Beberapa hari lalu rakyat telah
menyaksikan akrobatik politik tingkat tinggi di gedung DPR RI. Sidang etik MKD
yang menjadi sorotan tajam publik maenjadi bukti betapa kuatnya Setya Novanto
(SN). Terlihat dengan kasat mata, betapa SN tidak saja menguasai anggota dewan
(baik KMP atau KIH), bahkan sekretariat Dewan pun berada di tangannya. Pengawalan
ekstra ketat dilakukan oleh pengawalan dalam DPR saat SN masuk dan keluar
ruangan. Sidang etik dengan teradu, SN yang diharapkan publik dilakukan terbuka
diputuskan tertutup. Wakil ketua MKD, Junimart
Girsang mengatakan, sidang digelar tertutup kaarena permintaan teradu. Rakyat
kembali dikecewakan. Kekecewaan dan kemarahan rakyat bisa diamati dari ungkapan
para tokoh nasional seperti Syafii Marif, mantan ketua Muhammadiyah, Gus Solah,
pengasuh Pesantren Buntet Jombang, juga Romo Benny Susetyo,
Apa yang dirasakan rakyat ternyata
dialami juga oleh Presiden Jokowi. Kekecewaan dan kemarahan Jokowi terlihat
jelas saat diwawancarai oleh awak media di istana. Presiden mengatakan, proses
yang berjalan di MKD harus kita hormati, tetapi tidak boleh yang namanya
lembaga negara itu dipermainkan. Lembaga negara itu bisa kepresidenan, bisa
lembaga negara lain. Saya ngga apa dikatakan presiden gila, presiden saraf,
presiden koppig, nga apa-apa. Tapi kalau sudah menyangkut wibawa, mencatut,
meminta saham 11 persen, itu yang saya tidak mau. Ngak bisa. Ini masalah
kepatutan, masalah kepantasan, masalah etika, masalah morlitas. Dan itu masalah
wibawa negara. (http://news.detik.com/)
Ungkapan dan kata-kata Presiden
menunjukkan kemarahan besar dan kekecewaannya terhadap proses yang berjalan di
MKD terakhir. Sebuah proses persidangan etik yang mengabaikan logika sehat dan
hati nurani. Yakni persidangan yang
hanya sandiwara, dagelan politik, yang memperjelas pengkianatan dan kemunafikan
sebagian besar anggota MKD.
Baru kali ini, kita semua menyaksikan
Pak Jokowi marah. Presiden selama ini dikenal sangat sabar. Sejak menjadi
Walikota Solo, Gubernur DKI hingga Presiden RI, segala hianaan, cacian, fitnah
ditanggapinya dengan jiwa besar. Beliau hanya mengatakan ora popo. Ungkapan itu
sangat dikenal oleh masyarakat, menggambarkan kesabaran beliau selama ini.
Banyak kalangan menilai kemarahan
Presiden sebagai hal yang wajar. Karena sebelumnya Presiden sudah menegaskan
agar proses sidang etik tidak diintervensi. MKD diminta independen, berlaku
adil. Melihat persidangan terakhir, saat MKD mengadili SN sungguh jauh dari
keadilan. Ukuran yang paling sederhana dapat bisa dilihat dari bagaimana MKD
memperlakukan berbeda antara Sudirman Said, Ma’ruf Syamsuddin dan SN. MKD
sangat mengistimewakan teradu, SN. Semua keinginan SN dikabulkan. MKD telah
mengundurukan jadwal pemeriksaan dari puku 09.00 sampai pukul 13.30, menyatakan
sidang tertutup, tidak ada tanya jawab terkait rekaman. Semuanya permintaan SN.
MKD tidak bernyali sama sekali. SN diperiksa tidak kurang dari 3 jam. Sedangkan
Sudirman Said diperiksa selama 7 jam lebih, Syamsuddin Ma’ruf 12 jam lebih.
Sebuah diskriminasi yang mencolok mata.
Kemarahan Presiden Jokowi juga sangat
manusiawi. Kesabaran tentu ada batasnya. Tidak mungkin seorang akan berdiam
diri saat harkat dan martabatnya diinjak-injak, terlebih Jokowi sebagai Presiden.
Kemarahan Jokowi bukan hanya representasi dirinya, tapi lebih dari itu.
Mungkinkah seorang warga negara (apalagi presiden) berdiam diri ketika presiden
sebagai simbul negara diinjak-injak harkat dan martabatnya? Kaitan dengan ini,
Jaksa Agung, mengatakan mencatut nama Presiden sama saja dengan merusak wibawa
negara. Wajar dan manusiawi Presiden marah. Tapi, penyelidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung atas
kasus papa minta saham itu bukan karena kemarahan Presiden. Kejagung sudah
melakukannya sebelum beliau marah. Kejagung melihat, menyaksikan dari
pemberitaan media, ada dugaan pemufakatan jahat yang telah dilakukan oleh SN
dan Reza Chalid. Jadi, kasus ini bukan delik aduan, juga bukan delik perintah.(http://www.jaringnews.com/)
Bagaimana
memahaminya?
Menurut
hemat saya, kemarahan Jokowi harus dipahami sebagai berikut: pertama, kemarahan Jokowi menjadi
peringatan keras buat semua, terutama bagi para politisi. Jangan mempermainkan lembaga
negara, apalagi menginjak harkat dan martabatnya. Seperti yang ditegaskan Jimly
Asshiddiqy, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). permasalahan ini menjadi pertaruhan bangsa.
Jimly meminta agar Jokowi dan publik bersabar menanti keputusan MKD. Keseriusan MKD akan terlihat dari
keputusannya. (http://news.liputan6.com/)
Kedua,
mengisyaratkan perintah kepada penegak hukum untuk segera bertindak dan
melangkah lebih cepat dan serius terkait kasus ini. Selama ini, Kejagung sedang
melakukan penyelidikan, KPK masih memperlajari,
sedang Polri menunggu aduan. Presiden sebenarnya bisa saja langsung
melapor ke Kepolisian. Itu tidak dilakukan untuk menghindari konfrontaasi
langsung dengan Ketua DPR. Jokowi memilih
menyelesaikannya lewat jalur politik terlebih dahulu. Atau bisa jadi
karena faktor kesibukan dan padatnya jadwal dan agenda kegiatan Presiden
seperti yang ditegaskan oleh Menkopolhukam, Luhut Binsar Panjaitan. Dan kabar
terakhir, Jokowi meminta ke Polri untuk mencari jejak Reza Chalid.
Ketiga,
sebagai pembelajaran bahwa ke depan
kita semua harus menjaga simbol-simbol negara seperti Presiden, Wakil Presiden, lembaga tinggi negara,
bendera, lagu kebangsaan dan lainnya.
Keempat,
harusnya dijadikan bahan intropeksi diri oleh Ketua DPR, Setya Novanto.
Sebagai manusia yang diberi oleh Tuhan akal sehat dan hati nurani, SN mustinya
melakukan intropeksi diri. Sebab logika yang digunakan untuk melakukan
perlawanan, bantahan terhadap aduan Sudirman Said terkait kasus pelanggaran
etik jelas berlawanan dengan akal sehat dan hati nurani. Salah satu contoh, SN
berlogika bahwa perekaman yang dilakukan Ma’riuf Syamsuddin adalah ilegal
karena tidak minta izin kepada pihak yang terekam. Ini logika yang
mengada-ada. SN harusnya sadar, di
rumahnya yang super megah itu pasti ada CCTV.
CCTV itu merekam setiap orang yang mendekat, masuk rumah. Apa itu
ilegal? Dalam rekaman yang diputar di sidang MKD sebelumnya, sangat jelas peran
aktif yang bersangkutan dalam upaya lobi, meminta saham dan mencatut nama
Presiden.
Akhir kata, kemarahan Jokowi harus
dapat dipahami oleh kita semua. Kemarahan beliau mengisyaratkan betapa
seriusnya permasalahan pencatutan nama Presiden. Karenanya jangan dipermainkan.
Harkat dan martabat lembaga tinggi dan simbol negara harus dijaga, jangan
dicemari apalagi diinjak-injak. Pesan
ini harus bisa diambil oleh anggota MKD, elit politik. Jangan jual harga diri
bangsa dan negara hanya untuk mellindungi kepentingan pribadi atau kelompok. Wa Allahu Alam
Penulis adalah alumni IAIN Walisongo
Semarang, tinggal di Indramayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar