Kegaduhan politik kembali terjadi.
Nampaknya panggung politk di negeri ini tak pernah sepi, selalu gaduh. Padahal,
dalam mengatasi kondisi ekonomi, seperti sering disampaikan Presiden dibutuhkan
stabilitas. Dan sangat ironis, kegaduhan kali ini tidak bersumber dari politisi
melainkan dari seorang gubernur BI. Ada apa dengan sang Gubernur? Alih-alih
fokus bekerja, menguatkan nilai rupiah kok malah membuat kegaduhan. Padahal,
secara langsung, tanggung jawab merosotnya nilai tukar rupiah berada di
pundaknya.
Adalah Agus Martowardoyo yang mengkritik rencana
Presiden untuk menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Agus sebelumnya meminta agar
langkah pemerintah untuk menurunkan harga BBM jangan hanya dijadikan sebagai
ajang mencari popularitas. Menurut Agus, pemerintah harus konsisten lantaran
sudah ada keputusan untuk me-review harga BBM setiap enam bulan atau tiga
bulan sekali. Rencana itu
jangan untuk popularitas, tetapi harus betul-betul untuk
akuntabilitas dan juga mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Jadi kalau mau di-review (harga BBM) setiap 6 bulan, kita harus
lakukan dengan disiplin setiap 6 bulan di-review dan kalau perlu turun, turun. Kalau
perlu naik, ya naik, tetapi yang penting konsistensi. Kritik tajam dengan menyalahkan Presiden ini
disampaikan ke publik secara terbuka di kantor BI, Jakarta, Jumat (2/10/2015). (http://bisniskeuangan.kompas.com/)
Sebelumnya, dalam rapat kabinet
terbatas, Presiden Jokowi meminta pada Pertamina untuk menghitung ulang harga
BBM. Bila dimungkinkan, Presiden meminta Pertamina untuk menurunkan harga BBM. Dalam
rapat tersebut, Presiden memerintahkan Pertamina agar segera menghitung besaran
penurunan harga bensin dan solar. Sebab, masih ada ruang bagi Pertamina untuk
menurunkan harga BBM. Hal itu, menurut Presiden untuk membantu meringankan
rakyat kecil mengahdapi kesulitan ekonomi seperti sekarang dan mengangkat daya
beli mereka. Penurunan harga BBM juga direncanakan dengan berbarengan dengan
peluncuran kebijakan program padat karya yang berpeluang menyedot
banyak tenaga kerja. Direktur Utama Pertamina Dwi Sucipto pun
berjanji siap melaksanakan titah Presiden. Yang aneh, kenapa Gubernur BI
menolaknya?
Kecaman bermunculan,
menyayangkan sikap yang diambil gubernur BI. Anggota Komisi XI DPR, Muhammad
Misbakhun, mempertanyakan sikap Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo yang
mengkritik rencana Presiden Joko Widodo menurunkan harga bahan bakar minyak
bersubsidi.
Misbakhun meminta Presiden Jokowi tak tinggal
diam dan segera memberikan sanksi untuk Agus. Harus ada sanksi politik kepada
dia karena menyerang kebijakan Presiden secara terbuka dan head
to head. Juga, Politisi PDI
Perjuangan, Charles Honoris, menilai hal itu sebagai pernyataan seorang yang
frustrasi yang sedang mencari perhatian. Bukannya lebih baik melakukan
tindakan-tindakan strategis agar rupiah kembali
menguat malah Agus ikut-ikutan berkomentar bak politisi di media. Ini tindakan
ngawur, tak berdasar.
Sebagai
orang awam, saya melihat apa yang dilakukan Gubernur BI merupakan sebuah
pelanggaran etika yang serius. Sebagai Gubernur BI, tak sepatutnya Agus Martowardoyo
menyerang Presiden secara terbuka. Ini melampaui kewenangannya sebagai Gubernur
BI. Permasalahan naik atau turunnya harga BBM itu kewenangan penuh Presiden,
bukan kewenangan, tidak terkait dengan BI. Kalau saja ingin mengkritisi bisa
dilakukannya secara tertutup. Ini sebuah kesengajaan yang bisa jadi bermodus
politik. Ada kekuatan politik yang mendorong Agus Martowardoyo untuk melakukan
hal tersebut. Namun siapa kekuatan di
balik Agus Martowardoyo? Sulit mencari
jawabannya atas pertanyaan itu. Ini permainan politik tingkat tinggi.
Sikap
yang ditunjukkan Gubernur BI menggambarkan kesombongan dan kecongkakan pejabat.
Mungkin karena gaji Gubernur BI yang lebih besar berlipat-lipat dibanding gaji
Presiden sehingga dapat membusungkan dada sang Gubernur. Seperti diketahui oleh
khalayak, gaji Gubernur BI mencapai 200 juta lebih perbulan, sedang Presiden
hanya puluhan juta rupiah. Ketimpangan penggajian seperti ini yang pernah
dipersoalkan Plt KPK Taufiqurrahman Ruki. Menurutnya, ada kejanggalan dan ketidakadilan dalam sistem
penggajian di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan gaji presiden di bawah
Gubernur Bank Indonesia (BI) dan Direktur Utama (Dirut) BUMN. Sistem penggajian
seperti ini jelas sangat janggal, tidak beres. Presiden adalah penanggungjawab
tertinggi di Republik ini? Tapi kenapa gajinya lebih kecil? (http://ekbis.sindonews.com/)
Kasus
Agus Matowardoyo juga menegaskan bahwa kita miskin keteladanan. Para petinggi negeri tak bisa memberi contoh baik kepada rakyat di
bawah. Mereka hanya mempertontonkan kekuasaan, keserakahan, kesombongan dan
ambisi. Sehingga dalam kondisi negara yang sangat sulit pun tak membuat mereka
sadar. Menghadapi berbagai persoalan berat termasuk kesulitan ekonomi seharusnya
para petinggi negeri bersatu padu, merapatkan barisan, berpegangan tangan,
menyatukan langkah dan gerak. Bukan sebaliknya? Saling menyalahkan, saling
menyerang, saling menghujat. Sungguh memalukan dan memilukan.
Dan
ternyata keterbukaan, kebebasan berpendapat, demokratisasi bangsa kita telah kelewat batas. Demokrasi
dan keterbukaan telah melampaui batas etika, norma, dan budaya bangsa. Sehingga
atas nama kebebasan dan demokrasi, orang bisa melakukan apa saja. Nampaknya ke
depan hal seperti ini harus diformat ulang. Revolusi mental yang sedang
dilakukan bangsa kita harus bisa menggarap hal-hal semisal ini.
Walhasil,
rakyat sebenarnya sudah bosan, merasa muak dengan kegaduhan-kagaduhan politk
seperti ini. Semoga ini yang terakhir. Karenanya ke depan kita berharap, semua fokus bekerja sesuai fungsi dan
kewenangannya. Kata kerja dan bekerja adalah satu-satunya pilihan yang tepat
untuk menghadapi kesulitan bangsa seperti sekarang. Saling menyalahkan di
tengah krisis bukanlah pilihan yang tepat. Mari berpikir, mengedepankan
kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Maka harapan
bangkit dari krisis akan menjadi kenyataan. Bukankah setelah kesulitan pasti
ada kemudahan? Wa Allahu ‘Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar