Beberapa
hari lalu, tepatnya 1 Oktober 2015,
genap setahun anggota DPR RI masa periode 2014-2019 dilantik. Masih
terngiang di telinga, sumpah dan janji mereka dalam rapat paripurna 1 di Gedung
MPR. Saat itu ada 555 orang anggota DPR
beserta 132 anggota DPD dilantik langsung oleh Ketua Mahkmah Agung Republik
Indonesia, Hatta Ali. Biaya pelantikan yang diambil dari uang rakyat menelan
18,5 milyar rupiah. Bukan angka yang kecil bila dibandingkan dengan kondisi
ekonomi rakyat di bawah. Setelah ditanya kesiapan dan kesedian untuk dilantik
oleh Hatta Ali sebagai ketua Mahkama RI, para wakil rakyat bersumpa dan
berjanji, bahwa Saya akan memenuhi
janji menjalankan anggota sebagai wakil rakyat yang seadil-adilnya sesuai
peraturan perundangan dengan berpedoman pada pancasila dan UUD 1945.
Bahwa saya akan bekerja dengan sungguh-sungguh demi tegaknya demokrasi.
Sumpah dan janji itu disaksikan dan didengar oleh seluruh
rakyat Indonesia karena acara pelantikan tersebut ditayangkan oleh hampir
seluruh stasiun TV di tanah air. Suara janji mereka menggema di bumi
nusantara. Dan tentu, Tuhan pun
menyaksikan. Pertanyaannya, bagaiman realisasi sumpah dan janji itu? Bagaimana
keinerja mereka setelah satu tahun dilantik? Rakyat nampaknya hanya bisa
mengelus dada karena berdasarkan pengamatan oleh berbagai elemen masyarakat,
kinerja anggota dewan jauh dari kata memuaskan. Kinerja mereka tergolong sangat
lemah, sangat buruk. Bisa jadi terburuk sepanjang sejarah DPR
Melihat Kinerja Mereka
Kesimpulan di atas tidaklah berlebihan. Melihat kinerja
anggota DPR RI sekarang membuat rakyat pesimis, apatis menghadapi Pemilu setiap
lima tahun. Rakyat merasa sulit mempercayai partai politik, apa pun partainya. Coba
kita lihat kinerja mereka selama satu
tahun ini. Berikut catatan yang bisa dikaji lebih jauh, pertama, sering
membuat kegaduhan politik. Anggota dewan yang terhormat, sebagaimana kita
saksikan selalu membuat kegaduhan. Coba ingat, dari awal, setelah pelantikan
mereka berebut kursi alat kelengkapan dewan. KMP-KIH masing-masing menunjukkan
keangkuhan, ego kelompok, keras kepala, dan ambisi mereka. Perbutan jabatan
dalam mengisi kelengkapan dewan dijadikan laga pertempuran yang memakan waktu,
menguras energi. Berbulan-bulan perseteruan KMP-KIH dalam perebutan itu
mencerminkan ketidak dewasan politk mereka. Anggota dewan seperti anak kecil
berubut mainan, saling tarik, saling ejek, saling menyalahkan, saling
menyudutkan. Persis seperti yang pernah diucapkan mantan Presiden Abdurrahman
Wahid, mereka laksana anak TK. Terakhir kegaduhan soal pembangunan gedung MPR
super mewah berfasilistas lengkap. Mereka berusaha menjebak Presiden, walau
Jokowi dengan cerdas menampiknya. Tokoh-tokoh sentral (karena mereka pimpinan)
seperti Fahri Hamzah politikus asal PKS, Fadli Zon salah satu wakil ketua DPR
justru mencerminkan kegaduhan-kegaduhan itu.
Kedua, porolehan legislasi yang jauh dari target. DPR terlihat
miskin prestasi. Dari 39 Rancangan Undang-Undang yang masuk dalam prioritas
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2015, hanya tiga RUU yang telah
selesai dibahas dalam keputusan Rapat Paripurna. Sebuah prestasi yang
sangat tidak sebanding dan tidak
seimbang dengan kecerdasan dan kepintaran yang mereka miliki serta pendapatan yang mereka terima setiap bulannya.
Kaitan lemahnya legislasi, Wakil ketua DPR, Agus Hermato mengakui bahwa dalam
hal pembahasan Undang-undang anggota dewan jauh tertinggal dari target yang
telah ditetapkan mereka sendiri. Bahkan anggota Komisi III DPR RI, Abdul Kadir Karding, menilai
fungsi legislasi DPR RI justru masih jauh dari harapan publik. Menurutnya,
hanya dua fungsi yang berjalan, pengawasan dan budgeting, sedangkan fungsi
legislasinya masih mandul.
Ketiga,
soal kehadiran. Kebiasaan
membolos saat sidang sudah menjadi rahasia umum yang memalukan sekaligus
memilukan. Sampai dalam acara sepenting peringatan ulang tahun DPR RI yang
ke-70 saja hampir separuh lebih anggota tak hadir. Berdasarkan laporan CNN Indonesia, anggota dewan yang datang pada acara terssebut tercatat hanya 288 orang dari total 560 orang
anggota. Anggota dewan yang datang berasal dari PDIP 65 anggota, Golkar 50
anggota, Gerindra 35 anggota, Partai Demokrat 25 anggota, PAN 22 anggota,
PKB 25 anggota, PKS 21 anggota, PPP 20 anggota, Partai NasDem 15
anggota dan Hanura 10 anggota. Bukankah ini memprihatinkan? Di mana
tanggung jawab mereka sebagai wakil rakyat? Masih ingatkah mereka dengan sumpah
dan janji saat pelantikan setahun lalu? (http://www.cnnindonesia.com/)
Keempat, pandai menuntut hak. Masih terngiang dalam
pikiran, saat mereka menuntut kenaikan berbagai tunjangan di tengah buruknya
kinerja mereka. Para anggota DPR menuntut menaikan sejumlah tunjangan, di
antaranya tunjangan kehormatan, komunikasi intensif, peningkatan fungsi
pengawasan dan anggaran, serta bantuan langganan listrik dan telepon, seperti
yang tercantum di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016. Besaran
tunjangan kehormatan untuk anggota DPR, misalnya naik dari Rp3,7 juta menjadi
Rp5,5 juta. Kemudian bantuan langganan listrik dan telepon naik dari Rp5,5 juta
menjadi Rp7,7 juta. Kenaikan tunjangan anggota DPR.
Kelima, meghamburkan uang dalam bentuk kunjungan kerja. Kunjungan
kerja yang tak jelas manfaatnya, terkesan hanya mengamburkan uang negara.
Misalnya kontroversi kunjungan pimpinan DPR dengan beberapa anggota dewan ke
Amerika. Kunjungan kerja berbadget miliaran rupiah itu hanya melahirkan
kontroversi soal kehadiran pimpinan DPR (Setya Novanto-Fadli Zon) di rangkaian
kegiatan kampanye bakal calon Presiden Amerika Donald
Trump. Tindakan Setya Novanto- Fadli Zon
menghadiri kampanye Donald Trump dinilai oleh banyak orang sebagai perbuatan
merendahkan martabat bangsa dan negara.
Berdasarkan catatan Forum Indonesia untuk Transparansi
Anggaran (FITRA), delegasi pimpinan DPR berkunjung ke Amerika
dari 31 Agustus-12 September 2015 telah menghabiskan paling tidak Rp 4,6
miliar. FITRA memukan. biaya Pesawat ke AS 14.428 USD satu
perjalanan,. Uang Harian 527 USD per anggota DPR, Hotel @ 1.312,02 USD per
malam. Maka Jumlah Anggaran untuk 9 orang ke AS selama 12
hari Rp 4.631.428.800 (asumsi paket hemat sesuai aturan PMK)..Diperkirakan
anggaran lebih besar bisa lebih Rp 10 miliar dengan asumsi berbagai tunjangan.
(http://news.detik.com/berita).
Nah,
catatan-catatan di atas seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi anggota DPR.
Anggota DPR harus peka dan sensitif dengan apa yang dirasakan rakyat. Apa yang
menjadi kegelisaan rakyat karena kekecewaan terhadap kinerja mereka pada tahun
pertama ini mustinya dianggap sebagai teguran dan peringatan. Mereka harus
menyadari, mengakui kelemahan-kelemahan tersebut. Kemudian berjanji untuk memperbaikinya di waktu yang
akan datang. Tersisa empat tahun lagi, cukup untuk menunjukkan keseriusan
mereka mewakili rakyat, tentu kalau ada kemauan. Bila tidak, rakyat pasti
menghukum mereka pada Pemilu yang akan datang. Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar