Isu resufle kabinet kembali mengemuka
ke permukaan. Isu yang selalu digosok oleh para politisi itu nampaknya semakin
dekat menjadi kenyataan. Itu dapat dibaca dari statemen wakil presiden beberapa
waktu lalu yang mengisyaratkan rencana pembahasan menegenainya dengan Presiden
Jokowi. Pertemuan pimpinan partai pengusung pemerintah di kediaman Megawati
Soekarno Putri sebelumnya ditafsirkan
sebagai desakan, perumusan, dan usulan terhadap resufle kabinet pada Jokowi.
Jauh hari, PAN telah menimbang-nimbang
kadernya untuk masuk ke dalam kabinet sebagai wujud membantu Presiden setelah secara
resmi menyatakan bergabung dengan koalisi Indonesia Hebat dalam pemerintah.
Melakukan reshufle kabinet merupakan
hak perogatif presiden. Dan rushufle dipandang sebagai keharusan atau tidak
bergantung bagaimana kepuasan presiden melihat kinerja para menteri yang
diangkatnya. Idealnya, penilaian presiden terhadap kinerja itulah yang menjadi
alasan utama perlu tidaknya rushufle.
Masih terngiang dalam ingatan, saat
masa pencalonan, kampanye Pilpres setahun yang lalu, Jokowi kerap kali
menegaskan bahwa koalisi yang akan dibangun untuk mengusung dirinya adalah
koalisi tanpa syarat. Artinya sebuah koalisi yang tidak menysaratkan apa pun
antara partai pengusung dengan calon presiden. Koalisi yang tidak mengenal transaksi politik.
Koalisi yang tidak berdasarkan pada kepentingan pragmatis seperti bagi-bagi
kursi atau jabatan. Istilah koalisi tanpa syarat memang sesuatu yang baru, tak
dikenal sebelumnya. Koalisi model ini merupakan manifestasi revolusi mental yang digagas oleh
Jokowi.
Banyak pihak, sejak awal meragukan dan menyangsikan komitmen Jokowi di
atas. Misalnya, ketika pembentukan kabinet kerja setahun yang lalu, pengamat politik dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro meminta kepada presiden terpilih, Joko
Widodo untuk
membuktikan janjinya saat kampanye dengan menyatakan akan memberlakukan koalisi
tanpa syarat dan tak melakukan praktik transaksional politik. Menurut Siti,
dengan komposisi kabinet yang disebutkan Jokowi, 16 kursi menteri untuk partai
politik, itu jelas-jelas tidak menggambarkan seperti yang ia janjikan. http://nasional.kompas.com/
Sekarang, isu resuhfle jilid II telah
bergurlir, kita layak mempertanyakan kembali komitmen Jokowi tersebut. Saya
melihat, koalisi tanpa syarat yang diinginkan Jokowi seperti api jauh dari
panggang. Hal itu bisa dicermati dari hal-hal berikut:pertama, usaha campur tangan dari luar istana, biasanya datang dari
partai pengusung. Mereka mendesak, mendorong rushufle. Alasan yang sering
digunakan adalah tingkat kepuasan pubilik terhadap kinerja kabinet yang
diangggap rendah. Yang paling mencolok untuk rushufle kabinet kali ini adalah
PAN. PAN sangat progresif, mendesak Presiden. Secara terbuka, pemimpin, politisi
PAN mengumbar pernyataan terkait reshufle. Bahkan mereka memberi batas waktu
sebelum kunjungan Presiden ke Amerika Serikat.
Apa yang dilakukan oleh PAN tidak
mungkin tanpa alasan. Bisa jadi PAN hanya menagih sesuatu yang telah
dijanjikan. Dengan demikian, bergabungnya PAN ke Pemerintah dapat disimpulkan
jauh dari koalisi tanpa syarat. Karena itu, tak heran bila partai pengusung
lain seperti PKB mempertanyakannya lebih jauh tentang komitmen koalisi tanpa
syarat tersebut. Dalam sebuah diskusi politik, beberapa waktu lalu, Maman
Imanulhaq, politis PKB menegaskan, bahwa PKB tak pernah merasa takut terhadap
kemungkinan rushufle selagi kita semua masih komit terhadap koalisi tanpa
syarat. Yang menjadi persoalan adalah gelagat transaksional beberapa partai
akhir-akhir ini. (http://m.suara.com/news)
Kedua,
usulan secara terbuka mengganti menteri Rini Soemarno. Kementerian BUMN seperti
kue ulang tahun yang diperebutkan. Sejak
reshufle pertama, serangan bertubi-tubi terarah pada Rini Soemarno, bahkan
serangan itu cenderung sebagai ftnah seperti tuduhan penghinaan terhadap
Presiden. Usulan menggant Menterei BUMN datang dari berbagai partai, berbagai
kepentingan, bahkan dari PDIP sendiri. Rini Soemarno yang awalnya ditanam oleh
PDIP dalam kabinet terbukti dianggap sudah tidak loyal lagi pada partai
pimpinan Megawati tersebut. Rini Soemarno
kini lebih loyal pada Jokowi. Sehingga kementerian BUMN di tangan Rini
Sormarno tidak bisa lagi dijadikan sumber pendanaan bagi partai manapun, juga
kepentingan siapa pun.
Lebih jauh, tuntutan mencopot Rini Soemarno
tidak hanya datang dari partai pengusung, bahkan dari barisan Koalisi Merah
Putih. Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno
mengatakan, 10 fraksi di DPR tak puas dengan kinerja Rini Soemarno. Dari
penolakan fraksi-fraksi terkait penyertaan modal negara untuk BUMN merupakan sinyal yang jelas dan kuat bahwa kementerian
negara BUMN dipandang tidak kredibel. Karenanya, menurut Hendrawan tidak ada alasan bagi Presiden Jokowi
mempertahankan seorang Rini Soemarno. Tuntutan yang sama juga disampaikan Fazli
Zon, politisi Partai Gerindra. Nampaknya, reshufle kabinet tidak sebatas
tuntutan publik, melainkan tuntutan politik transaksional di antara
partai-partai yang ada. (http://www.republika.co.id/)
Ketiga, konflik berkepanjangan Partai
Golkar dan PPP ditengarai sebagai terbelahnya kepentingan dalam kedua partai.
Satu kelompok masih komitmen dengan KMP, kelompok lain menginginkan bergabung
dengan pemerintah. Keinginan bergabung tentu tidak gratis. Ada transaksi yang
dijanjikan kepada mereka. Andai suara di kedua partai bulat untuk bergabung ke
pemerintah, maka dipastikan mereka seperti PAN sekarang, menagih apa yang
dijanjikan.
Dari uraian di
atas bisa disimpulkan, bahwa reshufle
kabinet tidak semata-mata karena memperbaiki kinerja kabinet dengan mengganti
mereka yang dianggap lamban, atau menghambat laju kerja. Di balik reshufle
kabinet terselubung kepentingan politik transaksional.
Kemudian reshufle
kabinet lebih merefleksikan kepentingan elit politik atau partai dibanding
kepentingan rakyat. Rakyat hanya dijadikan tumbal. Rakyat hanya dijadikan
alasan.
Bila demikian, sekarang
kembali ke Jokowi sebagai presiden. Ingatkah dengan janji yang diucapkan saat
kampanye prihal koalisi tanpa syarat dalam memimpin pemerintahan? Jokowi harus
menggunakan hak perogatifnya dengan menilai menteri secara adil. Menilai bukan
karena kepentingan apa pun selain kepentingan bangsa dan negara. Jokowi tak
perlu takut untuk mengabaikan tuntutan, desakan dari siapa pun bila hal itu
diyakininya menyakiti rakyat yang telah memilihnya. Keputusan Jokowi akan
disimpulkan oleh khalayak ramai apakah reshufle itu kebutuhan atau kepentingan?
Rakyat menanti jawaban tegas tentang ini.
Akhir kata,
desakan reshufle harus dikaji sebagai kebutuhan atau kepentingan. Reshufle
sebagai upaya memperbaiki kinerja atau merealisasikan transaksi politik.
Kemudian reshufle untuk kepentingan siapa? Bila rushufle hanya untuk
kepentingan kelompok tertentu, merealisasikan transaksi politik, untuk apa
reshufle? Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar