Beberapa hari yang lalu, saat
pembagian buku raport di sekolah, saya
menyaksikan perdebatan seorang wali murid dengan guru kelas anaknya. Orang tua
siswa menanyakan tentang rangking anaknya. Guru menjelaskan bahwa buku raport
yang sekarang tidak tercantum kolom untuk penulisan ranking. Wali siswa
tersebut keukeuh ingin mengetahui, meminta ranking anaknya. Setelah perdebatan
kecil, guru pun mengalah. Ia membongkar kembali daftar nilai peserta didiknya.
Ia menghitung, kemudian menentukan ranking anak tersebut.
Sebagian besar orang tua nampaknya
masih menggunakan paradigma lama, yang memandang perankingan itu penting.
Ranking dijadikan alat ukur untuk mengetahui posisi anak dalam kelas. Apa
termasuk yang pintar, yang bodoh atau yang biasa-biasa saja. Bagi yang sepuluh
besar, terutama tiga besar dikategorikan siswa berprestasi, pandai, cerdas.
Bagi sepuluh terakhir, dipandang sebagai
siswa bodoh. Dan yang di tengah, dianggap yang biasa saja. Dalam paradigma
pendidikan yang mutakhir itu semua tak
berlaku. Ranking dianggap tidak perlu. Ranking itu tidak manusiawi. Sekolah
yang memberlakukannya dianggap bukan sekolahnya manusia.
Di Indonesia, istilah sekolahnya manusia digagas dan
dikembangkan oleh Munif Chatib, seorang pakar dan konsultan pendidikan. Directure
Next Wordview, sebuah lembaga konsultan dan pelatihan pendidikan itu merupakan
pakar multiple intelgences. Munif Chatib telah berhasil menerapkan Multiple
Integences Researc (MIR) di Indonesia. Lulusan pertama studii Distance Learning
di Oceanside California USA yang dipimpin Bobbi DePorter itu bertekad untuk
merubah sekolah-sekolah Indonesia dari sekolahnya robot menjadi sekolahnya
manusia.
Sekolahnya manusia ialah sebuah istilah untuk sekolah-sekolah yang
secara sungguh-sungguh menyelenggarakan pendidikan dan pembelajaran anak secara
manusiawi atau tegasnya sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusian universal.
Sekolah yang menawarkan kebahagian peserta didik dalam kelas karena guru dan
metode yang digunakan sangat menyenangkan, tidak menjenuhkan apalagi
menyulitkan. Sekolah yang menghargai semua bakat yang dimiliki peserta. Sekolah
yang memperlakukan peserta didik secara sama., tidak membedakan satu dengan yang
lain. Tidak membedakan yang bodoh dengan
yang pandai karena sekolahnya manusia beranggapan bahwa semua anak pandai dan
cerdas sesuai bakatnya masing-masing. Sekolah yang semua elemen di dalamnya
membawa pesan dan spirit yang merangsang semangat belajar peserta didik. Lantas
bagaimana kriteria atau ciri sekolahnya manusia itu? Berikut beberapa hal yang
membedakan sekolahnya manusia, pertama,
sekolahnya manusia meyakini bahwa setiap peserta didik memiliki kecerdasan
majemuk mengikuti teori multiple intergeces. Sebuah teori yang terakhir di kembangkan
oleh Dr Howard Gardner (1983), pemimpin Project Zero Harvard University yang
telah mengubah makna kecerdasan dari pemahaman sebelumnya. Perubahan itu
terlihat jelas pada tiga paradigma mendasar yaitu : 1)Kecerdasan tidak dibatasi
oleh tes formal. Sebab setelah diteliti ternyata kecerdasan itu selalu
berkembang dinamis, tidak statis.Tes yang dilaksanakan saat ini pasti tidak
mencerminkan kecerdasaanya sebulan, setahun mendatang dan seterusnya. 2)Kecerdasan
itu multidemensi dan selalu berkembang. Sampai saat ini Dr Howard Gardner telah
menemukan 9 ranah kecerdasan. Berikut diantaranya kecerdasan Linguistik,
kecerdasan logis matematis, kecerdasan spasial visual, kecerdasan musik,
kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, Kecerdasan kinestetis,
kecerdasan naturalis. 3)Kecerdasan itu sebuah proses discovering ability.
Kecerdasan lebih dititikberatkan pada proses untuk mencapai kondisi akhir
terbaik. Kadang seoarang menemukan kondisi akhir terbaiknya di saat usia sudah
tidak mudah lagi. Penulis novel terbaik dunia, J.K Rowling menemukan kondisi
terbaiknya sebagai penulis pada usia 43 tahun. Sementara Sayyid Muhamad Husein
Thabathaba’i dari Iran menemukan kondisi terbaiknya dalam menghafal dan
memahami makna Al quran pada usia 5 tahun. Ia memperoleh gelar dokter
kehormatan Al Quran dari salah satu universitas di Inggris pada usia muda, 7 tahun.
Sekolahnya
manusia memeperlakukan semua anak didiknya sebagai sang juara di bidang dan
sesuai bakatnya masing-masing. Tugas guru dan sekolah untuk menggali,
menemukan, serta mengembangkan bakat
(baca:kecerdasan yang dimiliki) setiap anak. Kemudian mengantarkannya pada
kondisi terbaiknya. Bagi sekolahnya manusia tidak ada siswa bodoh.
Kedua,
di sekolahnya manusia gurunya merupakan the best teacher. Yaitu para pendidik
dan pembimbing yang berperan sebagai fasilitator dan katalisator, memperlakukan
peserta didik sebagai subyek bukan obyek serta melaksanakan proses belajar
mengajar dengan the best proccess. Yakni proses belajar mengajar yang berkualitas dan menyenangkan untuk semua
kondisi dengan multi strategi. The best teacher adalah guru-guru yang terbebas
dari virus 3 T yaitu 1)Talking time,
guru yang menggunakan metode ceramah sepanjang masa, tidak pernah menggunakan metode lain. Guru yang
menyelenggarakan pembelajaran searah dari guru ke murid. Guru yang menghabiskan
80% jam pelajaran, sedang sisanya
diberikan ke peserta didik untuk mengerjakan latihan, menulis PR. Peserta didik
tidak diberi keluasaan untuk berbicara, beraktivitas. 2) Task analysis, guru
yang mengajar langsung ke materi, tidak
terbiasa menjelaskan kegunanaan, penerapan, atau urgensi materi yang
akan diajarkan dalam kehidupan sehari-hari. Contoh, semua dari kita mungkin
bisa mengerjakan soal tentang pohon faktor, tapi bila ditanya untuk apa pohon
faktor itu? Kita tak bisa menjawab. Kerena guru kita dulu tidak menjelaskannya.
3) Traking, yaitu mengelompokkan siswa berdasarkan kemampuan kognitifnya.
Contoh, kelas terbagi ke A, B, C. Kelas buat mereka yang pandai, kelas B yang
sedang, kelas C yang bodoh. Contoh lain adalah kelas akselerasi yaitu kelas
khusus yang diperlakukan berbeda dengan kelas lainnya.
Ketiga,
sekolahnya manusia memperlakukan peserta didik secara sama. Tidak dibedakan
antara yang kaya dan yang miskin, antara yang pandai dan yang bodoh. Di
sekolahnya manusia tidak mengenal ranking bagi peserta karena ranking
menciptakan kasta dalam pergaulan sosial di sekolah dan melahirkan sikap
membedakan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Di sekolahnya manusia semua
mata pelajaran dipandang sama. Tidak mengenal mata pelajaran berkelas elit yang
didewakan seperti anggapan orang banyak terhadap pelajaran matematika dan IPA.
Sebaliknya pelajaran yang selama ini dianggap ecek-ecek seperti kesenian
diperlakukan secara proposional.
Keempat,
sekolahnya manusia mendefinisikan prestasi sebagai tindakan meraih,
menyelesaikan, menacapai dangan usaha dan kinerja yang sukses. Prestasi bukan
dilihat dari hasil akhir tapi lebih sebagai sebuah proses yang berkualitas.
Sekolahnya manusia menjadikan peserta didik bintang, juara, berprestasi pada
bakat dan kemampuan mereka masing-masing.
Akhir kata, Sekolahnya manusia adalah
sekolah yang memperlakukan peserta didik layaknya seorang manusia. Peserta
didik diperlakukan, didekati, dipandang secara sama. Tidak ada kasta dalam sekolahnya manusia.
Semua peserta didik dianggap pandai, cerdas,
juara. Hal tersebut tentu sesuai bakat dan minat yang ada pada masing-masing
peserta didik. Di sekolahnya manusia tak ada peserta didik yang bodoh. Karena
Tuhan tak pernah menciptakan produk gagal.
Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar