pura-pura tak paham
sehingga menganggap realita politik tersebut tidak ada.
Yusril nampaknya buta mata, buta
pikir. Pengacara hebat yang pernah jadi Calon Presden di awal reformasi itu memperlakukan dirinya layaknya pemimpin
partai pemenang pemilu. Berkoar-koar ke sana kemari, seakan dirinya paling
hebat. Walau kenyataan politik justru sebaliknya. Ia ibarat orang yang
menjerit-jerit di pinggir jalan mencari
tumpangan di tengah hiruk pikuk lalu lalang kendaraan. Pertanyaan, apa ada
kendaraan yang mau berhenti? Kemudian mengantarkannya ke KPUD Jakarta,
mendaftarkanya sebagai calon gubernur?
Untuk hal di atas, saya angkat topi, salut. Beliau tak kenal
malu, apalagi gengsi. Sebagai seorang ketua umum partai, Yusril telah
mendaftakan diri sebagai bakal calon di hampir semua partai. Daftar ke PDI-P,
Gerindra, PKB, juga lainnya saat penjaringan cagub. Pak Yusril seperti orang
yang meminta belas kasihan, dalam bahasa pengamat politik mengemis ke semua
partai. Dan itu dilakukan dengan tetap semangat, percaya diri, bahkan
(maaf-maaf) degan tetap sombong. Memang terdengar aneh, meminta kok dengan
membusungkan dada. Tapi itu yang membedakan Pak Yusril dari politis tanah air
lainnya.
Kembali ke persoalan, kenapa saya
menyebut Yusril Ihza Mahendra menjual kehormatan dan martabat? Analisanya
sebagai berikut. Pertama, penumpang di
partai lain, tak mungkin diposisikan sebagai calon gubernur. Paling hanya dicalonkan
menjadi wakil gubernur, itu pun kalau partai-partai tersebut merelakan menutup
potensi kadernya untuk memimpin DKI. Ini memang kecil kemungkinannya. Tapi tak
apalah, namanya juga politik tak ada sesuatu yang tak mungkin. Hanya yang
menjadi persoalan, apa Yusril mau menjadi orang nomor dua? Jelas tidak. Dalam
berbagai kesempatan ia hanya bersedia dicalonkan menjadi cagub. Kecuali bila
yang bersangkutan menelan ludahnya sendiri.
Kedua, sulit mempersatukan seluruh partai. Kenapa? Karena
setiap partai memiliki kepentingan, agenda politik yang berbeda. Sementara
Yusril bersedia dicalonkan bila hanya ada dua pasangan calon. Yusril berambisi
melawan dan mengalahkan teman sekampungnya Ahok, head to head. Sementara Ahok sendiri sudah bulat mencalonkan
diri lewat jalur independen.
Dua hal di atas, menurut hemat saya,
menjadi kendala nyata bagi Yusril Ihza Mahendara. Jadi walau beliau sudah all
out, menjual harga diri dan kehormatan, nasibnya menjadi calon gubernur akan sangat sulit. Saya tak
mengatakan mustahil, karena dalam poliitik tak ada yang tidak mungkin.
Jadi bagaimana nasib calon Gubernur
sekelas Presiden sepert Yusril Ihza Mahendra? Apa harus gigit jari? Warga DKI
Jakarta akan menentukannya pada Pilkada 2017 mendatang. Bisa saja Yusril
mengalahkan Ahok, asal beliau memilki program kerja yang menjanjikan, mengalahkan dengan apa yang sudah dilakukan
oleh Ahok sebagai gubernur DKI. Sayangnya selama ini, Prof Yusril tak pernah
memaparkan visi misinya memperbaiki Jakarta. Yusril hanya bisa mencari
kesalahan Ahok , sang petahana. Lebih miris lagi, untuk hal itu Yusril
melakukannya dengan menghalalkan segala cara.
Yusril tak sungkan menyerang Ahok berkait etnis, bahkan agama. Isu SARA
digunakan sebagai senjata menyerang lawan, menyebar kebencian. Ini menjadi sisi
kelemahan lain dari Yusril. Bagi pemilih cerdas tentu cara-cara yang ditempuh
Yusril seperti itu tak menarik.
Akhirnya, mulutmu harimaumu akan
menggulung cita-cita Yusril jika yang bersangkutan tak merubah strateginya
dalam meraih simpati masyarakat Jakarta. Selama ini Yusril sering melontarkan
statemen yang blunder. Omong besar nan
kosong yang kerap disampaikan Yusril akan membuat masyarakat muak. Saatnya, Pak
Yusril berubah bila ingin sukses raih DKI 1.Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar