Sebanyak 45 anggota DPR RI mengusulkan
Rancangan UU revisi KPK
yang diberi judul Urgensi Usul Inisiatif DPR RI RUU Perubahan atas Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Revisi UU KPK sebenarnya masuk dalam Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016 dan menjadi inisiatif pemerintah, tetapi
kini diusulkan masuk menjadi RUU Prioritas Prolegnas 2015 dan menjadi inisiatif
DPR. RUU revisi tentang KPK itu diusulkan oleh sebagian
anggota dewan dari Fraksi PDI-P, Nasdem, PKB, dan Golkar. Sebelumnya
Presiden Jokowi telah menginstruksikan Menkumham untuk meminta usulan revisi UU
KPK itu ditarik. Namun, sampai saat ini, pemerintah belum juga mencabut usulan
percepatan pembahasan RUU KPK tersebut. Sehingga sekarang diusulkan oleh DPR
dan diakui sebagai inisiatif DPR.
Rancangan
UU revisi KPK ini disebut-sebut oleh berbagai kalangan sebagai pelemahan,
pengerdilan kewenangan KPK. Bahkan khalayak ramai menyebutnya sebagai pencabutan
nyawa KPK. RUU rvisi KPK ibarat pisau yang memutus urat nadi KPK. Apa benar
demikian? Hal-hal berikut dapat menjelaskan lebih jauh, pertama, Pasal 14 ayat 1 huruf a draf RUU KPK
menjelaskan bahwa KPK tidak dapat melakukan penyadapan kecuali setelah mendapat izin dari ketua
Pengadilan Negeri. Padahal menurut pasal 12 ayat 1 huruf a UU nomor 30
tahun 2002 tentang KPK yang berlaku saat ini, KPK tak perlu izin hakim untuk
bisa melakukan penyadapan. KPK bebas
melakukan penyadapan sejak tahap penyelidikan. Dengan pasal karet seperti ini
hak KPK diamputasi pada tahap penyelidikan dan hanya membolehkan melakukan penyadapan
pada tahap penyidikan itu pun harus mendapat izin terlebh dahulu dari
Pengadilan Negeri. Padahal KPK berhasil mengungkap berbagai kasus korupsi melalui
tangkap tangan sejak tahap penyelidikan dengan menggunakan kewenangan penyadapan.
Kedua, Pasal 41 ayat 3
draft RUU KPK disebutkan bahwa penyelidik dan penyidik KPK harus
berasal dari kepolisian dan kejaksaan. Mereka direkomendasikan oleh instansi
masing-masing (Polri-Kejaksaan) untuk bekerja di KPK. Dan selama di KPK mereka
diberhentikan sementara dari instansi asal mereka. Padahal selama ini KPK
memilih sendiri Penyelidik dan Penyidiknya baik
yang bersal dari Kepolisian, Kejaksaan, atau dari luar kedua institusi
tersebut. KPK juga rutin merekrut pegawainya lewat program Indonesia memanggil.
Pasal ini memberi ruang pada institusi
lain untuk mengintervensi KPK.
Ketiga,
Pasal 42 draft RUU KPK, disebutkan Komisi KPK diberi kewenangan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3) setelah diketahui tindak pidana korupsi yang sedang
ditanganinya tersebut tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke tahap
penuntutan sebagaimana diatur pada pasal 109 ayat (2) KUHP. Padahal dalam
sejarah, KPK selama ini tidak pernah, tidak boleh mengeluarkan SP3. Karenanya KPK selalu menyelesaikan, menuntaskan semua perkara kasus
korupsi yang ditanganinya.
Keempat,
Pasal 51 draft revisi UU KPK mengatur bahwaa saat penyidikan selesai, para
penyidik akan menyampaikan laporan ke pimpinan KPK. Kemudian Pasal 53 ayat 1
disebutkan Penuntut adalah Jaksa yang berada di bawah lembaga Kejaksaan Agung
Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk melakukan penuntutan
dan melaksanakan penetapan hakim. Nah, sampai pada titik kewenangan penuntutan KPK
dicabut. KPK tak dapat melakukan
penuntutan dalam pekara korupsi. Selama ini, KPK memiliki kewenangan untuk
melakukan penyelidikan, penyidikan, sekaligus penuntutan sesuai UU 30
tahun 2002 tentang KPK.
Kelima,
lebih menyedihkan, dalam RUU revisi KPK yang sedang dibahas di DPR usia (keberadaan)
KPK dibatasi 12 tahun sejak tanggal UU ditetapkan. Menurut asumsi anggota dewan
waktu 12 tahun sudah lebih dari cukup untuk memberantas korupsi. Dari sini
terlihat mereka bak malaikat pencabut nyawa, memutus urat nadi KPK. Pembatasan
12 tahun bagi KPK ini tertuang dalam Pasal 5 Rancangan Undang-Undang (RUU)
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang dibagikan
kepada anggota Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat dalam Rapat
Pleno Baleg, Selasa (6/10/2015), di Jakarta. Kemudian KPK
juga hanya dapat mengusut kasus korupsi dengan kerugian negara di atas Rp 50
miliar. (http://nasional.kompas.com/)
Tolak, selamatkan KPK
Penolakan terhadap rencana revisi UU
KPK bermunculan dari berbagai elemen yang
ada di negeri ini. KPK sendiri telah menolak
usulan revisi tersebut. Plt Ketua KPK Taufiequrachman Ruki menyatakan enam poin penolakan
terhadap draf revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dia
menilai, beberapa pasal yang direvisi maupun pasal baru yang tercantum dalam
draf tak mendukung fungsi KPK. Diantaranya, terkait pembatasan 12 tahun untuk
KPK jelas bertentangan dangan Pasal 2
angka 2 TAP MPR No 8/2001 MPR RI mengamanatkan pembentukkan KPK dan tidak
disebutkan adanya pembatasan waktu. (http://news.metrotvnews.com/)
Sebenarnya, Presiden sendiri
sebelumnya menolak revisi UU KPK itu. Pada bulan Juni yang lalu Presiden telah memerintahkan Menhukam untuk mencabut usulan
RUU tersebut. Namum, nampaknya perintah Presiden ini belum dilakukan. Karena
surat penolakan Pemerintah tak kunjung
diterima DPR. Dan sekarang saat, revisi
UU KPK menjadi pembahasan di gedung DPR, pihak istana mengaku Presiden tidak
atau belum mengetahui. Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki di
Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (7/10/2015), menegaskan bahwa Istana belum
mendapatkan informasi pasti soal pembahasan revisi UU KPK di DPR itu. Maka dari
itu, Presiden memerintahkan Menteri Sekretaris Negara Pratikno serta Menteri
Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk memberikan penjelasan soal kelanjutan revisi itu.
Lebih lanjut, Teten mengungkapkan bahwa sikap Presiden Jokowi sudah cukup jelas
terkait dengan revisi UU KPK. Presiden menilai UU KPK belum perlu untuk diubah.
(http://nasional.kompas.com/)
Bila
sikap presiden itu bukan basa-basi belaka, maka ada secercah harapan bagi
kelangsungan hidup KPK. Karena seperti diketahui pembahasan RUU menjadi UU harus dilakukan oleh DPR dan
Pemerintah. Jika Pemerintah menolak, otomatis tidak bisa dibahas apalagi
disahkan. Kita tunggu saja komitmen Presiden Jokowi. Bila yang terjadi
sebaliknya, maka saatnya rakyat bangkit, mempertanyakan komitmen dan ucapan
penolakan tersebut.
Akhir
kata, bagaimanapun KPK harus hidup, harus kuat, dan harus kita selamatkan dari
setiap upaya pelemahan, pengerdilan, dan pemusnahan. KPK telah memberi harapan
pada pemberantasan korupsi. Walau harus diakui masih belum maksimal, terbukti
korupsi masih merajalela. Ada KPK saja korupsi bisa merajalela apalagi tidak
ada. Karenanya pilihannya hanya satu, KPK harus diselamatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar