Bagi
guru, besok 25 Nopember adalah hari sangat istimewa. Istimewa karena
diperingati sebagai Hari Guru Nasional (HGN) sekaligus ulang tahun Persatuan
Guru Republik Indonesia (PGRI) ke 70. HGN merupakan penghargaan Pemerintah
dan negara terhadap eksitensi guru pada
pembangunan nasional, mengisi kemerdekaan. Acara puncak HGN tahun ini akan diperingati pada hari
Selasa 24 Nopember 2015 bertempat di Istora Senayan Jakarta. Menurut rencana, acara tersebut akan dihadiri
oleh 10.926 guru dari Jabodetabek. Masing-masing 1.000 peserta dari Disdik DKI Jakarta, Depok, dan Bogor,
500 peserta dari Disdik Tangerang dan Tangsel, 2.891 peserta simposium, tiga
ribu peserta dari asosiasi profesi, serta 1.035 peserta dari mendaftar online.
Kaitan dengan ini, Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemdikbud), Sumarna Surapranata mengatakan, Presiden Joko Widodo
(Jokowi) dipastikan hadir pada Acara Puncak HGN tersebut. (http://news.okezone.com/)
Tahun ini, peringatan HGN mengusung tema "Guru Mulia
Karena Karya". Sehari sebelum perayaan puncak Hari Guru Nasional, panitia
akan menghelat simposium yang akan dihadiri 4.391 peserta. Terdapat 250 karya
guru, seperti metode pembelajaran, alat peraga pendidikan, inovasi
pembelajaran, yang akan disajikan dan dipamerkan. Pendaftaran simposium dilakukan secara online.
Ada 3.366 pelamar, tetapi diseleksi
menjadi 250 karya yang dipamerkan. Sedangkan yang lainnya akan
dipublikasikan melalui website.
Tema HGN, “Guru Mulia Karena Karya” sangat menarik untuk kita
pelajari lebih jauh. Tema ini memberi status mulia pada guru. Kemulian guru
bukan karena harta yang dimiliki, jabatan yang diduduki atau darah biru
(keturunan). Tapi kemulian guru karena karya nyata yang telah dihadirkan di
tengah masyarakat. Namun persoalannya, apa benar guru telah dimuliahkan? Jujur
menjawab pertanyaan itu cukup sulit. Kenapa sulit? Karena guru dimuliakan itu
ibarat api jauh dari panggang. Banyak permasalahan yang tidak mencerminkan hal
itu. Berikut di antaranya, pertama, banyak
guru yang jauh dari sejahtera. Banyak guru yang gaji mereka jauh di bawah UMR.
Mereka disebut guru honorer. Yakni guru yang tidak berstatus pegawai negeri
sipil (PNS). Guru honorer jumlahnya sangat besar. Berdasarkan data Kemendikbud,
honorer K2 saja mencapai 440 ribu, belum honorer lainnya. Mereka dibutuhkan
tapi tidak diperhatikan. Mereka berjasa tapi tak dihargai. Padahal kehadiran
mereka sangat dirasakan, termasuk oleh teman sejawat mereka, guru berstatus
PNS. Mereka sering menjadi korban ingkar janji para pengambil kebijakan di
negeri ini. Masih segar di ingatan, beberapa waktu lalu, honorer K2 dibatalkan diangkat menjadi CPNS
seperti yang dijanjikan sebelumnya dengan alasan tidak ada anggaran.
Kedua, tunjangan sertifikasi bagi guru honorer hanya
menghadirkan kesejahteraan semu. Peraturan Pemerrintah Nomor 41 Tahun 2009 Tunjangan
Profesi Guru dan Dosen memberikan secerca harapan bagi kesejahteraan guru
honorer. Namun kenyataanya ada beberapa problematika yang justru berlawanan
dengan semangat dan ruh PP No. 41 Tahun 2009. Problematika tersebut antara lain
adalah bahwa sebagian besar sekolah
(baik yang dikelolah pemerintah maupun yayasan atau swasta) tidak lagi memberikan
honor setelah mereka mendapat tunjangan profesi
atau sertifikasi. Tunjangan dari pemerintah yang tujuannya menambah
penghasilan dijadikan pengganti honor
yang sebelumnya mereka terima dari sekolah, berbeda dengan guru berstatus PNS.
Ditambah lagi pembayaran dilakukan tiga bulan sekali (triwulan). Tiga bulan
bukan waktu yang pendek bila dihadapkan dengan kebutuhan hidup yang selalu
merangkak naik.Tidak cukup sampai di situ, pembayaran yang dijadwalkan tiga
bulan sekali kerapkali terlambat, bisa menjadi empat, lima sampai enam
bulan.Tentu sangat memprihatinkan.
Ketiga, guru terkoreksi negatif. Sejak
Tunjangan Profesi Guru (TPG) diberlakukan guru dikoreksi secara negatif dan
tajam. Pemerintah, juga masyarakat luas seakan setengah hati memberi kesejahteraan
lebih pada guru. Selebihnya guru disorot tajam. Mereka selalu disalahkan.
Harapan, dan perubahan besar pendidikan nasional dipikulkan pada guru seorang
diri. Padahal, dalam pendidikan bukan hanya guru, ada kurikulum, sarana, lingkungan, fasilitas dan lainnya.
Guru dianggap tak berubah setelah pelaksanaan TPG. Berbagai pihak seakan tak
rela melihat perubahan kehidupan guru yang lebih sejahtera. Mereka lebih nyaman
menyaksikan sosok guru “Umar Bakri” yang serba kurang. Biarlah guru hanya
menjadi pahlawan tanpa tanda jasa. Padahal guru profesional harusnya layak
sejahtera seperti profesi lainnya. Setiap saat guru dihantuhi isu pencabutan
TPG. Terakhir, Uji Kompetensi Guru (UKG) yang dilaksanakan dari 9 sampai 27
Nopember secara nasional tak terhindar dari isu yang sama. Menarik sertifikasi
bagi guru bernilai rendah.
Tetap Berkarya
Terlepas hal-hal di atas,
guru harus tetap berkarya. Karya guru, menurut UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang
guru dan dosen dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, diwujudkan dengan
apa yang disebut kompetensi guru. Dalam Pasal 10 UU No. 14 2005, Kompetensi guru sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Keempat kompetensi itu harus selalu dijaga,
ditingkatkan oleh guru dengan seiringnya waktu.
Guru harus memiliki keempat kompetensi
di atas dengan sempurna. Keempat kompetensi di atas ibarat jati diri guru
Indonesia dalam mengemban amanat, berkarya untuk negeri. Yakni mendidik,
membimbing, melatih peserta didik, mengantarkan mereka ke tujuan pendidikan
nasional yaitu mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Pasal 3)
Keempat
kompetensi di atas sebagai syarat utama yang harus dimiliki oleh guru dalam
melaksanakan tugas utamanya. Penguasaan mereka pada keempat kompetensi tersebut
akan menjelaskan pada khalayak ramai tentang kualitas kekaryaan mereka sebagai
guru. Karenanya, penguasaan pada keempat kompetensi itu selayaknya selalu ditingkatkan
oleh guru.
Mengakhiri
tulisan, saya ingin bercerita. Konon, dalam dunia kungfu atau persilatan,
seorang master kungfu dalam mengajarkan jurus-jurus kepada murid-muridnya ia
selalu menyimpan satu jurus andalan. Jurus itu tak akan diberikan kepada mereka
dengan satu alasan yaitu kekhawatiran sang master kungfu dapat dikalahkan oleh
muridnya kelak. Ia akan memberikan jurus pamungkas itu saat-saat akhir
hidupnya, tentu pada murid yang dianggapnya paling setia.
Master
kungfu berbeda dengan guru. Dalam mengajar, guru tak pernah menyimpan satu ilmu
pun bagi peserta didiknya. Guru dengan ikhlas, rela menyampaikan seluruh ilmu
yang ia miliki. Guru akan bangga dan bahagia bila kelak murid-muridnya lebih
pandai, lebih berhasil, mengalahkan dirinya. Karena itu maha karya baginya,
mencetak generasi yang lebih baik dari generasinya. Ini kemulian guru yang tak
terbandingi oleh siapa pun. Akhir kata, guru adalah profesi mulia. Guru layak
dimuliahkan oleh kita semua karena karyanya menghadirkan generasi terbaik.
Selamat Hari Guru Nasional. Selamat Ultah ke 70 untuk PGRI. Wa Allahu Alam
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Umum Fajar Cirebon, Jumat 27 Nopember 2015)
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Umum Fajar Cirebon, Jumat 27 Nopember 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar