Diskursus tentang perlu tidaknya
meneruskan program Tunjangan Profesi Guru (TPG) masih hangat dibicarakan di
kalangan para pendidik dan di lingkaran pengambil kebijakan. Lebih lagi, hal
itu dikaitkan dengan kinerja guru yang dinilai banyak kalangan (termasuk Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan, Sumarna
Surapranata) tidak berubah setelah menerima tunjangan sertifikasi.
Sertifikasi dinilai hanya membuat guru menjadi konsumtif, gemar memberi barang
termasuk barang-barang mewah semisal mobil. Guru tak mampu menjadi teladan
hidup sederhana. Lebih jauh lagi, ada catatan yang menyebutkan bahwa setelah
sertifikasi guru digulirkan, angka perceraian di kalangan guru (baca:PNS
terutama) di berbagai daerah meningkat.Tunjangan sertifikasi juga dimanfaatkan
oleh sebagian guru untuk menunaikan ibadah haji, membangun rumah. Sertifikasi
guru hanya merubah kesejahteraan dan gaya hidup mereka.
Satu contoh, Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah (BKDD)
Ciamis mencatat ada 99 PNS yang bercerai pada 2013 lalu. Mereka terdiri dari 63
PNS perempuan dan 36 PNS laki-laki.Dari 63 PNS perempuan yang menggugat cerai
suaminya tersebut,75 persen diantaranya adalah guru SD yang sudah menikmati
penghasilan tinggi dari tunjangan sertifikasi. Sementara hingga Februari 2014
sudah ada 20 PNS yang bercerai. (http://www.hidayatullah.com)
Wakil Bupati Lumajang, As'at Malik pernah bercerita, tunjangan sertifikasi yang
didapat oleh guru di daerahnya digunakan untuk keperluan yang konsumtif,
seperti membeli mobil. Ada pula yang menggunakan untuk biaya naik haji. Ada
istilah di kalangan guru, yakni haji jarkasih (haji dengan biaya jaminan
sertifikasi), As’at
mengatakan di sejumlah sekolah, terutama SMP dan SMA banyak mobil milik para
guru yang diparkir di halaman sekolah. Meski bukan mobil baru dan dibeli dengan
di bawah Rp 100 juta, hal itu menjadi hak para guru. Namun As’at mengingatkan
tujuan pemerintah memberikan tunjangan sertifikasi senilai Rp 40 juta per
orang, tujuannya agar digunakan untuk peningkatan kinerja masing-masing guru. Misalnya
guru bisa beli sendiri laptop untuk menunjang pelaksanaan tugasnya.
Tidak Boleh Sejahtera
Apa benar guru tak boleh sejahtera?
Apa benar guru tidak boleh menikmati hasil jerih payahnya sebagai pendidik
profesional? Apa Tunjangan sertifikasi hanya untuk peningkatan kinerja saja? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu menggelitik saya untuk menelusuri
lebih jauh. Menurut UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan dosen, tidak diatur
secara jelas untuk apa saja tunjangan sertifikasi guru itu bisa digunakan.
Hanya dalam Pasal 4 disebutkan bahwa Kedudukan guru
sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran
berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Dari ayat ini bisa
ditarik kesimpulan bahwa fungsi sertifikasi guru adalah 1) untuk meningkatkan
martabat guru, 2) meningkatkan peran guru 3) meningkatkan mutu pendidikan. Kemudian
apa yang dimaksud martabat guru itu? Apa
kesejateraannya? Apa kedudukannya di tengah masysarakat? Dalam UU tersebut
tidak ada penjelasan lebih jauh tentang maratabat guru dimaksud.
Dalam
kamus besar Bahasa Indonesia (2008), martabat diartikan sebagai tingkatan,
derajat, pangkat, harga diri. Dalam
realitas sosial, martabat seseorang itu akan terangkat bila kesejahteraan
meningkat (menjadi kaya), memperoleh kedudukan atau jabatan, menjadi orang kuat
secara politik, berpengaruh di tengah
masyarakat atau lainnya. Bila demikian, menjadi sah-sah saja bila guru profesional
yang berpengasilan besar harkat, martabatnya menjadi terangkat dan meningkat.
Guru menjadi terhormat, disegani. Mereka hidup sejahtera. Mereka berkendaraan
roda empat. Mereka menjadi haji dari sertifikasi. Begitu seterusnya. Apa ada
yang salah? Tentu tidak ada yang salah. Hanya Pasal 4 di atas menyebut fungsi
tunjangan sertifikasi lainnya yakni menuntut peran guru lebih besar dan
membaiknya mutu pendidikan. Dua hal tersebut yang mendapat sorotan dari
khalayak ramai. Harusnya guru tidak hanya meningkat martabatnya, tapi perannya
dalam melakukan tugas mengajar pun lebih kompeten sehingga mutu pendidikan di
Indonesia berubah lebih baik dan
berkualitas.
Oleh
karenanya, menurut hemat saya, ada hal-hal yang harus selalu diperhatikan dan
diingat oleh para guru bersertifikasi agar mereka tidak tersorot tajam, tidak
terkoreksi negatif, tidak mendapat cibiran dari masyarakat luas atau
Pemerintah, pertama, meningkatkan
kompetensi sebagai guru profesional.
Menurut UU No.14 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005,
kompetensi guru itu meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik,
kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Keempat kompetensi itu harus
selalu terjaga, meningkat dengan seiringnya waktu. Jangan sebaliknya,
sertifikasi bergulir kompetensi menurun dan amburadul. Ini yang memalukan para
guru.
Kedua, jadilah guru yang dalam istilah
Amirullah Syarbini (2015) disebutnya sebagai guru hebat. Yaitu guru, disamping
memiliki empat kompetensi di atas juga menguasai keahlian publik speaking dan
pandai menulis. Publik speaking adalah kemampuan berbicara di depan orang
banyak sehingga peserta didik senantiasa merindukan bimbingan, pembelajaran
darinya. Publik speaking adalah kemampuan yang biasa dimilki oleh orang-orang
besar seperti Soekarno, M. Nasir, Buya Hamka, Ary Ginanjar, AA Gim, Mario Teguh
dan lainnya. Sedang menulis bisa dalam bentuk buku, artikel di media massa atau
lainnya. Tentu semuanya butuh proses, harus belajar. Maka mulailah dari
sekarang.
Ketiga, meningkatkan kreatifitas dalam
kegiatan belajar mengajar khususnya atau pendidikan secara umum. Kreatifitas
bisa dalam bentuk menciptakan model-model pembelajaran sendiri, membuat media
pembelajaran dengan memanfaatkan sarana yang ada di sekolah, juga mengantarkan
siswa berprestasi sesuai bakat yang dimilikinya. Guru profesional
bersertifikasi harusnya dapat membuat trobosan-trobosan saat dibutuhkan
sehingga proses belajar mengajar tidak membeku dan stagnan.
Walhasil,
keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan pendidikan nasional sangat
bergantung pada kehebatan penyelenggaranya, terutama guru. Oleh karena itu
menjadi guru profesional yang hebat nan kreatif bukan lagi sekadar tuntutan
tapi menjadi kewajiban setiap guru bersertifikasi. Dan pada akhirnya Tunjangan
Profesi Guru (TPG) akan menjadi solusi tepat bagi Pemerintah untuk mengantarkan
tujuan pendidikan nasional. Hal ini ditegaskan dengan jelas dalam UU No. 14
Tahun 2005 tentang guru dan dosen Pasal 6 yang menjelaskan bahwa Kedudukan guru
dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem
pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab. Wa Allahu ‘Alam
(Dimuat di Harian Radar Cirebon, Jumat 16 Oktober 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar