Kekerasan
terhadap anak kembali terjadi. Putri Nur
Fauziah, gadis cilik berusia 9 tahun ditemukan tak
bernyawa di Jalan Jalan Sahabat , Kalideres, Jakarta Barat. Dan
Polda Metro Jaya, Sabtu (10/10/2015) dengan sigap telah menetapkan Agus Dermawan
alias Pea (37) sebagai tersangka. Terungkapnya kasus pembunuhan sadis yang
diawali pelecehan seksual ini memunculkan
kemarahan dan kekesalan masyarakat. Mereka berharap tersangka dijatuhi hukuman
berat, bahkan bila perlu dihukum mati. Hal itu wajari, karena tersangka, selain membunuh dan melakukan kekerasan
seksual terhadap korban, juga telah melakukan hal serupa kepada sedikitnya 13
bocah di lingkungan Kampung Rawa Lele. Bahkan, salah satu korbannya hamil,
kemudian digugurkan.
Kriminolog
dari Universitas Indonesia, Josias Simon, menyatakan, dalam penetapan hukuman,
para penegak hukum perlu mempertimbangkan status residivis yang disandang Agus. Sebab, Agus sudah bisa dianggap
sebagai pelaku kejahatan yang susah dibina. Sang pelaku tidak bisa dikoreksi
lagi, sudah pernah dipenjara, walaupun tindak pidananya berbeda. Perlu
penanganan yang berbeda untuk menghukumnya, agar menimbulkan efek jera bagi
yang bersangkutan.
Perasaan kesal dan geram terhadap kasus pembunhan PNF tidak hanya dirasakan oleh Josias
Simon, Menteri Khofifah Indar Parawansa juga merasakan hal yang sama. Lebih jauh,
Khofifah mengusulkan memberi hukuman
yang berat pada pelaku, bila perlu dengan mengebirinya. Walau Khofifah sendiri
menyadari usulan tersebut akan mendapat reaksi keras dari aktivis HAM. Hukuman
mengebiri sebenarnya telah diberlakukan di negara-negara maju seperti sebagian negara bagian di Amerika Serikat yakni California,
Florida,Georgia, Oregon, Texas, Iowa, dan Montana. Pemgebirian juga diberlakukan di Moldova, Polandia, Israel,
Estonia, Argentina, Australia, Rusia, Korea Selatan, Denmark, Jerman juga
Filipina. Khofifah berargumen, perlunya hukuman kebiri bagi predator anak karena korban
predator bisa berantai. Korban predator bisa menjadi predator baru.
Pengebirian
dapat dilakukan melalui proses kimiawi yang biasa disebut chemical castration. Chemical castration adalah
pengebirian dengan cara pemberian obat untuk mengurangi hormon seseorang.
Dengan pengurangan hormon secara drastis, otomatis libidonya bakal menghilang
sehingga tak membahayakan lagi bagi lingkungan di sekitarnya. Pengebirian juga
dapat dilakukan dengan melakukan operasi
atau bedah dengan memotong kelenjar testis pria. Namun demikian tidak berarti meniadakan hukuman kurungan
(baca:penjara), hukuman keberi dipandang sebagai antisipasi saat yang
bersangkutan bebas, keluar dari penjara agar tidak mengulangi lagi
perbuatannya.
Melihat masalah di atas, pemerhati anak, Seto Mulyadi mengatakan, pemerintah
sapatutnya berani mengambil langkah tegas untuk menghukum predator seksual
anak. Bagi Seto Mulyadi, hukuman seberat mengebiri juga tidak masalah dan
pantas bagi pelaku tindak kekerasan terhadaap anak. Dengan demikian, pelaku
atau calon pelaku akan berpikir seribu kali sebelum melakukan niat buruknya. Hal senada juga ditegaskan oleh Komisi Perlindungan Anak
Indonesia. KPAI meminta pemerintah bertindak dan mengambil langkah cepat. Bagi
KPAI permasalahan ini sudah dianggap darurat. Kepada masyarakat luas juga
diharapkan kewaspadaan, kehati-hatian dalam menjaga dan melindungi pergaulan
anak-anaknya.
Wacana
penambahan hukuman bagi predator sebenarnya sudah pernah disampaikan oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono. SBY pernah mengusulkan untuk merevisi UU Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Usulan SBY itu tak mendapat respon dari anggota dewan sampai pemerintahanya
berakhir. Dan sampai saat ini DPR tak
bergeming. Politisi di Senayan malah lebih memilih merevisi UU KPK yang
mungkin dianggap lebih mendesak dibanding UU Perlindungan Anak. Padahal menurut
hemat saya permasalahan kekerasan anak dan upaya perlindunganya lebih penting,
lebih darurat ketimbang merivisi UU tentang KPK yang hanya memunculkan kontroversi.
Dalam hukum
kita sekarang, predator anak yang telah melakukan kekerasan seksual hanya dijerat
dengan menggunakan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(UU PA) yang ancaman hukumannya hanya 15 tahun penjara. Masyarakat tentu masih
khawatir setelah narapidana keluar. Apa mungkin mereka berubah, tak
melakukannya lagi? Saya berasumsi pembinaan di Lapas tak bisa menjamin untuk
itu. Dan terbukti, hukuman tahanan itu tak membuat jerah yang lain. Tindak
kekerasan pada anak pun terus terjadi di tanah air.
Efek Jerah
Tujuan setiap hukuman apa pun bentuknya adalah lahirnya
efek jerah atau perubahan sikap yang lebih baik bagi warga binaan atau
narapidana. Artinya, setelah proses pembinaan selama di Lapas, para napi diharap bisa berubah. Kemudian bagi
yang lain akan merasa takut melakukan pelanggaran hukum tersebut karena sanksi
hukumanya yang yang dipandang sangat berat. Nah, sekarang bagaiamana hukuman
mengebiri bagi predator anak? Apa dapat memunculkan efek jerah?
Berdasarkan pengalaman beberapa negara yang sudah
menerapkan hukuman kebiri, terbukti kejahatan seksual terhadap anak menurun. Para predetor anak akan berpikir ulang berkali-kali untuk melakukan perbuatan bidadap itu. Di
Jerman angka kekerasan terhadap anak menurun 80 persen setelah menerapkan
hukuman kebiri bagi predator. Di Jerman hukuman ini cukup
ampuh mendatangkan efek jerah. Dari 104 orang yang dikebiri sejak tahun 70an,
hanya tiga orang yang kembali melakukan kejahatan seksual. (http://fokus.news.viva.co.id)
Martin Holly, dokter ternama bidang seksologi
dan psikiater di Rumah Sakit Psikiater Bohnice di Praha mengatakan, hampir 100 orang
pemerkosa yang dikebiri tidak mengulangi kejahatan yang sama. Lebih jauh, sebuah studi di Denmark
menunjukkan angka penurunan tingkat kejahatan dari 2,3 persen menjadi 80 persen
yang dilakukan oleh 900 penjahat yang dikebiri pada tahun 1960an.
Sedangkan studi di Amerika Serikat pada tahun 1981 menunjukkan hal yang sama. Sebanyak 48 pria yang dikebiri secara kimia menggunakan medroxyprogesterone acetate yang disuntikkan selama 12 bulan mengaku telah kehilangan hasrat seksual, sedikit berfantasi seksual dan dapat mengendalikan desakan seksual mereka. (https://www.change.org)
Sedangkan studi di Amerika Serikat pada tahun 1981 menunjukkan hal yang sama. Sebanyak 48 pria yang dikebiri secara kimia menggunakan medroxyprogesterone acetate yang disuntikkan selama 12 bulan mengaku telah kehilangan hasrat seksual, sedikit berfantasi seksual dan dapat mengendalikan desakan seksual mereka. (https://www.change.org)
Akhir kata, berbagai kasus kejahatan
anak yang sering terjadi di tengah masyarakat harus dijadikan pelajaran
berharga buat kita semua. Kita semua (pemerintah, orang tua, masyarakat luas)
tidak boleh lengah sehingga kasus yang sama terus terjadi lagi. Dan saatnya
pengambil kebijakan di negeri ini menambah hukuman bagi predator anak sehingga
bisa mendatangkan efek jerah. Dan hukuman mengebiri dapat menjadi pilihan. Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar