Tak dapat dipungkiri, manusia adalah
makhluk Allah yang mulia. Kemulian manusia di atas semua makhluk, termasuk malaikat. Kemulian
manusia tergambar sangat jelas sejak awal penciptaannya. Allah SWT memerintahkan
malaikat juga iblis untuk hormat kepada nabi Adam as, bapak manusia. Malaikat
menaati, iblis menolak perintah. Allah
SWT memuliakan Adam as karena telah mengajarkannya berbagai pengetahuan. Ilmu
pengetahuan yang dimiliki menjadikan Adam as lebih mulia dibanding dengan
malaikat dan iblis.
Lebih jauh, kemulian manusia
dikarenakan akal yang dimilikinya. Akal tidak dianugrahkan Allah pada makhluk
lain. Akal telah mengangkat derajat manusia. Karenanya akal harus dijaga. Tidak
berfungsinya akal akan mejatuhkan manusia pada derajat terendah. Dalam Al
Alquran dijelaskan, mereka yang memiliki mata tapi tak melihat, memilki telinga
tapi tak mendengar, memilki akal tapi tak bisa berpikir diibaratkan seperti
binatang, bahkan lebih sesat. Untuk itu, Allah SWT seringkali memperingatkan
manusia, apakah kalian menggunakan akal? Apakah kalian berpikir?
Akal
menjadi sesuatu yang sangat berharga. Keberadaannya menunjukkan keberadaan
manusia. Manusia yang tak berakal karena gila misalnya tak bisa lagi menyandang
predikat manusia, sang khalifah bumi. Akal merupakan identitas manusia yang tak
terpisahkan. Akal didefinisikan
sebagai suatu peralatan rohaniah manusia yang
berfungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu
yang kemampuannya sangat tergantung luas pengalaman dan tingkat pendidikan, formal maupun
informal, dari manusia pemiliknya. Jadi, akal bisa didefinisikan sebagai salah
satu peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk mengingat, menyimpulkan,
menganalisis, menilai apakah sesuai benar atau salah.
(https://id.wikipedia.org/wiki/Akal)
Akhir-akhir ini,
publik dipusingkan dengan “Yang Mulia”. Sebuah sebutan yang khusus ditunjukkan
kepada anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Dalam persidangan etik
dengan teradu Ketua DPR, Setya Novanto dalam kasus papa minta saham, MKD mengaharuskan pemanggilan atau penyebutan
mereka dengan “Yang Mulia”. Entah apa motivasi dan tujuannya? Bisa jadi sebagai
upaya menjaga kehormatan dan kemulian mereka secara verbal. Atau mereka sedang
mempertahankan kemanusian yang
disandang, sebagai makhluk Allah yang termulia. Walau demikian, kehormatan dan
kemulian mereka tetap dipertanyakan. Tentu bukan karena ungkapan “Yang Mulia”
yang digunakan dalam persidangan tapi lebih jauh karena prilaku, sikap, pola
pikir, logika yang dipertontonkan oleh mereka sendiri, yang jauh dari akal
sehat.
Ungkapan “Yang
Mulia” bukan saja terasa ganjil di telinga, tapi menunujukkan bentuk
feodalisme. Dan ungkapan itu sebenarnya sudah lama dihapus dari bumi Nusantara.
Seperti yang diingatkan oleh Martin Hutabarat, anggota Komisi I DPR dari Fraksi
Parta Gerindra, bahwa sebutan “Yang Mulia” itu sudah dihapus sejak 50 tahun yang lalu. Sebutan “Yang
Mulia” telah dihapus oleh MPR dengan TAP MPR Nomor XXXXI/MPRS/1966 tentang
Penggantian Sebutan “Paduka Yang Mulia” (PYM), “Yang Mulia (YM), “Paduka Tuan”
(PT dengan sebutan Bapak/Ibu/ atau Saudara/Saudari.
Keputusan yang ditunggu
Setelah kurang
lebih satu bulan, kasus perpanjangan Freeport, pencatutan nama Presiden atau
yang lebih dikenal dengan papa minta saham menjadi perhatian masyarakat, MKD
telah menggelar sidang sebanyak empat kali. Tiga kali dilakukan terbuka, satu
kali tertutup. MKD telah menyidangkan Sudirman Said sebagai pengadu, Setya
Novanto sebagai teradu, dan dua orang saksi yakni Ma’ruf Syamsuddin serta Menko
Polhukam, Luhut Binsar Panjaitan. Dalam
sidang MKD, rekaman pembicaraan Setya Novanto, Reza Chalid, dan Ma’ruf Syamsuddin yang menjadi alat bukti diperdengarkan.
Masyarakat dengan sangat jelas memahami betapa tidak etis pembicaran mereka.
Kaitan dengan
pertemuan, baik Setya Novanto maupun Ma’ruf
Syamsuddin telah mengakui, membenarkan. Bedanya, Setya Novanto menolak rekaman dijadikan alat bukti karena
dianggap ilegal. Setya Novanto juga mempertanyakan kembali legal standing pengadu.
Padahal dalam sidang sebelumnya MKD telah mendatangkan ahli bahasa untuk
meminta pendapat terkait pasal tentang pengaduan. Dan MKD telah memutuskan
untuk melanjutkan, memproses pengaduan Sudirman Said.
Sepanjang
persidangan, akrobatik politik dilakukan oleh anggota MKD. Berbagai cara, pola,
logika ditampilkan. Sebagian anggota MKD sudah tak mampu melihat kebenaran
dengan akal sehat. Logika mereka terlihat berputar-putar, mengesampingkan akal.
Pertanyaanya, mampukah MKD menggunakan akal sehatnya dalam mengambil keputusan?
Bila tidak, maka kemulian “Yang Mulia” akan menjadi bahan olok-olokan.
Rakyat dibuat gemas, kesal,
dan marah menyaksikan mereka. Kepercayaan masyarakat pada MKD khususnya atau
DPR umum berada pada titik paling rendah. Tokoh masyarakat hingga Presiden
mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya dengan cara dan logika
masing-masing. Bahkan seorang sosiolog Imam Prasejo mengungkapkannya dengan
puisi yang bernada pedas, ijinkan aku meludai wajahmu yang mulia.
Dan kemaren (16/12) menjadi
klimaknya, saat MKD mengambil keputusan. Sandiwara, akrobatik politik kembali dipentaskan, ditampilkan oleh anggota
MKD. Diawali penundaan sidang karena belum memenuhi kuorum, disusul pemecatan
Akbar Faisal dari Hanura yang sangat mencurigakan. Kemudian berbalik sikap
sebagian dari anggota MKD menunjukkan betapa sandiwara dimainkan dengan penuh
intrik, strategi saling jegal. Sandiwara, akrobatik yang mengesampingkan akal
sehat melalalikan mereka bahwa rakyat sudah cerdas. Lebih lagi keterbukaan yang
tak terbendung
Dan panggung politik pun
diakhiri dengan pengunduran diri Setya Novanto sebagai ketua DPR menjelang MKD
memutuskan sanksi yang akan diambil. Walaupun kemunduran diri Setya Novanto
dipahami oleh publik sebagai keterpaksaan karena keterdesakan, saat tak ada
pilihan lain.
Akhir kata, kemulian “Yang
Mulia” terselamatkan karena sebuah situasi dan kondisi. Ujian kemulian belum selesai terlewati oleh
MKD, situasi memutus. Setya Novanto mengundurkan diri. Akal sehat selama ini
menjadi bahan permainkan para elit politik, anggota MKD. Ini harus menjadi
pelajaran buat semua. Bahwa ke depan akal sehat, hati nurani harus jadi
panglima. Akal harus menjadi penuntun. Maka kemulian akan menyertai kita semua.Wa Allahu Alam
Dimuat di Harian Umum Radar Cirebon, Senin, 17 Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar