Pemilihan kepala daerah secara langsung akan
dilaksanakan secara serentak 9 Desember 2015 mendatang. Berbagai tahapan pilkada
telah dilalui. Berbagai permasalahan telah diselesaikan, telah dicarikan solusi, disiapkan perangkat
hukum atau aturannya. Diantara persoalan krusial yang membaya-bayangi pelaksanaan pilkada adalah permasalahan netralitas Pegawai
Negeri Sipil (PNS). Berdasarkan pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya, suara PNS
kerapkali dijadikan rebutan berbagai kepentingan politik setiap kali pemungutan
suara baik untuk pemilhan kepala daerah maupun pemilihan anggota dewan. PNS
sering kali dimanfaatkan, sehingga mereka tak netral lagi dalam menyikapi
pemilihan. Padahal sesuai aturan yang berlaku, mereka harus netral. Mereka tak
boleh terlibat dalam aktifitas politk. Tak boleh menjadi pengurus partai atau
team sukses pasangan calon kepala daerah. Mereka tidak diperkenankan mengikuti
kegiatan kampanye.
Dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil,
dalam pasal 4 ayat 12, 13 ,14, dan 15 telah
dijelaskan berbagai larangan terkait dengan Pemilihan Umum atau Pemilukada.
Khusus terkait dengan Pemilukada ayat 15 dalam pasal yang sama menegaskan
larangan memberikan dukungan kepada
calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara: a. terlibat dalam
kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah; b.
menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye; c.
membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah
satu pasangan calon selama masa kampanye;
dan/atau
d. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan
calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye
meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS
dalam lingkungan unit kerjanya, anggota
keluarga, dan masyarakat.
Latar
Belakang
Keberpihakan PNS pada salah satu calon
kepala daerah, menurut hemat saya tak lepas dari latar belakang berikut, pertama, bayang-bayang sejarah atau masa
lalu. Seperti diketahui oleh orang banyak (baca:rahasi umum) bahwa PNS selama
32 tahun kepemimpinan Soeharto (selama orde baru) selalu dimanfaatkan untuk
kepentingan politk penguasa. Waktu itu PNS identik dengan Golkar, partai
penguasa. Lahirnya Korps Pegawai Negeri (KORPRI) disinyalir, diciptakan untuk
mempermudah mengarahkan PNS pada kepentingan politik praktis saat itu. Seperti yang digambarkan oleh Mohtar Mas’oed (1994), sejak pembentukannya, KORPRI secara umum
sangat efektif dalam menggerakkan PNS beserta keluarganya untuk memilih Golkar dalam
setiap pemeilihan umum, dan dalam menjauhkan mereka dari kegiatan partai
politik. Ketidakpatuhan pada tuntutan KORPRI bisa berakibat hilangnya pekerjaan
sebagai pegawai negeri. Dalam keadaan ekonomi yang tidak dapat menyediakan lapangan
kerja yang cukup bagi warganya, kehilangan pekerjaan sebagai pegawai pemerintah,
sekalipun gajinya kecil, akan mengakibatkan penderitaan yang besar.
Kedua, keengganan
ke luar dari zona nyaman, tidak ingin berubah. Keluar dari zona nyaman memang
bukan sesuatu yang mudah. Setiap orang bila dalam posisi yang aman,
menyenangkan (terlepas bagaimana cara memperolehnya) akan sulit diajak keluar,
meninggalkannya. Menurut Inna Muthmainah
(2012), konsultan psikologi reguler di EXPERD Jakarta, perasaan nyaman
pada satu kondisi memang dirasakan berbeda pada setiap orang atau kelompok.
Buat kebanyakan orang, hidup dari mengemis tentu amat tak menyenangkan dan
merendahkan harga diri. Namun, sebagian lain tidak demikian. Mereka lebih
nyaman hidup dari meminta-minta. Ketika banyak lembaga yang datang membantu dan
ingin membina mereka jadi lebih mandiri, ternyata banyak yang tak mau. Menurut
mereka lebih nyaman hidup begitu. Perasaaan seperti itu sulit dihilangkan karena berada di ambang
bawah ketidaksadaran. Bahkan pemikiran logis kadang tak banyak pengaruhnya pada
orang yang sudah merasa nyaman itu untuk menghilangkan kebiasaannya. Berapa
banyak perokok yang sebenarnya menyadari bahaya merokok bagi kesehatan, namun
tak juga mau berhenti merokok?(http://www.ummi-online.com)
Demikian halnya dalam hal pilihan
politik. Saat segala kepentingan telah terpenuhi oleh penguasa (baca:kepala
daerah), maka otomatis mereka (PNS) enggan bila diajak berubah, meninggalkan
zona nyaman tersebut.
Ketiga, karena tekanan secara terstruktur dan sistemik.
Terstruktur artinya secara hirarkis dari atas ke bawah. Sistemik
dalam artian terorganisir secara rapi. Untuk beberapa kasus, netralitas PNS
dibayang-bayangi oleh tekanan dari penguasa setempat. Kepala daerah yang
terlalu lama berkuasa biasanya menguasai mereka dengan dibarengi tekanan dan
intimidasi. Jurus yang biasa digunakan adalah ancaman mutasi, atau digeser ke
posisi yang tidak diinginkan.
Kuncinya Pengawasan
Untuk
menjaga netralitas PNS dalam pemilukada serentak Desember mendatang, menurut
saya kunci utamanya adalah pengawasan.
Untuk tujuan ini, Kemendagri dan Kemenpan berupaya membentuk satgas netralitas
secara bersama. Bahkan Kemenpan telah mengeluarkan surat edaran
pada 2 Juli 2015 yang mengharuskan PNS netral dalam Pilkada. Termasuk tidak
menggunakan fasilitas jabatan untuk Pilkada, tidak salahi kewenangan dan tidak mengintervensi.
Lebih jauh, untuk tujuian pengawasn,
telah disepakti dan ditandatangani kesepakatan bersama Bawaslu, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN),
dan BKN yang dibangun oleh Kemendagri. Mendagri Tjahjo Kumolo menegaskan,
penandatangan kerjasama pengawasan netralitas tersebut menjadi dasar pemerintah
untuk menindak pejabat yang tak netral dalam Pilkada. Kalau ada pejabat
terbukti (tak netral), ya finish. Tidak akan ada
peningkatan karir dan akan ada penilaian dari Kemenpan. (http://www detik.com )
Dalam PP Nomor 53 Tahun 2010 (pasal 7),
PNS yang melakukan pelangggaran terhadap Pasal 4 yang melarang keberpihakan
kepada calon kepala daerah akan dijatuhi hukuman. Hukuman tersebut terdiri dari a. hukuman
disiplin ringan; b. hukuman disiplin sedang; dan c. hukuman disiplin berat.
Namun tentu, sanksi tegas tersebut akan menjadi seperti macan kertas bila tidak ada pengawasan
dan penegakan secara adil. Karenannya, kewajiban kita semua, untuk
berpartisipasi mengawasi. Pengawasan dari semua pihak akan sangat membantu
menciptakan PNS yang bersih, steril dari segala kepentingan politik.
Akhirnya, PNS harus netral. Netralitas
mereka akan meningkatkan kualitas pemilukada Desember mendatang. Jangan ciderai
pesta demokrasi dengan tindakan tak
terpuji berupa keberpihakan PNS. Dan, buat masyarakat luas, diminta membantu
dalam pengawasan bersama pada mereka. Pengawasan menjadi kunci utama dalam
penegakan segala aturan termasuk yang terkait dengan netralitas PNS dalam
Pemilukada yang akan datang. Wa Allahu
‘Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar