Kemaren, Minggu 25 Oktober 2015
Kabupaten Cirebon telah menggelar pesta rakyat yang menggambarkan
demokrasi di pedesaan. Ada 124 desa di 37 Kecamatan yang telah menyelenggararakan pemilihan kuwu.
Sejumlah 355 calon kuwu bertarung untuk memperebutkan
kursi kepemimpinan di desa-desa. Pesta demokrasi yang telah dianggarkan
(sebagianya) oleh Pemkab berdasarkan Undang-undang No.6 Tahun 2014 itu berjalan
lancar. Dalam pemilihan Kuwu yang dilaksanakan serentak kemaren, Pemerintah
Cirebon sedikitnya telah mengaggarkan biaya Rp. 10 miliaran, 7 miliar untuk
penyelenggaraan dan 3 miliar untuk pengamanan.
Euforia pemilihan kuwu sangat menarik,
tidak kalah dengan pemilihan kepala daerah. Itu sangat terasa. Sejumlah alat
peraga kampanye mewarnai ruas jalan desa
dan kabupaten selama masa kampanye. Ratusan calon kuwu pun melakukakan kampanye
dengan berbagai cara seperti gelar pertemuan warga, melakukan kerja bakti, dan
sosialiasasi diri atau program melalui pemasangan pamlet, spanduk dan lainnya.
Untuk memenangkan pesta demokrasi tingkat desa itu, para calon kuwu harus siap
menggolontorkan dana lebih besar lagi.
Kuwu adalah sebutan untuk seorang
Kepala desa di Kabupaten Cirebon. Penyebutan itu tentu tidak terlepas dari
sejarah panjang kepemimpinan desa dan pemilikan kuwu di wilayah Cirebon. Dalam kajian sejarah
Cirebon, Kuwu merupakan sebutan atau gelar yang diberikan masyarakat
Caruban Kepada Ki Danusela atau Ki
Gedeng Alang-Alang karena dianggap berhasil memimpin pedukuhan bernama
Caruban. Masyarakat Caruban (Cirebon
tempo dulu) sendiri terdiri dari etnis
Jawa, Sunda, Arab, India, Cina dan lainnya. Masyarakat dari etnis beragam ini
mempercaykan Ki Danusela untuk memimpin
mereka. Ki Danusela menjadi kuwu pertama di Cirebon.
Sedangkan pemilihan Kuwu, menurut
Fiolog Raden Achmad Opan Safari Hasyim, dipilihnya
Ki Danusela tidaklah asal-asalan, melaikan dengan menggunakan mekanisme
pemilihan yang cukup demokratis. Saat
itu pemilihan kuwu disebut uwi-uwian. Teknis pemilihan kuwu saat itu, setiap
orang yang menyatakan dukungan kepada
calon, harus berdiri di belakangnya. Setelah semua warga Caruban menyatakan
pilihan dan dukungannya baru dihitung berapa yang memilih berdiri di belakang
calon. Waktu itu, mayoritas warga Caruban memilih berdiri di belakang Ki
Danusela. Makanya, sejak jaman dulu pemilihan kuwu itu dilaksanakan secara
langsung, jauh sebelum Pilkada langsung. Pemilihan kuwu merupakan pesta
demokrasi rakyat yang pertama di Indonesia. (http://www.radarcirebon.com/)
Potret
Politik
Dalam pemilihan Kuwu, kita dapat
memotret politik pedesaan. Potret politik pedesaan, menurut hemat saya,
bercorakan hal-hal sebagai berikut: pertama,
politik kekerabatan. Kerabat atau keluarga dalam pemilihan Kuwu sangat
menentukan hasil pemilihan. Pasalnya, masyarakat pedesaan memilih calon kuwu
berdasarkan kedekatan kekerabatan. Mereka memilih calon yang memilki hubungan
kerabat atau keluarga. Untuk tujuan tersebut, tak sedikit calon atau keluarga
calon seketika menjalin hubungan kekeluargaan dengan mengawinkan bagian
keluarga mereka dengan keluarga lain. Perkawinan politik ini bertujuan menarik
suara dari keluaga calon besan. Pilihan berdasarkan kekerabatan sangat terasa dalam pemilihan kuwu. Hal ini
yang membuat antara keluarga besar calon saling bermusuhan. Dan permusuhan di
antara mereka terkadang sampai bertahun-tahun. Tak jarang, dendam kusumat
mereka sampai pada pemilihan Kuwu periode berikutnya. Corak poltik seperti ini
yang saya yakin tidak ditemukan dalam pilkada maupun lainnya.
Kedua,
politik apa kata tokoh. Tokoh masyarakat di pedesaan memiliki pengaruh
sangat besar. Seorang tokoh dapat mengarahkan calon pemilih untuk menentukan
pilihan dalam Pilwu. Tokoh masyarakat yang berpengaruh akan menjadi rebutan
para calon Kuwu. Mereka mendekati dengan berbagai cara untuk meminta kesedian
sang tokoh menjadi team pemenangan. Dan terbukti, selama ini tokoh berpengaruh
sangat signifikan menarik suara. Pengaruh tersebut lebih terasa pada desa-desa
tertinggal, yang jauh dari sentuhan kemajuan tekhnologi atau pesatnya arus
informasi.
Ketiga,
politik balas jasa. Corak politik seperti ini mungkin tak hanya di pedesaan
di tingkat nasional pun berlaku. Mereka yang berjasa membantu, mendukung,
mensukseskan calon kuwu menjadi kuwu biasanya akan diangkat menjadi perngkat
desa. Maka, tak dapat terhindari pergantian kuwu akan merombak
seluruh perangkat desa yang lama.
Keempat,
Politik para pejudi. Yaitu memilih calon karena faktor taruhan atau judi.
Pejudi juga memilki andil yang tak bisa diremehkan dalam pemilihan Kuwu. Pejudi
ibarat tangan ketiga, memiliki kekuatan yang seringkali ditakuti oleh para
calon Kuwu. Mereka mampu merubah peta kekuatan. Tak jarang calon yang awalnya
diremehkan, justru unggul dan menang. Pejudi mampu mengacak-acak perpolitikan
di desa, apalagi bila pelaku judi datang dari luar. Mereka tak memiliki
pertimbangan lain kecuali menarik keuntungan sebesar-besarnya. Ini yang di
beberapa tempat menimbulkan kerusuhan. Dan Pilwu serentak, salah satu tujuanya
untuk mengurangi peran para pejudi. Para pejudi dipaksa terpecah konsentrasinya
karena pemiihan dilakukan secara serentak.
Kelima,
politik uang. Yakni membeli suara dengan segepok rupiah. Memilih berdasarkan siapa yang memberi uang.
Karena rendahnya kepercayaan masyarakat pada politisi memaksa mereka untuk
berpikir pragmatis, siapa memberi dipilih. Dalam hal ini, sebagian masyarakat
melakukanya secara berlebihan dengan menerima uang dari semua calon dan memilih
calon yang memberi uang paling besar. Politik uang biasanya akan terbaca dengan jelas saat akhir, menjelang pemilihan
dilakukan. Politik uang di penghujung hari tenang biasa disebut dengan serangan
fajar. Disebut serangan fajar karena uang dibagikan menjelang fajar (pagi buta)
menjelang pemungutan suara.
Singkatnya, corak politik di atas menggambarkan ciri khas potret
politik dan demokrasi di pedesaan. Potret politik yang banyak memiliki
perbedaan dengan politik daerah atau politik nasional. Politik pedesaan memilki
warna tersendiri. Poltik pedesaan menjadi kekayaan khazanah demokratisasi di
tanah air. Apalagi, seperti disebutkan sebelumnya, politik pedesaan dalam Pilwu
telah berumur cukup panjang.
Terakhir, semoga pemilihan Kuwu di
wilayah Cirebon kemaren mampu memilih para
pemimpin desa yang dapat memajuhkan dan mensejahterahkan masyarakat pedesaan bersama unsur pemerinthan
desa lainnya seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Lembaga Pemberdayaan
Desa (LPM). Amin. Wa Allahu ‘Alam (Dapat Dibaca di Harian Radar, Senin 26 Oktober 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar