Menteri Pendidikan Dasar, Menengah dan
Kebudayaan (Mendikbud) RI Dr Anis Baswedan PhD, Senin kemaren (26/10/2015)
menegaskan bahwa tidak ada bedanya antara sekolah swasta dan negeri. Pemerintah
tidak akan membedakan keduanya. Keberadaan sekolah negeri dan swasta sama dalam rangka
mencerdaskan bangsa. Jadi pemerintah juga tidak akan memandang sebelah mata
terhadap sekolah swasta. Saat ini
masyarakat sudah tidak melihat lagi sekolah swasta atau negeri. Mereka akan
melihat dan memandang bagaimana kualitas sekolah yang bersangkutan. Hal ini
dinyatakan oleh Anis Baswedan saat kunjungan di Komplek Kampus Hijau Indramayu
dalam acara peletakan batu pertama SMK NU Kelautan.
Pernyataan Pak Anis menarik untuk
dikaji, dibuktikan lebih lanjut. Apa benar sekolah negeri dan swasta dipandang
sama oleh pemerintah? Apa benar kualitas sekolah negeri-swasta itu sama? Dan
bagaimana masyarakat memandang kedua macam sekolah tersebut?
Secara umum masyarakat memandang, sekolah
negeri dan swasta dibedakan pada hal-hal berikut: pertama, kepemilikan. Sekolah negeri adalah sekolah miilik umum dan dibiayai oleh negara dari pemerintah pusat atau pemerintah
daerah. Berdasarkan UUD 1945 Pasal 31 ayat 4, negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja negara
serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional. Sedangkan sekolah swasta adalah
sekolah yang dimiliki oleh perorangan atau sekelompok masyarakat dalam bentuk
yayasan atau organisasi kemasyarakatan.
Kedua, pungutan SPP (sumbangan Penunjang
Pendidikan). Sekolah Negeri tidak dipungut SPP untuk SD, SMP/sederajat karena telah disokong oleh
program BOS sedangkan untuk SMU/sederajat biaya SPP relatif terjangkau sehingga
masih dapat dirasakan oleh masyarakat yang kurang mampu. Sedangkan bagi sekolah swasta, BOS belum bisa mencukupi
sehingga sebagian sekolah memungut SPP baik di SD, SLTP apalagii
SLTA. Besaran SPP sekolah bervariasi sesuai dengan kemampuan yayasan dan masyarakat
(wali murid) yang ditetapkan secara bersama.
Ketiga, pengajar, tenaga kependidikan. Sekolah negeri, tenaga pengajar mayoritas berstatus pegawai negeri dan jika
kekurangan tenaga pengajar sekolah diperbantukan guru honorer. Dari status guru
honorer juga dapat diajukan menjadi pegawai negeri. Sedangkan sekolah swasta, tenaga pengajar adalah pegawai
swasta.
Keempat, Fasilitas. Jika menyinggung fasilitas, sekolah negeri dan swasta juga berbeda. Bila melihatnya pada sekolah
swasta yang bonafid sekolah swasta bisa mengungguli sekolah negeri yang
menyandarkan bantuan negara. Tapi secara umum fasilitas sekolah negeri relatif
lebih baik, karena tidak semua sekolah swasta memiliki finansial lebih.
Dari perbedaan-perbedaan di atas,
menyekolahkan anak di keduanya (negeri-swasta) memiliki kelebihan dan
kelemahan. Secara umum, menyekolahkan anak di sekolah negeri biayanya relatif
lebih murah (Baca:standar) dibandingkan di sekolah swasta. Karena pembiayaan
sekolah swasta lebih mengandalkan dari pungutan atau partisipasi siswa atau wali murid sedang sekolah negeri bergantung
ke pemerintah.
Kemudian bagaimana dengan kualitas kedua sekolah tersebut? Bila melihat
dari aspek prasarana atau fasilitas, sekolah swasta relatif lebih baik. Karena
sekolah yang sudah memperoleh kepercayaan masyarakat lebih mudah memungut
biaya, seperti biaya bangunan atau lainnya. Sebaliknya, sekolah negeri relatif
sulit melakukannya. Namun, demikian tidak sedikit sekolah negeri yang
berfasilitas tak kalah karena kelihaian kepala sekolah dalam mengusulkan
bantuan ke pemerintah. Sebaliknya, tidak sedikit sekolah swasta yang
berfasilitas minim karena kurang dipercayai mesyarakat.
Kalau dilihat dari aspek pengajar,
harusnya sekolah negeri lebih baik sebab mereka (para guru) mayoritas pegawai
negeri yang gajinya lebih dari cukup. Sehingga mereka lebih fokus mengajar,
dibanding guru honorer. Sebaliknya, di
sekolah swasta. Guru PNS idealnya lebih baik, lebih berkualitas, lebih profesional.
Namun demikian, pada prakteknya hal
tersebut tidak menjamin, bergantung pada
masing-masing guru. Bisa jadi guru honorer lebih berkualitas baik.
Selanjutnya, bagaimana dengan perhatian pemerintah terhadap kedua sekolan
tersebut? Secara teori, apa yang dikatakan Anis Baswedan memang sebuah
keharusan. Akan tetapi, di lapangan tentu seperti api jauh dari panggang. Baik
sekolah negeri maupun sekolah swasta harus bersaing secara ketat memperebutkan
bantuan dana pemerintah. Bahkan persaingan seringkali tidak sehat, tidak
sportif. Bagi sekolah yang lincah, pandai membaca kesempatan, memiliki modal
awal, memiliki koneksitas atau akses ke atas, baik ke pemerintah pusat maupun
ke pemerintah daerah akan lebih mudah mendapatkan fasilitas dari negara.
Sebaliknya, banyak sekolah yang membutuhkan perhatian, tapi karena terpencil,
jauh dari keramaian, tak tersentuh anggaran pemerintah. Inilah permasalahan
sebenarnya.
Selanjutnya ketimpangan dan kesenjangan antara sekolah pun tak dapat
terhindarkan. Yang kuat semakin megah, maju, dengan jumlah siswa besar.
Sementara sebaliknya, bagi sekolah yang terpinggirkan. Senandung “yang kaya
makin kaya, yang miskin makin miskin” ala Roma Irama berlaku dalam pendidikan
di negeri kita. Kaitan dengan ini, sudah
tak dibedakan lagi antara sekolah negeri dan sekolah swasta.
Oleh karena itu, menurut hemat saya penegasan Menteri Anis Baswedan
beberrapa hari lalu di Indramayu itu, harus dijadikan pertama, dasar pijakan setiap pengambilan keputusan baik oleh
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Bahwa pemberian bantuan, fasilitas itu semata-mata berdasarkan kebutuhan bukan
karena faktor kedekatan, lobi-melobi,
apalagi faktor politik.
Kedua, ajakan membuat prioritas. Artinya pemerintah harus membuat skala prioritas
dalam pemberian bantuan fasilitas atau lainnya. Skala prioritas dibuat
berdasarkan kondisi ril di lapangan setelah terlebih dahulu dilakukan penelitian
dan kajian. Sehinga ketimpangan dan kesenjangan dapat diminimalisir.
Walhasil, pernyataan Anis Baswedan bahwa tidak ada bedanya sekolah negeri
dengan sekolah swasta jelas masih perlu dibuktikan. Jangan dijadikan sekadar
retorika belaka. Kemudian pernyataan itu harus menjadi peringatan untuk semua
elemen dalam pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Sehingga ke depan
senandung Roma Irama, bisa berubah menjadi, “yang miskin jadi kaya, yang kaya
tetap kaya”. Artinya sekolah pinggiran, kumuh, terpencil berubah menjadi
sekolah unggulan. Dan sekolah favorit, maju tetap diunggulkan. Ini menjadi
tantangan kita semua. Bagaimana bisa? Wa
Allhu ‘Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar