Pimpinan DPR
kembali berulah. Ulah mereka laksana dagelan, mengundang tawa setiap yang
melihatnya. Dalam rapat paripurna, Jumat 30 Oktober 2015, sebelum dimulai
pemimpin sidang mengajak peserta untuk menggunakan masker sebagai bentuk
kepedulian pada bencana asap yang menimpa di sebagian besar Sumatera dan
Kalimantan. Seluruh pimpinan dewan mengenakan masker, bahkan saat menyanyikan
lagu Indonesia Raya. Sebagian anggota memprotes, meminta melepas masker mereka.
Protes dari anggota tak dihiraukan oleh para pemimpin dewan yang terhormat itu.
Menanggapi
protes anggota, Ketua DPR RI, Setya Novanto langsung berbicara. Ia menyatakan
bahwa aksi mengenakan masker ini merupakan bentuk solidaritas dari DPR. Aksi ini
sama halnya dengan menggalang sumbangan melalui kotak yang disediakan di depan
ruang rapat paripurna atau melalui transfer ke bank BUMN. Setelah mendapat
penjelasan, peserta rapat paripurna menghentikan interupsinya. Agenda rapat
paripurna dilanjutkan dengan pergantian antarwaktu anggota DPR.
Sikap tak
dewasa seperti ini bukan pertama kali dilakukan oleh para wakil rakyat di
gedung DPR. Karenanya, Mantan Presiden Abdurrahman Wahid pernah menyebut
anggota dewan sebagai anak TK yang manja, kekanak-kanakan. DPR nampaknya belum
banyak mengalami perubahan. DPR sekarang hanya lincah bermain politik,
bersandiwara, membohongi rakyat. Kinerja mereka sangat rendah. Sedangkan
tuntutan mereka banyak.
Bagi saya
orang awam, ulah para anggota dewan di atas dapat dipahami sebagai hal-hal
berikut: pertama, menguatkan dugaan bahwa mereka telah
mempolitisasi bencana. Apa yang diungkapkan oleh para pengamat, ada politisasi
asap ternyata benar. Politik asap dijadikan alat untuk menekan, menjatuhkan
kewibawaan pemerintahan Jokowi-JK. Presiden Jokowi sendiri, saat melakukan
kunjungan ke Jambi beberapa waktu lalu, mengatakan bahwa lahan gambut
yang terbakar di beberapa daerah khususnya Jambi karena faktor kesengajaan.
Kemudian pertanyaanya, siapa yang membakar? Beberapa kalangan sebenarnya telah
mendesak pemerintah untuk membuka pelaku utama di balik pembakaran hutan yang
sedang di proses oleh penegak hukum, dalam hal ini kepolisian.
Kedua, DPR hanya pandai beretorika. Ini terlihat dari usulan mereka
membuat pansus soal asap. Pansus, menurut hemat saya hanya akan banyak membuang
waktu, plus anggaran. Daripada membentuk pansus lebih baik DPR mempelajari,
mengkaji berbagai perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan
pembakaran lahan yang dinilai menghambat pemadaman api, atau yang mendorong
perluasan area. Kemudian DPR merubahnya sehingga dapat membantu
pemerintah menyelesaikan masalah. Pansus dikwatirkan hanya akan
mendatangkan kegaduhan politik. Kaitan dengan hal ini , Wapres Yusuf
Kalla menegaskan, pansus hanya akan menghabiskan waktu para menteri dengan
memenuhi panggilan Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal, menurut Kalla, banyak
pekerjaan yang harus dilakukan para menteri terkait penanganan bencana asap.
Ketiga, menunjukkan bahwa DPR gagal paham. Artinya DPR tak mampu bersikap
dan bertindak secara benar terkait permasalahan asap. Apa yang dilakukan DPR
seperti demo mahasiswa yang tak memiliki kewenangan apa-apa. DPR lembaga tinggi
negara yang memiliki fungsi, tugas, peran yang strategis dalam
pemerintahan bersama pemerintah. DPR harusnya dapat melakukan lebih dibanding
sekadar memakai masker, sebagai ungkapan kepedulian. Ini persis seperti demo
mahasiswa yang mengangkat kranda ketika menggugat matinya demokrasi misalnya.
Keempat, DPR hanya pandai mengkritik, tak mampu memberikan solusi. Kritik
harusnya dibarengi dengan solusi. Berteriak-teriak mengkritik tak akan
menghasilkan, merubah apa-apa jika tak dibarengi solusi yang jitu, yang
diharapkan menjadi jalan keluar dalam menghadapi masalah.
Kelima, melihatnya sebagai dagelan. Dagelan politik yang tak membawa
perubahan bagi rakyat. Paling, hanya bisa membuat mereka tertawa. Menertawakan
wakilnya di gedung DPR. Dagelan seperti itu sering kita saksikan, yang hanya
mendatangkan polemik. Dagelan yang mirip dengan sandiwara politik.
Keenam, politik pencitraan. Biasanya ini dituduhkan oleh mereka ke Pak
Jokowi. Tapi kali ini, justru mereka yang sedang melakukan pencitraan. Seakan
mereka merasakan apa yang dirasakan rakyat. Masyarakat Sumatra dan Kalimantan
memakai masker, mereka juga pakai. Hanya bedanya, rakyat memakai di tengah
hamparan asap yang menyesakkan napas, sementara anggota dewan memakainya di
gedung ber-AC. Memang jauh berbeda, sejauh langit dan sumur. Bisa jadi ini
sebenarnya sebuah pelecehan. Pelecehan wakil rakyat terhadap rakyat yang
diwakili. Masyarakat Kalimantan dan Sumatera pasti geli melihat tindak-tanduk
mereka.
Pakailah masker di
lokasii bencana
Oleh karena
itu, agar masker tidak mubadzir karena terlanjur dibeli, alangkah baiknya bila
DPR memakainya di lokasi bencana. Kunjungi, pelajari permasalahannya kemudian
kaji lebih dalam, serta mencarikannya solusi. Rumusan solusi segera disampaikan
ke pemerintah. Dan pemerintah mustinya tidak mengabaikan, melainkan
menjalankannya.
Saya tertarik
dengan seruan, Ruhut Sitompul, politisi partai Demokrat yang mengajak anggota
dewan lain untuk terjun ke lapangan agar mereka memahami permasalahan. Saya
melihat sangat terpuji, jika sekali-kali para anggota dewan terhormat
berpanas-panasan, merasakan sesak napas karena asap untuk mendapatkan pemahaman
yang tepat terhadap permasalahan yang dihadapi rakyatnya. Toh, mereka wakil
rakyat.
Ruhut yang
mengaku sudah bolak-balik ke Kalimantan dan lokasi bencana lainnya menilai,
turun ke lokasi bencana jauh lebih efektif untuk membantu masyarakat dan
pemerintah, dibanding pembentukan pansus atau sekadar memakai masker di dalam
gedung DPR.(http://nasional.kompas.com/)
Akhir kata,
memakai masker dalam rapat paripurna bukanlah solusi masalah. Hal itu tidak
akan merubah kedaan. DPR harus membuktikan lebih jauh, bahwa mereka serius
ingin membantu pemerintah dan rakyat menyelesaikan permasalahan asap.
Keseriusan mereka akan ditunggu oleh rakyat. Apa aksi konkrit mereka setelah
memakai masker dalam rapat paripurnah tersebut. Aksi tersebut akan menentukan
apakah kepedulian mereka serius atau sekadar dagelan, sandiwara politik belaka.
Rakyat sekarang hanya bisa menonton. Tapi Rakyat pasti akan menghukum mereka
lima tahun mendatang dalam pemilu jika amanat yang diberikan tak mampu
diemban.Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar