Cerpen
Bel masuk berdering nyaring.
Siswa-siswi berlarian menuju halaman sekolah. Sebagian siswa yang berada di
belakang sekolah pun mempercepat belanja mereka di kantin. Kantin yang
posisinya berada di belakang kelas 3 itu seketika sepi ditinggal mereka yang
sebelumnya berbelanja makanan ringan, juga minuman. Pagi itu seperti biasanya, para
siswa segera mengikuti kegiatan apel Jumat pagi. Apel Jumat pagi adalah
kegiatan mingguan yang bertujuan melatih kedisiplinan, pembinaan, juga bimbingan
terhadap siswa. Dalam kegiatan itu juga biasa disampaikan informasi, hal-hal
penting yang terkait dengan proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah selam
satu minggu. Kegiatan yang berdurasi antara 10-15 menit itu diikuti oleh
seluruh siswa di sekolah tersebut.
“Assalamua’alaikum warahmatullahi wa
barakatuh”.
“Waalaikum salam”, jawab siswa
serentak.
“Siapa yang mengetahui, kemaren 22
Oktober itu di peringati sebagai hari apa?”, tanya Pak Hikmah seraya membuka
ceramah di pagi cerah itu. Guru yang nama lengkapnya Ahmad Hikmah itu adalah
salah satu pengisi kegiatan apel Jumat yang sering membawakan tema keagamaan.
Maklum, dia guru agama di sekolah.
“Ada yang bisa jawab?” Pak Hikmah
mengulangi sambil menengok ke kanan dan kiri. Diperhatikannya seluruh peserta.
Tak ada satu siswa pun yang menjawab. Tak seperti biasanya. Setiap ada guru
yang bertanya, siswa yang bisa langsung menjawab lantang. Bila jawaban salah,
yang lain menertawakan. Pak Hikmah berpikir, pantas mereka tak mengetahuinya.
Bukankah kemaren adalah kali pertama diperingati sebagai hari nasional?
“22 Oktober adalah hari santri
nasional. Bapak Presiden telah menerbitkan surat nomor 22 tahun 2015 tentang
penetapan 22 Oktober sebagai hari santri nasional. Dan kemaren di berbagai
daerah umat Islam memperingatinya dengan berbagai hal. Ada yang pawai,
menyelenggarakan seminar, kirab santri dan lainnya. Di jalan-jalan pun, banyak
dipasang ucapan selamat dalam bentuk spanduk atau pamlet” Pak hikmah
menjelaskan.
“Dipilihnya 22 oktober diambil dari
sejarah lahirnya resolusi jihad yang digagas oleh para ulama di Jawa Timur”,
lanjut Pak Hikmah.
“Apa resolusi jihad itu? Tanya Pak
Hikma berikutnya.
“Ada yang tahu?”
“Perintah berperang Pak!”, jawab salah
satu peserta apel. Spontan, yang lainnya tertawa. Pak Hikmah mengamati dari
kejauhan, siswa itu bernama Santosa. Santosa adalah siswa kelas 4 yang sering
menjadi bahan tertawaan teman-temanya. Pasalnya, siswa tersebut kalau bicara asal.
Anaknya sih baik dan rajin. Teman-teman sekelasnya sangat menyukai.
“Jawabanya
bagus, tapi kurang tepat”, Pak Hikmah mengawali jawaban.
“Resolusi jihad itu perintah atau seruan
berjihad melawan penjajah. Saat itu Belanda kembali ke Indonesia tepatnya di
Surabaya, mendompleng pasukan sekutu yang dipimpin Inggris. Para ulama Surabaya
dan sekitarnya merasa terpanggil membela tanah air, memerangi penjajah. Mereka
akhirnya sepakat mengeluarkan resolusi jihad. Mengajak seluruh rakyat Indonesia
terutama yang beragama Islam untuk mengusir Belanda dan tentara sekutu. Mereka
pun memfatwakan bahwa bila mati dalam melawan penjajah maka matinya dianggap
mati syahid” Pak Hikmah menerangkan
cukup panjang.
“Hari
santri merupakan penghargaan negara terhadap perjuangan umat Islam dalam
mengusir penjajah. Umat Islam sebagai bagian dari bangsa ini selalu mengambil
peran penting baik dalam merebut kemerdekaan maupun mengisinya dengan
membangun. Oleh karena itu, kalian sebagai kader bangsa, kader umat harus terus
semangat belajar, dan belajar. Perjuangan kalian saat ini hanya belajar,
menuntut ilmu membekali diri dengan berbagai ketrampilan dan keahlian.” Pak
Hikmah kembali menerangkan. Siswa-siswi dengan seksama memperhatikan dan
mendengarkan.
“Akhir
kata semoga kita bisa memberikan yang terbaik buat bangsa dan negara. Akhirnya,
wasalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh”, Pak Hikmah mengakhiri kegiatan
apel Jumat pagi.
“Setelah
apel Jumat, para siswa diminta langsung
masuk ke kelas masing-masing dan berdoa, kemudian membaca Al Quran”, suara itu
terdengar sangat jelas dari pengeras suara yang ada di sekolah. Suara itu
datang dari operator sekolah yang biasa menyampaikan informasi, ajakan, atau
perintah kepada semua siswa. Operator sekolah dikelola oleh sebagian guru.
Pak
Hikmah berjalan santai menuju ke kantor. Ia melewati beberapa kelas. Sementara
anak-anak berebutan masuk ke kelas. Sebagian ada yang berlarian. Kondisi
seperti itu dapat dilihat setiap bubar upacara, apel, jam istirahat, atau saat
pulang sekolah.
“Pak, kenapa tidak membacakan Fatiha? tanya Elisa.
Pak Hikmah terkejut. Dia menengok ke belakang, melihat Elisa tergopo-gopo
menghampiri. Elisa adalah salah satu siswa yang beragama Kristen. Di sekolah
tersebut, ada tiga lagi yang berbeda agama dengan siswa kebanyakan. Mereka
adalah Elisabet, Santika, Ferdi. Mereka bercampur dengan yang lain. Kecuali
bila pelajaran Agama, mereka diminta ke perpustakaan oleh Pak Hikmah.
“Memang
kenapa? Ada yang sakit? Atau meninggal?” tanya Pak Hikmah. Memang, dalam apel
pagi Jumat Pak Hikmah terkadang meminta anak-anak membaca Al Fatiha bila ada
siswa yang sakit, atau ada wali siswa yang meninggal.
“Iya,
Pak”, jawab Elisa
“Siapa?“
“Pak
Hermanto, orang tuanya Budiarto”
“Ya,
baiklah. Nanti lain kesempatan kita membacakanya. Terimakasih, Elisa”, Pak
Hikmah menutup pembicaraan, seraya melangkah ke depan.
“Subhanallah
itu anak baik sekali, sangat toleran”, Pak Hikmah membuka perbincangan ketika
sampai di ruang guru. Par sedang guru bersiap-siap di meja kerjanya masing-masing.
Seperti biasa setiap selesai apel atau upacara siswa langsung belajar.
“Siapa
pak?” tanya Bu Nora penasaran.
“Elisa”,
jawab Pak Hikmah singkat.
“Memang
kenapa?”, Pak Salim menimpali. Pak Salim meyakini pasti ada sesuatu. Karena Pak
Hikmah dikenal oleh teman-temanya irit bicara. Tak berbicar kecuali ada yang
penting.
“Dia
menegur saya, kenapa tidak membacakan surat Al Fatiha untuk wali siswa yang
kemaren meninggal, pak Hermanto ayahnya Budiarto”, Pak Hikmah menjawab sedikit
panjang.
“Berarti
kita berhasil pak, menanamkan sikap toleransi di anatara perbedaan- perbedaan
yang ada”, Bu Siska menyela pembicaraan sambil berdiri, merapikan mejanya.
Rupanya dia sudah siap masuk kelas.
“Ya,
betul bu. Kita bersyukur, apalagi sekarang masyarakat kita mudah terprovokasi
berbuat intoleran dengan yang berbeda agama. Bahkan, belum lama, ada kepala
daerah yang menerbitkan surat edaran, melarang kegiatan keagamaan komonitas
minoritas sebuah agama. Ini menyedihkan sekaligus memalukan”, Pak Hikmah
melanjutkan diskusi ringan di pagi itu.
“Ya,
saya sudah membaca pak, di internet. Walikota mana? Saya lupa”, ujar Pak Salim.
“Bogor”,
Pak Hikmah mengakhiri. Para guru pun beranjak dari tempat duduk menuju kelas
mereka masing-masing. Ruang guru seketika hening. Tersisa, Pak Karim, guru
piket sedang duduk, mengerjakan sesuatu di depan komputer. Dari awal ia hanya
menyimak pembicaraan teman-temanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar