Politisi
adalah sebutan untuk aktor atau pelaku politik. Politikus atau politisi adalah seseorang yang
terlibat dalam politik,
dan kadang juga termasuk para ahli politik.
Politikus juga termasuk figur politik yang
ikut serta dalam pemerintahan. Dalam demokrasi Barat,
istilah ini biasa terbatas kepada mereka yang menjabat atau sedang mencoba
mendapatkannya daripada digunakan untuk merujuk kepada para ahli yang
dipekerjakan oleh orang-orang yang tersebut di atas. Perbedaan seperti ini
tidak begitu jelas jika berpedoman pada pemerintahan yang non-demokratis. Dalam
sebuah negara,
para politikus membentuk bagian eksekutif dari
sebuah pemerintah dan kantor sang pemimpin negara serta
bagian legislatif,
dan pemerintah di tingkat regional dan lokal. (https://id.wikipedia.org/wiki/Politikus)
Makelar dalam bahasa lain calo, biasa dipahami sebagai
perantara yang memfasilitasi kebutuhan kita. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, makelar diartikan sebagai pedagang perantara yang menghubungkan pedagang satu dengan
yang lain dalam hal jual beli atau antara penjual dan pembeli (saham dan
sebagainya); cengkau; makelar; pialang. Istilah makelar lazim digunakan dalam
dunia dagang atau bisnis, tetapi tak menutup kemungkinan istilah itu digunakan
pada hal-hal lain seperti politik.
Dua
kata di atas sekarang menjadi pembicaraan ramai rakyat Indonesia. Pasalnya ada
dugaan kuat seorang politisi berpengaruh telah melakukan tindakan makelar dalam
upaya proses perpanjangan kontrak PT Preport. Adalah Menteri ESDM, Sudirman Said orang yang
melempar isu panas tersebut. Sudirman menyebutkan, ada upaya tindakan makelar dari seorang
politisi kuat Indonesia dalam usaha
perpanjangan kontrak PT Preport. Tidak cukup hanya itu, yang bersangkutan pun
mencatut nama presiden dan wakil presiden. Dengan menjanjikan akan menjamin
perpanjangan kontrak, sang politisi meminta jatah sebagai fee atas jasanya.
Angka yang dipatok sangat fantastis yakni 20 persen, dikatakannya 11 persen
untuk presiden dan 9 persen untuk wakil presiden. Bila diperkirakan (pada tahun 2014) nilai total
saham PT Preport sebesar Rp. 500 Trilyun, maka nilai 20% yang diminta itu
senilai Rp.100 Trilyun. Luar biasa, sebuah percaloan maha dahsyat.
Kemaren Senin 16 Nopember 2015, Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said melaporkan politisi DPR yang
disebutnya mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla kepada PT Freeport Indonesia. Laporan
itu disampaikan Sudirman kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (DPR). Menurut
Sudirman, berdasarkan informasi yang diterimanya, politisi itu telah beberapa
kali menemui pihak Freeport dengan sejumlah pengusaha lain untuk membicarakan
mengenai persoalan perpanjangan kontrak.
Pertemuan dilakukan sebanyak tiga
kali. Politisi itu meminta saham 20 persen dengan menjanjikan proses
renegosiasi kontrak Freeport berjalan mulus. Menurut Sudirman, janji itu
disampaikan politisi tersebut pada pertemuan ketiga yang digelar di salah satu
hotel di kawasan Pacific Place SCBD, Jakarta, pada 8 Juni 2015 antara pukul
14.00 WIB hingga 16.00 WIB. Tak hanya itu, menurut Sudirman, politisi itu juga
meminta agar diberi saham suatu proyek listrik yang akan dibangun di Timika dan
meminta PT Freeport menjadi investor sekaligus pembeli tenaga listrik yang
dihasilkan dari proyek tersebut.
Di depan wartawan, usai melapor ke
MKD DPR RI, Sudirman enggan menjawab,
menyebut siapa pelaku pencatut nama presiden sekaligus makelar perpanjangan
kontrak preport itu. Sudirman beralasan untuk asas yang baik, nama itu sudah
dilaporkannya ke MKD. Namun di tempat terpisah, dalam sebuah acara televisi,
Sudirman tak membantah ketika dikonfirmasi bahwa pelakunya adala Setya Novanto Ketua DPR RI.
Setya Novanto sendiri dalam berbagai
kesempatan, jauh sebelum Sudirman Said melapor ke MKD, telah menolak dugaan
adanya anggota DPR yang mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden dalam upaya
perpanjangan kontrak PT Preport. Seakan ia sudah mengetahui bahwa dirinya yang akan
menjadi tertuduh. Pembelaan secara dini seperti ini yang dipertanyakan oleh
publik, ada apa sebenarnya dengan Ketua DPR?
Nasib
dan martabat bangsa
Berita
di atas tentu sangat mengejutkan. Selama ini sebagian politisi memang kerap
mempermainkan segala untuk mengejar kepentingan, termasuk nasib bangsa yang
menjadi taruhan. Tapi kali ini berbeda, permainan mereka disertai mencatut nama
Presiden dan wakil presiden. Menjadi rahasia umum, banyak politisi menjadi makelar.
Tapi tidak lazim, bila sekelas Ketua DPR yang melakukannya, secara langsung lagi. Kalau berita di atas sebuah kebenaran (baca:fakta) tentu
menyedihkan, mengecewakan semua rakyat yang diwakilinya, terutama
saudara-saudara kita di Papua.
Tidak
sekadar mempermainkan nasib bangsa, lebih jauh, menurut hemat saya, Ketua DPR Setya Novanto juga telah merendahkan martabat Presiden
Republik Indonesia. Padahal Presiden adalah simbol negara dan bangsa. Jokowi
menjadi Presiden setelah menerima mandat dari rakyat. Oleh karena itu pencatutan nama Presiden merupakan pelecehan
kepada bangsa dan negara. Artinya bila Setya Novanto, sang Ketua DPR yang terhormat
itu terbukti melakukan pencatutan nama terhadap Presiden berarti ia telah melecehkan martabat bangsa, menjual negaranya.
Setya Novanto berpesta-pora di atas kemelaratan dan kemiskinan rakyatnya.
Sungguh perbuatan yang sangat tidak terpuji, sangat menyakitkan hati. Tak
pantas dilakukan oleh orang terhormat sekelas Ketua DPR.
Sekarang
bola panas berada di tangan MKD DPR.
Mampukah MKD bertindak tegas? Mampukah MKD berbuat adil? Melihat pengalaman
sebelumnya, nampaknya kita harus siap kembali dikecewakan. MKD DPR tak akan bisa
berbuat banyak. Mereka kerap kali tak berani menjatuhkan sanksi yang memadai,
sesuai persoalan yang diadukan kepada teman sejawat sesama anggota dewan.
Terlebih lagi terkait dengan sepak terjang pimpinan DPR RI. Terbukti persoalan
dugaan pelecehan martabat bangsa dan negara terkait kehadiran Ketua DPR bersama
rombongan dalam sebuah acara kampanye
bakal calon Presiden Amerika Donal Trumph beberapa waktu lalu hanya dijatuhi
hukuman ringan. Padahal panggilan MKD DPR tak pernah dihadiri, tak pernah digubris
oleh yang bersangkutan.
Jika
MKD tak bisa diandalkan, maka salayaknya Presiden dan Wakil Presiden membawanya
ke jalur hukum. Sepantasnya mereka berdua melaporkannya ke kepolisian. Polri
pasti siap memproses. Ini pembelajaran buat semua, bahwa hukum harus ditegakan.
Hukum harus adil, tidak tebang pilih. Semua orang sama di mata hukum. Presiden
harus memberi contoh bahwa penyelesaian terbaik adalah di depan hukum.
Akhir
kata, politisi idealnya bukan makelar. Kalaupun harus menjadi makelar, maka
jadilah makelar rakyat. Yakni makelar yang menghubungkan rakyat dengan
kesejahteraannya. Bukan makelar yang justru mempermainkan, memjual nasib rakyat
pada pihak asing untuk meraih kepentingan pribadi. Wa Allahu Alam
(Tulisan ini dimuat di Harian Umum Radar Cirebon Rabu 18 Nopember 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar