Masyarakat Jawa Barat belakangan
meributkan keinginan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pasalnya,
anggota legislatif daerah itu mengusulkan pergantian mobil dinas. Mereka telah
mengusulkan anggara ke pemerintah propinsi, untuk 50 mobil. Anggaran dipatok
berkisar 50 milyar rupiah. Sebuah angka yang tidak sedikit. Mereka beralasan,
pergantian mobil dinas itu bertujuan untuk membantu kinerja, terutama saat turun ke daerah guna menemui
rakyat. Mereka menilai mobil yang ada tidak cukup. Tidak membantu memaksimalkan
kerja anggota dewan. Mobil yang berusia enam tahunan itu layak diganti.
Asisten
Perekonomian dan Pembangunan, Sekretariat Daerah Jawa Barat, Deny Juanda
Puradimaja membenarkan, saat dirinya menjabat kepala Bappeda ikut membahas
bersama Badan Anggaran DPRD Jawa Barat membahas perubahan spesifikasi mobil
pinjam pakai Dewan. Ada aturan yang mencantumkan fasilitas DPRD itu setingkat
Eselon II, itu se-Indonesia. Deny mengatakan, kala itu pembahasan antara tim anggaran pemerintah
provinsi dan Badan Anggaran DPRD menyepakati mobil pinjam pakai anggota Dewan
setara kendaraan dinas Eselon II. Di antaranya spesifikasi mobilnya 2.000 cc.
Dalam aturan dimaksud tidak menyebutkan merek. Dan saat ini kendaraan dinas
bagi pejabat Eselon II Jawa Barat sekelas Fortuner. Sementara kendaraan pinjam
pakai anggota Dewan sekelas mobil ekonomis Toyota Rush yang dibeli tahun 2010. (https://m.tempo.co)
Pemeritah
Propinsi Jawa Barat nampaknya bakal menyetujui
rencana tersebut. Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan telah memberi sinyal akan
merealisasikan keinginan anggota dewan mengganti mobil dinas dari Toyota Rush
dan Innova menjadi Toyota Fortuner. Namun demikian pengadaan mobil baru itu
tergantung dari DPRD Jawa Barat. Pemprov Jawa Barat dalam posisi menerima
pengajuan dan merealisasikannya jika memang mobil baru dibutuhkan.
Pro
kontra bermunculan di khalayak. Banyak kalangan mempertanyakan dan menolak. Menurut pengamat politik dan pemerintahan dari Universitas
Parahyangan Bandung, Asep Warlan, pengadaan mobil mewah itu tak elok.
Sebaiknya anggota dewan tak bersikukuh meminta.
Sebab, kondisi ekonomi masyarakat Jabar tak menentu. Harga
Fortuner cukup mahal. Pengadaan mobil mewah itu dapat memperlebar jarak antara
anggota dewan dengan masyarakat. Anggota dewan, seharusnya memikirkan perasaan
masyarakat. Masih banyak orang yang tidak bisa ke rumah sakit karena tak ada
kendaraan. Tiba-tiba, mereka (anggota dewan) datang ke daerah dengan Fortuner.
Secara psikologis ini menyakitka rakyat. (http://jabar.metrotvnews.com/)
Mengambil
pelajaran
Legislator
pada periode ini mendapat sorotan sangat tajam. Pasalnya, mereka (baik yang di pusat atau daerah)
dipandang tak lagi sejalan dengan rakyatnya. Mereka mengingkari, mengkhianati
konstuenya. Mereka lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok dari
kemaslahatan rakyat. Mereka tak sungguh-sungguh memperjuangkan aspirasi rakyat.
Mereka bergelimang dengan harta. Harta benda dan urusan duniawi yang diperoleh
dari jabatan yang ada membuat mereka lalai.
Masih
segar dalam ingatan, kegaduhan di senayan. Dari sejak dilantik mereka hanya
gaduh. Tercatat, mereka hanya mampu mengesahkan tak lebih dari tiga
undang-undang selama dua tahun berjalan masa periode. Mereka sibuk menuntut,
tak pernah memberi solusi bermanfaat bagi kepentingan orang banyak, rakyat yang
diwakili.
Belum
lagi yang terjerat kasus korupsi. Berdasarkan data dari KPK, ada kurang lebih
3600 anggota dewan (DPRD/DPR RI) yang terkena kasus korupsi. Paling mutakhir, apa yang menimpa DPRD DKI
Jakarta. Salah satu anggotanya, Muhamad Sanusi tertangkap tangan KPK saat
transaksi suap dengan pengusaha mewakili pihak swasta. Ketua komisi D itu diduga
menerima suap terkait pembahasan rancangan
Peraturan Daerah (Raperda) tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Provinsi Jakarta. Diduga kuat, M Sanusi tidak sendirian. Ini korupsi
berjamaah anggota DPRD.
Wakil
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif menyebutnya
sebagai grand corruption. Laode
merasa prihatin terhadap kasus suap yang menjerat Ketua Komisi D DPRD DKI
Jakarta, M Sanusi. Kasus yang menjerat politikus Partai Gerindra ini dinilai
luar biasa karena melibatkan perusahaan swasta besar. Kasus ini menjadi bukti
nyata bahwa sebuah korporasi bisa mengintervensi proses pembuatan kebijakan
pemerintah. Bisa dibayangkan bagaimana
kalau semua kebijakan publik dibikin bukan berdasarkan kepentingan rakyat, tapi
hanya untuk mengakomodasi kepentingan orang tertentu atau korporasi tertentu.
Fakta
politik di atas, mestinya menjadi pelajaran bagi anggota DPRD Jawa Barat.
Mereka tidak boleh menutup mata. Sebaliknya, mereka harus waspada. Lebih
hati-hati dalam mengambil langka dan
keputusan. Ingat rakyat menanti kinerja maksimal dari anda, anggota
dewan terhormat.
Oleh
karena itu, menurut hemat saya, usulan penggantian mobil menjadi Fortuna atau
yang sekelas wajib dikaji ulang. Beberapa point berikut dapat dipertimbangkan. Pertama, menjaga perasaan rakyat. Kita
tahu, ekonomi rakyat belum cukup baik bila tidak menyebutnya sedang susah.
Anggota DPRD sebagai kepanjangan tangan rakyat di pemerintahan seyogyanya
memperjuangkan lebih gigih lagi dalam menghadirkan kesejahteraan rakyat. Tidak
elok rasanya, bila mereka mengedepankan kepentingan pribadi ketika rakyat
menjerit karena himpitan ekonomi.
Kedua, mobil dinas masih layak pakai.
Mobil yang dibeli tahun 2010 itu dalam
kondisi cukup baik. Anggota dewan dapat
memaksimalkan fungsi mobil dinas tersebut dalam membantu operasional kinerja
mereka. Selama ini, tidak ada masalah berarti dengan mobil-mobil itu. Kecuali
bila anggota dewan mengutamakan gengsi daripada tujuan utama diberikannya mobil
dinas sebagai alat trasnportasi.
Ketiga, uang 50 milyar itu tidak sedikit.
Dana itu bisa digunakan untuk kepentingan yang lebih bermanfaat dan dirasakan
langsung oleh rakyat. Dana sebersar itu dapat digunakan untuk pembangunan
infrastruktur di Jawa Barat. Misalnya,
digunakan guna memperbaiki ruas
jalan yang rusak, membangun atau rehab
ruang kelas untuk menunjang proses belajar mengajar, atau lainnya.
Keempat, rawan penyelewengan. Berdasarkan
pengalaman di berbagai daerah, usulan program atau raperda seperti itu kerap
kali menjerumuskan anggota dewan ke perbuatan korupsi. Apalagi terkait dana
yang tak sedikit, 50 milyar. Penyelewengan terjadi saat kebijakan itu ditenderkan.
Kelima, mementingkan kemaslahatan orang
banyak (rakyat) daripada kepentingan diri. Sebagai wakil rakyat ungkapan itu
harusnya tertanam kuat dalam diri setiap anggota dewan. Mereka telah berjanji
saat kampanye. Ungkapan seperti disakralkan dalam sumpah janji jabatan saat
pelantikan. Ingat janji adalah hutang. Hutang wajib dibayar. Rakyat menagih.
Mereka akan menghukum anggota dewan yang tak menunaikan. Hukuman dijelmakan di
TPS pada pemilu mendatang.
Akhir
kata, Presiden Joko Widodo beberapa hari lalu
(8/4) mengumpulkan para kepala daerah, terutama yang baru terpilih dalam
pilkada serentak 2015 lalu, di Istana Negara. Jokowi meminta para kepala daerah
melakukan penghematan anggaran. Mereka diminta memberi contoh hidup hemat dan
sederhana. Pesan Presiden tersebut seharusnya dipahami juga oleh anggota
DPRD Jawa Barat sebagai mitra kerja ekskutif di pemerintahan. Mengganti mobil
dinas yang ada dengan yang lebih berkelas jelas mencerminkan hidup mewah dan
glamor. Mobil Fortuner sebagai mobil dinas baru, apa tak berlebihan? Sebagai
pejabat hal seperti itu harus dihindari.
Bukankah mereka panutan bagi rakyanya?Wa
Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar