Tanggal 16 April besok adalah satu tahun saya bergabung dengan
Kompasiana. Sampai saat ini saya tercatat telah menulis 162 artikel. Dihargai oleh Admin
dengan 15 HL, 86 Pilihan. Di banding teman yang lain, saya mungkin belum
terketegorikan sebagai kompasianer aktif. Saya baru bisa menulis tiga sampai
empat artikel dalam satu minggu. Ya, lumayan di tengah kesibukan mengajar juga
berbagi waktu untuk keluarga.
Kompasiana menjadi tempat belajar.
Saya memperoleh banyak dan berbagai disiplin ilmu. Ada politik, pendidikan, agama, budaya
juga sastra. Walhasil lengkap. Kompasiana merupakan tempat diskusi menarik.
Walau untuk yang ini, saya sering melewatkannya. Faktor kesibukan, jaringan
internet yang terkadang lelet, membuat saya tak dapat nongkrong lebih lama
depan komputer untuk berdiskusi. Setelah menulis, saya memilih melepas tulisan.
Kadang baru hari berikutnya saya melihatnya, membalas komentar atau sekadar
mengucap salam kenal dengan yang
lain.
Setelah di Kompasiana, saya biasa
mengirim tulisan ke beberapa harian umum daerah. Kadang dimuat, tak jarang juga
dilepas begitu saja oleh redaktur. Bisa jadi tema tidak sesuai kebutuhan atau
tulisan tak layak terbit. Dari 162 artikel di Kompasiana 60 buah di muat di dua
harian yang berbeda. Lumayan ada honornya, dapat dbelikan pulsa, buku bacaan juga
kebutuhan lain.
Pengalaman satu tahun terakhir menulis
ada beberapa catatan kecil yang saya ingat, rasakan. Catatan ini anggap saja
sebagai pengalaman berharga buat saya juga teman kompasianer lain. Saya
merasakan bahwa tulisan atau karya ilmiah lainnya tak mendapat penghargaan seperti harusnya. Masyarakat belum bisa
menghargai karya tulis. Padahal menulis bukan hal mudah. Tidak semua orang
bisa. Tak sedikit orang pandai yang tidak mampu menulis. Menulis merupakan
sebuah ketrampilan yang tidak semua orang menguasainya.
Dalam
bahasa Imam Ghazali menulis merupakan salah satu ketegori orang berilmu. Lebih
lengkap Ghazali menyebutkan, Alim (orang berilmu) itu ada tiga macam. Yaitu
alim bil qhalbi, alim bil lisan, alim bil qolam.
Alim
bil qhalbi adalah mereka yang memiliki ilmu luas. Tapi ilmunya hanya di dalam
hati dan otaknya. Ia tak mampu mengaktualisasikannya kepada orang lain. Ilmunya
tak dikomunikasikan baik dengan bahasa lisan maupun tulisan.
Alim
bil lisan adalah para orator. Memilki
ilmu, mampu menyampaikan ilmunya dengan ceramah (lisan). Ia sangat mahir
mengkomunikasikan ilmu pada orang lain. Sehingga ilmu yang dimiliki bisa
dipahami dan bermanfaat untuk orang banyak. Ia tidak memendam, tapi menyebarkan
ilmunya.
Alim
bil qolam adalah para penulis. Penulis adalah mereka yang memilki wawasan luas
(berilmu) dan mengkomunikasikan ilmunya dengan tulisan baik lewat buku atau
lainnya. Penulis punya kelebihan yang
tak dimiliki oleh yang lain yakni ilmu yang disampaikan (karyanya) bertahan
dalam waktu yang cukup lama. Contoh, kita dapat memperoleh pancaran ilmu Imam
Ghazali, walau beliau tidak sejaman dengan kita.
Terkait
dengan rendahnya penghargaan pada karya tulis, saya ada sedikit pengalaman.
Saya mengirim tulisan , Perpustakaan DPR dan Budaya Literasi, ke
salah satu harian umum daerah, alhamdulillah dimuat. Tapi mengejutkan, tulisan yang sebelumnya dapat dibaca di
Kompasiana itu diatasnamakan orang lain. Aneh, memang. Padahal saya mengirim
lewat email secara lengkap, tak ada yang lewat, termasuk nama saya sebagai
penulis. Saya mengirim surat keberatan, meminta redaksi meralat. Sedihnya,
keberatan saya tak digubris. Sampai hari ini, tak ada ralat terkait kesalan
fatal tersebut. Ini satu contoh betapa masyarakat kita tak menghargai karya
orang lain. Padahal dewan redaksi itu tentu bukan orang awam. Mereka juga para
penulis senior. Nyatanya, mereka belum bisa menghargai sebuah karya tulis orang
lain. Bagaimana dengan orang awam?
Pernah
juga saya membaca tulisan di salah satu
harian umum. Tulisan itu persis seperti yang saya baca di Kompasiana
sebelumnya. Saya konfirmasi ke pemilik tulisan di Kompasiana, dia menegaskan
bahwa tulisannya dicopas 100 %. Saya sedih. Ternyata, penulis yang saya kagumi
karena tulisannya sering dimuat adalah seorang copy paste, plagiator. Bisa jadi
tulisan saya terkalahkan oleh para
plagiat sepert itu di meja redaksi.
Selain
itu, jadi penulis kudu siap miskin. Ungkapan itu saya dengar sudah lama.
Ungkapan tersebut ada benarnya bila diterjemahkan pada kecilnya honorium
tulisan. Saya merasakannya sekarang. Sebab itu, kenapa banyak orang pandai yang
malas menulis. Bisa jadi itu bukan karena soal kemampuan tapi soal rendahnya
penghargaan.
Namun
demikian, kehadiiran Kompasiana memberi semangat lebih. Idealisme banyak
kompasianer yang berbagi informasi, ilmu, pengalaman di media ini membakar jiwa
idealisme. Maka menulis menjadi kebutuhan dan tuntutan. Menulis dimaknnai
sebagai ibadah, berbagi dengan sesama. Menulis diartikan sebagai sedekah. Dan
menulis menjadi media mengamalkan ilmu.
Akhirnya,
Kompasiana hadir dalam kehidupan saya dengan membawa obor semangat berkarya.
Menulis menjadi pilihan hidup. Menulislah, terus menulis. Terimakasih buat
Komapasian. Terimakasih buat semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar