Beberapa waktu lalu, DPR RI
mewacanakan pembangunan perpustakaan termegah di Asia Tenggara dalam kompleks
parlemen. Tujuannya untuk membantu anggota dewan dalam meningkatkan kinerja.
Anggaran diambil dari proyek DPR di APBN 2016 senilai 570 milyar.
Perpustakaan ini nantinya akan menjadi satu gedung dengan gedung baru untuk
ruang kerja anggota.
Pro kontra bermunculan. Tidak
sedikit penolakan dari masyarakat luas, bahkan kalangan DPR sendiri. Fraksi
Nasdem misalnya, dari awal telah menolak gagasan tersebut. Alasanya, karena
eranya sekarang adalah e-library,
perpustakaan digital. Selain itu,
perpustakaan yang ada saja belum termanfaatkan secara maksiamal. Berdasarkan laporan merdeka.com selama periode Januari hingga Desember 2015,
tercatat 4.953 pengunjung telah hadir di perpustakaan ini. Pengujung yang datang rata-rata merupakan tenaga
ahli. Anggota DPR jarang datang.
Perpustakaan yang direncakana akan menampung sekitar 600.000
koleksi buku dan karya sejenis itu juga ditolak oleh Forum Indonesia untuk
Trasnsparansi Anggaran (Fitra). Fitra beragumentasi, proyek itu telah menyalahi
perencanaan awal, anggaran yang sebesar sangat rawan penyelewengan, serta
memiliki potensi mark up yang sangat
tinggi. (http://kabar24.bisnis.com/)
Sebenarnya pembangunan DPR
merupakan gagasan yang bagus. Hanya, menurut hemat saya, momentumnya tidak
tepat. Dalam mengambil kebijakan, pemerintah sepatutnya membuat skala
prioritas. Yakni mendahulukan yang lebih penting dan mendesak dari banyak hal
penting. Menentukan skala prioritas
memerlukan kajian dan pertimbangan banyak aspek. Karenanya, anggota DPR diminta bijak dalam
memandang soal rencana tersebut. Mereka kudu mengkaji ulang berbagai program, membuat
prioritas.
Perpustakaan yang ada
sebenarnya dapat dimaksimalkan
manfaatnya oleh anggota dewan. Kalau perpustakaan yang ada saja sepi
pengunjung, apa pantas mengusulkan yang baru? Anggota dewan adalah teladan bagi
rakyat. Sepantasnya mereka memberi contoh dan teladan yang baik.
Dan sayangnya, gagasan dan
wacana pembangunan perpustakaan termegah itu tidak berbanding lurus dengan minat baca
masyarakat. Ada ketimpangan yang sangat mencoolok. Kemegahan perpustakaan DPR
tak mencerminkan minat baca rakyatnya. Berdasarkan sebuah surveii Indonesia
menempati urutan ke 60 dari 61 negara. Indonesia
hanya setingkat lebih tinggi dari Botswana, sebuah negara miskin di Afrika. Penelitian di bidang literasi yang
dilakukan oleh Central Connecticut State University di New Britain, Conn,
Amerika Serikat, menempatkan lima negara pada posisi terbaik yaitu Finlandia,
Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia (The Jakarta Post, 12 Maret 2016).
Budaya
Literasi
Hasil penelitian di atas menunjukkan betapa lemahnya budaya
literasi dalam masyarakat Indonesia. Bangsa kita masih mengandalakan apa yang dilhat dan didengar dalam berpikir, bersikap,
dan bertindak. Berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik (BPS), seperti ditulis selasar.com 29-5-2015,
pada tahun 2006 menunjukkan
85,9 persen masyarakat memilih menonton televisi daripada mendengarkan radio
(40,3 persen) dan membaca koran (23,5 persen). Kita belum terbiasa
melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman dari membaca. Kita belum
mengaktualisasikan diri melalui tulisan. Membaca dan menulis
belum mengakar kuat dalam budaya bangsa kita. Masyarakat lebih sering menonton atau mendengar dibandingkan
membaca apalagi menulis.
Kondisi di atas tidak hanya pada kalangan awam (masyarakat
umum), lingkungan terpelajar atau dunia pendidikan pun masih jauh dari apa yang
disebut budaya literasi. Peserta didik belum tertanam kecintaan membaca. Bahkan
guru dan dosen, tak sedikit dari mereka yang juga sama keadaanya. Itu bisa
dibuktikan dengan minimnya jumlah buku
yang dimiliki mereka. Perpustakaan sekolah yang tak terawat dapat menjadi saksi
bisu betapa civitas akademika itu jauh dari
budaya literasi. Sebab itu, di awal tahun pelajaran 2015-2016 yang lalu, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan telah mengeluarkan peraturan
menteri (Permen), yang mewajibkan para siswa membaca buku 10 menit sebelum jam
belajar dimulai.
Taufiq Ismail pernah
melakukan penelitian. Pada tahun 1996 menemukan perbandingan tentang budaya
baca di kalangan pelajar, rata-rata lulusan SMA di Jerman membaca 32 judul
buku, di Belanda 30 buku, Rusia 12 buku, Jepang 15 buku, Singapura 6 buku,
Malaysia 6 buku, Brunei 7 Buku, sedangkan Indonesia 0 buku. Ini tentu
memperhatinkan.
Apa budaya litersai itu? Budaya seperti disebutkan wikipedia.org diartikan sebagai sesuatu
yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan
yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari,
kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan literasi
dalam Kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan tulis-menulis. Dalam konteks
kekinian, literasi atau literer memiliki definisi dan makna yang sangat luas.
Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis dan peka
terhadap lingkungan sekitar. Maka secara sederhana, budaya literasi dapat didefinisikan
sebagai kemampuan menulis dan
membaca masyarakat dalam suatu Negara.
Melihat masih rendahnya minat
baca masyarakat, menurut hemat saya anggaran besar itu lebih baik dimanfaatkan
untuk membangun budaya literasi, khususnya mendorong minat baca bangsa ini.
Berikut hal-hal yang bisa dilakukan. Pertama,
subsidii buku. Di beberapa negara maju, pembelian buku memperoleh subsidi
dari pemerintah. Sebagai nagara berkembang yang mengejar ketertinggalan di
berbagai sektor, tak salah jika Pemerintah Indonesia mengusahakan hal tersebut.
Subsidi akan membantu masyarakat dalam memiliki serta membaca buku. Ini
terlihat mustahil. Tapi selagi ada usaha dari semua pihak, saya yakin tidak ada yang mustahil.
Kedua, mengoptimalkan peran perpustakaan daerah. Keberadaan
perpustakaan daerah selama ini belum menunjukkan perannya dalam masyarakat.
Keberadaanya antara ada dan tiada. Ini terkait dengan pengelolaan dan pelayanan
yang belum maksimal. Sebab itu pelayanan wajib ditingkatkan, koleksi buku
ditambah. Perpustakaan daerah diupayakan membuat terobosan dengan kegiatan
menarik seperti lomba menulis, lomba baca puisi, atau lainnya.
Ke depan perpustakaan daerah diminta menjadi lokomotif minat baca masyaraat. Ini sebuah tantangan berat sekaligus tanggung
jawab dalam upaya menanamkan budaya
membaca dan menulis. Kemudian, rasanya tidak rasional bila satu daerah hanya
satu perpustakaan. Sebab itu, perlu dipertimbangkan oleh pemerintah untuk
membangun perpustakaan umum di setiap kecamatan atau desa. Ini semata-mata
untuk mendekatkan bacaan ke masyarakat.
Akhir kata, wacana pembangunan
perpustakaan DPR perlu dipertimbangkan. Gagasan itu pada dasarnya baik, bagus.
Hanya momentumnya yang belum tepat. Ada banyak hal yang wajib diprioritaskan
oleh bangsa ini. Salah satunya adalah upaya membangkitkan minat baca masyarakat
atau budaya literasi. Budaya literasi bangsa kita tertinggal jauh dari negara
lain. Sebab itu, sebelum membangun gedung perpustakan megah yang menghabiskan
anggaran besar, alangkah bijaknya kita membangun budaya literasi bangsa kita
terlebih dahulu. Dana besar tersebut bisa digunakan untuk membangun perpustakaan umum di setiap kecamatan atau
penambahan stok buku perpustakaan daerah yang ada. Pemerintah juga bisa
mensubsidi buku.
Wa Allahu Alam
Dimuat di Harian Umum RADAR CIREBON Rabu 6 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar