Anda mungkin terkejut membaca sebuah laporan penelitian
yang menempatkan Indonesia pada posisi 60
dari 61 negara. Indonesia hanya setingkat lebih tinggi darii Botswana, sebuah
negara miskin di Afrika. Penelitian
di bidang literasi yang dilakukan oleh Central Connecticut State University di New Britain, Conn,
Amerika Serikat, menempatkan lima negara pada posisi terbaik yaitu Finlandia,
Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia (The Jakarta Post, 12 Maret 2016).
Hasil
penelitian di atas menunjukkan betapa lemahnya budaya literasi dalam masyarakat
Indonesia. Bangsa kita masih mengandalakan apa yang dilhat dan didengar dalam berpikir, bersikap,
dan bertindak. Berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik (BPS), seperti ditulis selasar.com 29-5-2015,
pada tahun 2006 menunjukkan
85,9 persen masyarakat memilih menonton televisi daripada mendengarkan radio
(40,3 persen) dan membaca koran (23,5 persen). Kita belum terbiasa
melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman dari membaca. Kita belum dapat
mengaktualisasikan diri melalui tulisan. Membaca dan menulis
belum mengakar kuat dalam budaya bangsa kita. Masyarakat lebih sering menonton atau mendengar dibandingkan
membaca apalagi menulis.
Kondisi
di atas tidak hanya pada kalangan awam (masyarakat umum), lingkungan terpelajar
atau dunia pendidikan pun masih jauh dari apa yang disebut budaya literasi.
Peserta didik belum tertanam kecintaan membaca. Bahkan guru dan dosen, tak
sedikit dari mereka yang juga sama keadaanya. Itu bisa dibuktikan dengan minimnya jumlah buku yang dimiliki mereka.
Perpustakaan sekolah yang tak terawat dapat menjadi saksi bisu betapa civitas
akademika itu jauh dari budaya literasi.
Sebab
itu, di awal tahun pelajaran 2015-2016 yang lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Anies Baswedan telah mengeluarkan peraturan menteri (Permen), yang
mewajibkan para siswa membaca buku 10 menit sebelum jam belajar dimulai.
Taufiq Ismail pernah melakukan penelitian. Pada tahun 1996
menemukan perbandingan tentang budaya baca di kalangan pelajar, rata-rata
lulusan SMA di Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Rusia 12 buku,
Jepang 15 buku, Singapura 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunei 7 Buku, sedangkan
Indonesia 0 buku. Ini tentu memperhatinkan.
Apa budaya litersai itu? Budaya seperti disebutkan wikipedia.org diartikan sebagai sesuatu
yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan
yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari,
kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan literasi
dalam Kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan tulis-menulis. Dalam konteks
kekinian, literasi atau literer memiliki definisi dan makna yang sangat luas.
Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis dan peka
terhadap lingkungan sekitar. Maka secara sederhana, budaya literasi dapat didefinisikan
sebagai kemampuan menulis dan
membaca masyarakat dalam suatu Negara.
Latar
belakang
Kenapa kita belum terbiasa membaca menulis? Secara umum,
berikut yang melatarbelakangi. Latar belakang ini dipahami sebagai sebuah
kondisi yang ada dalam masyarakat. Pertama,
kesadaran yang sangat rendah tentang
pentingnya membaca. Mereka beranggapan membaca hanya menghabiskan waktu. Membaca
tak mendatangkan manfaat atau keuntungan. Lebih baik bekerja, jelas
menghasilkan uang. Padahal bekerja apa pun membutuhkan bacaan. Bacaan yang
terkait dengan pekerjaan tentunya. Keyakinan seperti itu juga ada di kalangan sebagian
pelajar. Mereka membaca hanya saat jelang ujian. Sebab itu bermanfaat untuk
mendapat nilai baik dari guru. Mereka tak mau membaca untuk kepentingan yang
lain.
Kedua, harga buku mahal, minim perpustakaan. Harga buku yang sangat
mahal membuat tak banyak orang mampu membeli buku. Lebih dari itu, membeli buku
tidak dianggap sebagai kebutuhan. Apalagi bila hal itu dibandingkan dengan
kebutuhan pokok. Jelas, buku akan dikesampingkan. Membeli buku hanya saat kuliah,
itu pun tidak semua mahasiswa melakukannya. Hanya sebagian kecil, mereka yang
mampu dan gemar membaca. Kalau untuk siswa (Pelajar SD, SLTP,SLTA), mereka
hanya mengandal buku paket.
Perpustakaan
juga sedikit. Setiap kabupaten/kota hanya satu perpustakaan daerah. Tidak semua
sekolah memiliki. Perpustakaan yang ada tidak terkelola secara baik. Stok buku
terbatas, membuat perpustakaan sepi pengunjung.
Ketiga,
penghargaan sangat minim terhadap karya tulis. Menulis tidak memperoleh apa-apa
selain membuang waktu dan energi. Persepsi khalayak seperti itu bukan tanpa
aslasan. Sebab dari munulis, secara materi apa yang diperoleh tak sebanding
dengan keringat yang keluar. Itu gambaran keadaan dunia tulis menulis di negeri
ini. Tidak ada penghargaan yang setimpal untuk para penulis. Bangsa kita belum bisa menghargai karya
ilmiah seperti menulis. Maka tak heran jika sedikit orang yang bercita-cita
menjadi penulis. Hanya mereka yang memiliki idealisme tinggi yang mau menulis.
Solusi
Untuk membangun budaya literasi,
menurut hemat saya, beberapa langkah bisa dilakukan oleh kita semua. Pertama, menumbuhkan minat baca sedini
mungkin. Minat membaca diimulai dari keluarga. Orang tua wajib mendorong
putra-putrinya untuk membaca banyak buku. Tak cukup itu, mereka seyogyanya
memberi contoh. Mereka kudu terlebih
dahulu membiasakan membaca. Mereka dapat menciptakan lingkungan yang mendukung
menumbuhkan minat baca seperti ruang baca dengan buku bacaan. Sebab itu,
membeli buku dijadikan kebutuhan primer yang harus dipenuhi dalam setiap
bulannya. Menyisihkan uang bulanan untuk tujuan di atas menjadi pilihan orang
tua bijak dalam membangun budaya
literasi.
Kemudian, sekolah memiliki peran
penting. Di sekolah, anak-anak kudu dibiasakan membaca. Guru memberi teladan.
Mereka menanmkan kepada peserta didik kecintaan terhadap buku. Perpustakaan
sekolah (diupayakan ada) sepantasnya dikelola dengan baik. Sehingga
perpustakaan sekolah menjadi menarik untuk dikunjungi.
Di sekolah, budaya tulis menulis
dimulai. Peserta didik diajari menulis. Dalam setiap pembelajaran, guru dapat
menyisipkan kegiatan menulis atau mengarang. Osis dilatih mengelola majalah
dingding. Lebih jauh, pelajar SLTP atau SLTA dapat dipacuh untuk menerbitkan
buletin, jurnal atau lain.
Kedua,
subsidi buku. Di beberapa negara maju, pemebelian buku memperoleh subsidi
dari pemerintah. Seabagai nagara berkembang yang mengejar ketertinggalan di
berbagai sektor, tak salah bila Pemerintah Indonesia mengusahakan hal tersebut.
Subsidi akan membantu masyarakat dalam memiliki serta membaca buku. Ini
terlihat mustahil. Tapi selagi ada usaha dari semua pihak, saya yakin tidak ada yang mustahil.
Ketiga
mengoptimalkan peran perpustakaan daerah. Keberadaan perpustakaan daerah selama
ini belum menunjukkan perannya dalam masyarakat. Keberadaanya antara ada dan
tiada. Ini terkait dengan pengelolaan dan pelayanan belum maksimal. Koleksi
buku perlu ditambah. Perpustakaan daerah diupayakan membuat terobosan dengan
kegiatan menarik seperti lomba menulis, lomba baca puisi, atau lainnya. Saya
juga melihat sosialisasi masih kurang.
Ke depan
perpustakaan daerah diminta menjadi lokomotif minat baca masyaraat. Ini sebuah tantangan berat sekaligus tanggung
jawab dalam upaya menamkan budaya
membaca dan menulis. Kemudian, rasanya tidak rasional bila satu daerah hanya
satu perpustakaan. Sebab itu, perlu dipertimbangkan oleh pemerintah untuk
membangun perpustakaan umum di setiap kecamatan atau desa. Ini semata-mata
untuk mendekatkan bacaan ke masyarakat. Hal itu bukankah lebih bermanfaat
daripada membangun perpustakaan mega DPR? Paling tidak bisa mendatangkan
manfaat lebih luas.
Keempat,
menghargai karya tulis. Bangsa ini musti belajar mennghargai karya orang
lain. Dan karya tulis sepatutnya memperoleh tempat khusus, melebihi karya lain.
Pemerintah dituntut memilki perhatian khusus pada para penulis. Pemerintah
harus mendorong kegiatan penulisan juga penelitian.
Akhir kata, budaya literasi bangsa
kita harus bangkit. Kita tak boleh terpuruk. Bangun budaya membaca dan menulis
dari keluarga. Kemudian sekolah seyogyanya mengambil peran penting menyiapakan
generasi gemar baca dan menulis. Tak tertinggal, pemerintah harus sudah mulai
berhitung, kapan bisa mensubsidi buku
untuk rakyat. Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar