Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Syafii Maarif mengaku
geram dengan berbagai kasus yang menimpa negeri ini. Dalam wawancara di salah
satu TV swasta Selasa malam (24/11), tokoh nasional itu sampai menjuluki negeri
ini sebagai Republik Garong. Kasus terakhir yang jadi sorotan
pria yang akrab disapa Buya ini adalah kasus pencatutan nama Presiden Jokowi
dan Wapres Jusuf Kalla terkait kontrak karya Freeport yang diduga dilakukan
Ketua DPR Setya Novanto. Dia mengaku sempat bertukar pikiran dengan Wapres
Jusuf Kalla, juga dengan Menteri ESDM Sudirman Said. Selain soal Freeport,
beberapa hal lainnya juga dibahas. Membahas negara, tentang bangsa yang lesu, segala macam. Bahkan saya dengar mulai Januari
gaji pegawai mulai meningkat. Sementara kelakuan sebagian politisi ini tidak
pernah berubah, jelas Buya. Saking
kesalnya melihat kondisi itu, Buya sampai mengusulkan pergantian nama menjadi
Republik Garong Indonesia. Apa kita ganti saja nama Republik Indonesia menjadi
Republik Garong Indonesia, tegasnya.
Buya Syafii pun mengomentari desakan mundur
terhadap Novanto. Dia menyebut, Jokowi dan Jusuf Kalla sudah marah sekali.
Sebab itu, lebih baik yang bersangkutan mundur saja.
Apa yang disampaikan Buya Syafii Maarif merupakan ungkapan kemarahan dan keputusasaan
melihat kondisi negara saat ini. Dan
kemarahan seperti itu wajar terjadi. Soalnya, bukan saja karena banyaknya kasus
yang menerpa. Tetapi, tidak ada upaya menyelesaikan kasus-kasus itu. Sebagai
contoh kasus pencatutan nama presiden dan wapres dari hari ke hari terlihat
semakin kabur, melebar tak jelas. Tidak terlihat upaya penyelesaiannya.
Terlihat, orang malah ramai-ramai membelokkan ini kepada Sudirman Said, sang
pelapor. Padahal,
masalah sangat terang benderang pencatutan nama itu dilakukan.
Korupsi menggurita
Ungkapan Buya Syafii adalah puncak kekesalan,
kekecewaan, kemarahan kita semua bangsa Indonesia. Saya yakin apa yang
dirasakan oleh Buya, kita merasakannya. Kekecewaan pada kondisi bangsa dan
negara. Kekecewaan pada prilaku penyelenggara negara, para pemimpin bangsa yang
tidak berubah, membaik bahkan lebih gila lagi. Mereka lebih serakah, rakus,
menghalalkan segala cara. Etika dan karakter mereka berada pada titik nadzir.
Reformasi yang digulirkan tujuh belas tahun silam tak dapat merubah mental para
petinggi negeri. Korupsi merajalela, dan telah menggurita.
Menurut
data yang ada, dari 175 negara di dunia pada 2014 oleh transparency.org. Indonesia menduduki peringkat
12 terkorup se-Asia dan peringkat 107 Negara bebas korupsi (dari 175 negara).
Sangat disayangkan, dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia (peringkat 50
dunia negara bebas korupsi) atau Singapura (peringkat 7 dunia negara bebas
korupsi), korupsi di Indonesia sangat memprihatinkan. Peringkat Indonesia
sebagai negara terkorup sendiri bisa dilihat dari presepsi masyarakat
Internasional dan Nasional. Dalam sepuluh tahun terakhir, Transperancy
Internasional (TI) menempatkan Indonesia dalam kelompok negara terkorup di
dunia. (http://www.Republika.com)
Mengguritanya
korupsi di Indonesia dapat terbaca dengan kasat mata dari hal-hal berikut, pertama, korupsi wakil rakyat. DPR menjadi sarang korupsi. Terakhir, DPR
diketahui sebagai tempatnya para makelar proyek-proyek negara. Berdasarkan
survei lembaga kajian non profit Populi Center, DPR diyakini oleh rakyat
sebagai lembaga negara terkorup (39,7%) disusul Polri (14,2%). Survei yang
dilakukan awal tahun ini tersebut menunjukkan rendahnya kepercayaan publik
terhadap DPR, juga partai politik. (http://www.cnnindonesia.com/)
Kedua,
desentralisasi korupsi ke daerah. Otonomi daerah yang memiliki dasar hukum UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah, diperbaharui melalui
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Otonomi daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Namun otonomi
daerah telah membuka peluang yang sangat lebar terjadinya desentralisasi
korupsi. Prof. Wihana Kirana Jaya, Msoc.Sc., Ph.D. dalam pidato pengukuhannya
sebagai Guru Besar dalam Ilmu Ekonomi di UGM (2010) mengatakan bahwa sejumlah
studi yang dilakukan terhadap negara maju dan berkembang menunjukkan bahwa
penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah di satu sisi telah mendorong
terciptanya akuntabilitas anggaran, namun di sisi lain juga membuka peluang
yang sangat besar bagi terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dan ini sudah nyata, terbukti di Indonesia.
Banyak kepala daerah menjadi pesakitan KPK lantaran korupsi.
Ketiga,
upaya pelemahan dan pembubabaran KPK. Terakhir Rancangan
UU revisi KPK disebut-sebut oleh
berbagai kalangan sebagai pelemahan, pengerdilan kewenangan KPK. Bahkan
khalayak ramai menyebutnya sebagai pencabutan nyawa KPK. RUU revisi KPK ibarat
pisau yang memutus urat nadi KPK. Itu terlihat dari pencabutan hak penyadapan,
penyelidik dan penyedik harus dari kepolisian atau kejaksaan, diberikanya
kewewnangan SP3, usia KPK dibataasi 12 tahun dan lainnya. Untungnya, revisi ini
ditunda. Tapi upaya-upaya ke arah itu masih terasa seperti mengulur-ulurnya
test uji kelayakan pimpinan KPK oleh DPR hingga sekarang. Padahal Presiden
sudah mengajukannya beberapa bulan yang lalu.
Revolusi
sebagai solusi
Menurut hemat saya, sulusinya tiada
lain kecuali revolusi. Reformasi yang digagas dan disepakati oleh rakyat
Indonesia tahun 1998 terbukti tak mampu memberangus dan memberantas korupsi.
Kita perlu revolusi di berbagai bidang untuk memusnakan korupsi dari bumi
pertiwi. Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok
kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi
dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan
tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan
sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama. (https://id.wikipedia.org)
Kalau Jokowi telah menggagas revolusi
mental, sampai sekarang gagasan itu berjalan di tempat karena tidak ada
kesadaran serta kemauan dari kita semua.
Kita sulit diajak berubah. Revolusi mental tak cukup. Banyak hal yang harus
direvolusi. Diantaranya, Pertama, revolusi birokrasi. Kaitan dengan ini, Fathir Sidiq (2013)
berokrasi memerlukan revolusi mind set dan revolusi culture. Revolusi mind set
mengubah paradigma kerja birokrasi dari apa yang disebut ABS (Asal Bapak Senang)
menjadi pelayanan prima yang menomersatukan publik. Revolusi culture terkait
dengan disiplin dan etos kerja, disiplin waktu, serta profesionalitas. Di
samping itu, kiranya perlu membongkar semua peraturan tata kerja organisasi dalam
birokrasi yang berpotensi tindak korupsi.
Kedua,
revolusi sistem politik dan demokrasi. Pemikiran membubarkan partai politik
dalam demokrasi Indonesia nampaknya bukan menjadi gagasan aneh lagi. Pasalnya,
partai politik selama ini tak mampu mencetak politisi bersih berkarakter. Kita
harus memformat ulang sistem demokrasi, tanpa partai politik. Ke depan bisa
saja anggota dewan dipilih langsung perorangan, atau melalui test layaknya
perekrutan PNS.
Ketiga, revolusi hukum. Kaitan dengan hukum, yang paling
urgent adalah memberatkan hukuman. Bagi korupsi, hukuman mati layak
diberlakukan. Selama ini hukuman terhadap koruptor sangat ringan. Selain itu,
pengurangan masa tahanan atau yang semisalnya harus dihapus.
Walhasil, revolusi birokrasi, revolusi sistem politik dan revolusi
hukum menjadi pilihan yang harus diambil dalam memberantas korupsi. Korupsi yang
telah menggurita seperti sekarang tidak akan berkurang dengan reformasi. Hanya
revolusi solusinya. Bila pilhan itu tidak diambil, ke depan Indonesia akan betul-betul menjadi Republik Garong. Semoga tidak. Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar