Mulai hari ini (4/4), para pelajar
tingkat SLTA (SMU/SMK/MA) melaksanakan Ujian Nasional (UN). UN rencananya akan
digelar mulai tanggal 4 sampai 7 April 2016. Tahun ini merupakan tahun kedua UN
dengan paradigma baru. UN tak seperti sebelumnya, ditakuti tidak hanya oleh peserta didik, guru, kepala
sekolah tapi juga oleh para kepala daerah. Pasalnya, UN menentukan penilaian tentang kondisi pendidikan di setiap daerah.
Sekarang UN hanya bertujuan untuk 1) pemetaan mutu program dan/atau
satuan pendidikan 2) dasar seleksi masuk
jenjang pendidikan berikutnya dan 3)pembinaan dan pemberian bantuan kepada
satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Tidak
lebih dari itu.
Perubahan
paradigma dan tujuan UN tidak tanpa masalah. Saya melihat UN tak sakral lagi.
UN tak mendorong semangat peserta didik. Motivasi belajar siswa menjadi
menurun. Mereka beranggapan UN tak penting lagi. UN tak menentukan kelulusan
seperti sebelumnya. Ada apa sebenarnya dengan motivasi belajar peserta didik
kita?
Sebelumnya,
perlu dijelaskan bahwa motivasi menurut Mc. Donald, yang
dikutip Oemar Hamalik (2003:158) adalah perubahan energi dalam diri seseorang
yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan.
Sedang motivasi belajar adalah keseluruhan
daya penggerak baik dari dalam diri maupun dari luar siswa (dengan menciptakan
serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu) yang menjamin
kelangsungan dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang
dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai. (http://belajarpsikologi.com)
Nah, sekarang bagaimana dengan
motivasi belajar siswa-siswi kita? Saya memandang ada yang salah pada motivasi
belajar peserta didik. Secara umum motivasi siswa-siswi berorentasi pada nilai (value oriented). Nilai menjadi target bahkan tujuan dalam belajar.
Motivasi itu menguat dalam diri siswa karena dorongan lingkungan mereka mulai
lembaga sekolah sampai keluarga. Kenapa? Karena ternyata guru atau sekolah
mereka dalam menyelenggarakan pendidikan
dan pembelajaran juga berotrientasi pada nilai. Demikian pula orang tua. Hal
pertama yang ditanyakan pada anak untuk melihat perkembangan belajarnya adalah nilai. Nilai menjadi target terpenting.
Ranking menjadi hal yang sangat ditunggu saat melihat rapot anak. Saat dalam
buku rapot tidak tersedia kolom ranking, mereka memaksa guru untuk membuatnya.
Untuk mendapatkan nilai baik, orang
tua siap mengeluarkan uang untuk biaya les atau paket kursus anaknya. Nilai
menjadi tujuan belajar peserta didik. Motivasi dan tujuan belajar seperti di atas
hanya menghasilkan siswa yang materealis yang megukur segala dengan angka,
menciptakan generasi yang hanya pandai
tapi tak bisa berbuat apa-apa, genius tapi tak mampu menyelesaikan masalah.
Motivasi belajar seperti di atas,
menurut hemat saya kurang tepat. Bisa jadi motivasi belajar yang salah tersebut menjadi salah satu sebab gagalnya pendidikan
di negeri. Pendiikan kita belum bisa mewujudkan tujuan penddikan nasional secara
maksimal. Yakni mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Menurut Munif Chatib, penulis buku sekolahnya manusia siswa itu dalam belajar, sekolah dalam
menyelenggarakan pendidikan, orang tua dalam membekali pendidikan anak
seharusnya berorientasi pada:1.Untuk tahu cara memenuhi kebutuhan hidup mereka,
2. Untuk bisa menyelesaikan berbagai masalah yang akan dihadapi 3. Mengarah
kepada tujuan profesi sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki. Saya menambahkan satu lagi bahwa pembelajaran
harus bercorak penanaman karakter atau akhlak mulia dalam bahasa agama. Ini
penting, agar siswa tidak hanya dibekali ilmu (knowledg), skil atau
ketrampilan, tapi ditanamkan juga karakter yang kuat.
Kementerian
Pendidikan Nasional (2011) menyebutkan 18 macam pendidikan karakter. Yakni 1.Religius 2. Jujur 3. Toleransi 4.
Disiplin5. Kerja Keras. 6. Kreatif 7.Mandiri8. Demokratis 9. Rasa Ingin Tahu 10. Semangat Kebangsaan 11. Cinta Tanah Air 12. Menghargai Prestasi 13. Bersahabat/Komunikatif 14. Cinta Damai 15. Gemar Membaca 16. Peduli Lingkungan 17. Peduli Sosial 18. Tanggung Jawab.
Ke depan motivasi belajar yang berorientasi
kepada nilai harus dihilangkan dari dunuia pendidikan kita. Bila perlu
penilaian dengan angka normatif ditiadakan. Memberi nilai pada pesedeta didik
cukup dengan penilaian kualitatif seperti Baik,
Sedang, Kurang tanpa menyebut berapa kuantitatifnya. Ini bisa digunakan
untuk mencabut orientasi pada nilai yang sudah tertanam kuat selama ini.
Menyikapi UN
UN
memang tidak menjadi penentu kelulusan seperti sebelumnya. Tapi bukan berarti
UN tak penting. Pahamilah UN sebagai bagian aktivitas rutin
kependidikan di sekolah yang harus
disiapkan oleh semua yang terlibat secara baik. Peserta didik kudu
menyiapkannya sebaik mungkin. Guru seyogyanya membimbing mereka dengan baik.
Kemudian Sekolah memberikan fasilitas
yang dibutuhkan oleh guru dan peserta didik dalam mempersiapkan diri menghadapi
UN.
Dalam sebuah kesempatan,
Menteri Mendikbud Anies Baswedan berpesan kepada peserta didik agar selalu
belajar. Ikuti program sekolah dalam menyiapkan diri menghadapi UN. Istirahat
yang cukup, jaga kesehatan. Dan yang paling penting, ujian harus dijalani dengan kejujuran. Ujian dilaksanakan untuk mengetahui sampai
sejauh mana pencapaian yang didapat. Itulah salah satu tujuan UN. Yakni berkaca di mana
letak kekurangan dan kelebihan kita, baik peserta didik, guru, juga sekolah.
Orang tua tak
perlu panik, tapi harus tetap memberi motivasi dan semangat. Dampingi anak-anak
dengan keikhlasan dan kasih sayang. Ciptakan kondisi yang menyenangkan bagi
anak. Kemudian iringi perjuangan mereka dengan doa agar kesuksesan menyertai dalam
menghadapi UN tersebut.
Singkat
kata, UN telah berubah. UN tidak lagi menjadi penentu utama kelulusan yang
menakutkan bagi peserta didik. Namun demikian, tidak berarti semangat belajar peserta didik boleh menurun. Belajar
itu bukan untuk nilai. Belajar itu untuk menyiapkan kehidupan yang lebih baik,
masa depan yang cerah. Meraih profesi yang sesuai dengan bakat dan keinginan.
Terakhir,
mengutip ungkapan Mendikbud Anies Baswedan, UN
bukan untuk lulus 100 persen, tetapi lakukanlah dengan jujur 100 persen, karena
UN tidak lagi menjadi syarat tunggal kelulusan.
Tujuan UN adalah untuk mengetahui capaian belajar seorang siswa. Ini merupakan
hak seorang siswa untuk mengetahui capaian belajarnya. Sebab itu, sekolah tak
perlu berbuat curang. Kejujuran lebih penting daripada prestasi semu yang
dicapai dengan kecurangan. Wa Allahu Alam
Dimuat di Harian FAJAR CIREBON, Senin 4 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar