Broker adalah kata lain dari makelar.
Makelar dalam bahasa lain calo, biasa dipahami sebagai perantara yang
memfasilitasi kebutuhan kita. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Broker
diartikan sebagai pedagang perantara
yang menghubungkan pedagang satu dengan yang lain dalam hal jual beli atau
antara penjual dan pembeli (saham dan sebagainya); cengkau; makelar; pialang.
Istilah broker lazim digunakan dalam dunia dagang atau bisnis, tetapi tak
menutup kemungkinan istilah itu digunakan pada hal-hal lain seperti politik.
Sekarang apa hubunganya dengan Jokowi?
Presiden Jokowi dituding menggunakan jasa broker untuk mengatur pertemuannya
dengan presidesn Barack Obama. Jokowi menggunakan jasa Pereira International
Pte, sebuah perusahaan konsultan politik asal Singapura. Konon, untuk urusan
jasa terebut, pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Luar Negeri harus
membayar 80 ribu dolar AS atau sekitar 1.08 milyar rupiah. Luar biasa, itu
bukan angka yang sedikit.
Adalah Michael Buehler, dosen Ilmu Politik Asia
Tenggara di School of Oriental and African Studies di London yang pertama kali
menyebut permasalan tersebut, yang bisa menjadi skandal besar bila terbukti. Michael
Buehler menulis artikel berjudul 'Waiting In The White House Lobby”. Seperti dilansir New Mandala
http://asiapacific.anu.edu.au, Jumat, (6/11/), Michael Buehler,
mengungkap adanya perjanjian jasa yang dibuat tanggal 8 Juni 2015. Perjanjian itu tercatat di Departemen
Kehakiman AS di bawah aturan Forign Agent Registration Act (FARA) pada 17 Juni
2015. Dalam perjanjian, mengungkap adanya kerja sama perusahaan konsultan
Singapura bernama Pereira
International Pte LTD dengan PR asal Las Vegas, R&R Partners Inc. Dalam
dokument tersebut terungkap adanya kerja sama
dengan nilai kontrak 80 ribu dolas AS. Perjanjian itu sendiri
ditandatangani oleh Sean Tonner sebagai Presiden R&R Partners Inc dan
Derwin Pereira mewakili Pereira International Pte LTD.
Kaitan dengan di atas, Kementerian
Luar Negeri, yang disampaikan langsung oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, telah
membantah semuanya. Meski mengakui jika menyusun kunjungan bilateral sulit, namun Retno Marsudi menegaskan pemerintah Indonesia tidak pernah
menggunakan broker. Kementerian luar negeri telah berkordinasi dengan lembaga
terkait sepuluh kali. Kementerian lain juga melakukan pertemuan untuk melakukan
persetujuan MOU hasil kunjungan. Terakhir Retno Marsudi mengaku melakukan pertemuan
dengan Jhon Carry pada 22 September, untuk membicarakan tujuan kunjungan pada
tanggal 26 Oktober tersebut.
Retno Marsudi, bahkan mengaku telah memimpin rapat persiapan kunjungan selama
tiga kali pada level menteri di tanah air. Itu dilakukan pada tanggal 17 November,
07, 17 Oktober 2015.
Bantahan
serupa juga telah disampaikan oleh Duta
Besar RI untuk Amerika Serikat Budi Bowoleksono. Menurutnya, pertemuan itu telah direncanakan jauh
hari. Berawal dari pertemuan pertama Presiden Jokowi dan Presiden Obama terjadi
di Beijing saat APEC 2014 dan sejak saat itu Presiden Obama telah mengundang
Presiden Joko Widodo ke AS. Selain itu, Presiden Obama melalui surat resmi
tertanggal 16 Maret 2015 disampaikan kepada Presiden Jokowi, mengundang secara
resmi untuk berkunjung ke Amerika Serikat. Jokowi pun membalas surat
tersebut pada tanggal 19 Juni 2015,
menyatakan kesediannya, berkunjung ke Washington DC pada tanggal 26 Oktober 2015, setelah kedua negara
menyepakati waktu yang sesuai bagi Kedua Kepala Negara.
Pihak KBRI
telah mengonsultasikan dengan Menteri Luar Negeri dan kepala staf Kepresidenan
yang kemudian menjadi Menko Polhukam agar kunjungan Presiden RI dapat
menghasilkan hal-hal konkret baik yang bersifat strategis maupun komitmen
bisnis sesuai kepentingan nasional Indonesia. Dari situlah kedua kepala negara
ini menyepakati waktu kunjungan di Gedung Putih pada 25-27 Oktober 2015. Selain
itu, Budi
Bowoleksono menegaskan, sejak November 2014, sesuai instruksi Menlu RI,
KBRI Washington DC telah mempersiapkan kunjungan Presiden RI ke AS baik
menyusun program maupun memastikan hasil yang konkrit dari kunjungan tersebut. (http://www.republika.co.id/)
Catatan untuk kita
Mengamati
perkembangan politik di atas, ada beberapa catatan kecil yang dapat dijadikan
bahan pertimbangan berpikir dan bersikap kita semua, pertama, sikap kritis. Kritis terhadap setiap informasi yang
diterima. Jangan menerima mentah-mentah setiap informasi yang ada. Apalagi, ini
ranah politik. Banyak kepentingan di dalamnya. Kepentingan bisa datang dari
dalam atau luar negeri. Dari dalam, seperti kita ketahui, Jokowi setiap saat
menjadi sasaran tembak oleh lawan politiknya dari barisan KMP. Dari luar,
posisi Indonesia yang cendrung lebih terbuka terhadap Rusia dan Cina dibanding
Amerika Serikat tentu menjadi persoalan tersendiri. Di sini kejernihan berpikir
dbutuhkan. Mengedepankan rasio dari
emosi berlebihan baik karena cinta buta atau kebencian membara terhadap sosok
Presiden Jokowi. Karena akhir-akhir ini, saya melihat (terutama di media
sosial), bangsa kita terbelah mejadi pecinta dan pembenci Jokowi. Efek negatif
Pilpres setahun yang lalu nampaknya belum hilang sepenuhnya.
Kedua, selama ini, Presiden Jokowi
sangat anti terhadap hal-hal yang bersifat percaloan, makelar, mafia dalam
pemerintahannya. Jokowi berusaha keras membrantas setiap mafia. Mafia migas,
mafia import, mafia hukum, dan lainnya
semua dibrangus. Petral, yang diyakini sebagai mafia atau broker dalam tubuh
Pertamina yang merugikan telah ditutup. Import dibatasi karena disinyalir
banyak mafia atau broker di dalamnya. Melihat latar belakang hal di atas
rasanya sulit dipercaya Jokowi menggunakan jasa broker dalam pertemuannya
dengan Presiden Barack Obama, kecuali
Jokowi sudah berubah. Atau hal
itu dilakukan oleh bawahannya, tanpa sepengetahuannya. Jokowi juga terlihat
berupaya berdiri sejajar dengan bangsa lain termasuk Amerika Serikat sampai
orang yang bersebrangan denganya menganggapnya sebagai kecongkakan dan kesombongan.
Ketiga, menggunakan jasa broker jelas
merendahkan martabat bangsa dan negara. Saya yakin, semua dari kita menyepakati
hal itu. Kemudian menggunakan jasa broker bertentangan dengan sikap politik
luar negeri Indonesia yang seharusnya, sesuai dengan UUD 1945. Politik luar
negeri bebas aktif jelas tidak tercermin dalam
pilihan menggunakan jasa broker seperti itu.
Keempat, mewaspadai setiap usaha memecah
bela. Isu atau persoalan Jokowi dan broker berpotensi memecah bela persatuan
dan kebersamaan kita semua sebagai bangsa. Isu seperti ini tidak harus membuat
kita semua menjadi gaduh.
Walhasil, Jokowi dan broker sekarang menjadi top isue
di pentas publik Indonesia. Persoalan apakah keduanya ada keterkaitan dalam
pertemuan Jokowi dan Barack Obama pada 26 Oktober lalu hanya waktu yang akan
membuktikan. Yang pasti, siapa pun kita pasti akan menolak apa yang disebut
broker, mafia, atau istilah lainnya.Wa
Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar