Petahana (bahasa Inggris: incumbent), berasal dari kata "tahana", yang
berarti kedudukan, kebesaran, atau kemuliaan dalam politik, adalah istilah bagi pemegang suatu jabatan politik yang
sedang menjabat. Istilah ini biasanya digunakan dalam kaitannya dengan pemilihan umum, di mana sering terjadi persaingan antara
kandidat petahana dan non petahana. Sebagai contoh, pada Pemilihan umum Presiden Indonesia 2009, Susilo Bambang Yudhoyono adalah petahana, karena ialah presiden yang sedang
menjabat pada saat pemilihan umum untuk pelaksanaan pemilihan presiden
berikutnya. Dalam persaingan kursi-terbuka (di mana sang petahana tidak
mencalonkan diri), istilah "petahana" terkadang digunakan untuk
merujuk kepada kandidat dari partai yang masih memegang jabatan kekuasaan.
(https://id.wikipedia.org/wiki/Petahana)
Dalam pemilhan kepala daerah (Pilkada) 2015, berdasarakan
data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), cukup banyak calon kepala daerah
merupakan petahana. Mereka mencalonkan
kembali baik sebagai gubernur, wakil gubernur atau Walikota/Bupati, Wakil
Walikota/Bupati. Husni Kamil Malik, ketua KPU menyatakan ada 167 calon kepala
daerah yang berasal dari calon petahana. Di antara mereka, 12 calon Gubernur dan Wakil Gubernur, 29 calon Walikota dan Wakil Walikota, dan 126 calon Bupati
dan Wakil Bupati. Sebanyak 146 calon, mencalonkan diri daerah yang sama.
Sedangkan 21 calon lainnya mencalonkan diri di daerah yang lain. Hasil
rekapitulasi KPU menyebutkan total ada 838 pasangan calon yang bakal bertarung
dalam Pilkada serentak di 269 daerah, 9 Desember besok. Dari pasangan calon
tersebut 155 pasangan calon maju lewat jalur perseorangan. Sedangkan 683 pasangan
calon lain, maju lewat dukungan partai politik. (http://news.detik.com/) Berdasarkan data di atas, dari 269 daerah yang
menyelenggarkan Pilkada, 167 daerah di antaranya terdapat calon petahana. Dengan
demikian, dapat disimpulkan calon petahana akan kembali bertarung memperebutkan
kepala daerah di 55 % daerah. Ini angka yang cukup signifikan. Ternyata banyak kepala daerah yang maju lagi,
bersaing memperebutkan hati rakyat (pemilih) guna menjadi kepala daerah yang
kedua kalinya.
Kenapa
mencalonkan lagi?
Menunurut hemat saya, ada beberapa
sebab kenapa mereka, para petahana mencalonkan diri lagi. Diantaranya, pertama, merasa berhasil, pembangunan
perlu dilanjutkan. Ukuran keberhasilan kepala daerah merupakan sesuatu yang
sangat relatif. Pendapat setiap orang bisa berbeda-beda. Secara sederhana, publik
beranggapan kepala daerah yang tidak terkena kasus hukum selama menjabat maka
dianggap sukses, berhasil. Klaim keberhasilan oleh kepala daerah pun diterima
khalayak. Karena itu, pembangunan harus dilanjutkan. Ketika logika keberhasilan
dipahami, tidak ada alasan bagi kepala daerah untuk tidak mencalonkan kembali.
Terlebih, sudah menjadi watak manusia tidak pernah merasa cukup. Sudah berhasil
menjadi pemimpin ingin kembali memimpin.
Kedua,
dorongan kroni. Kroni adalah kerabat, teman dekat dan pendukung. Mereka
yang selama ini merasakan manfaat dan keuntungan langsung dari kepala daerah.
Mereka memperoleh tender dalam proyek pembangunan di daerah. Para kroni sering
mendapat kemudahan dalam berbagai hal. Keadaan seperti ini yang mendorong
mereka untuk mendukung kepala daerah mencalonkan kembali. Kroni menjadi mesin
penggerak utama pencalonan. Mereka berani mengeluarkan dana besar untuk
keberhasilan sang petahana.
Ketiga,
dorongan rakyat. Bagi kepala daerah yang dianggap sukses oleh mayoritas
rakyat biasa diminta kembali untuk mencalonkan diri. Dorongan kuat dari rakyat tak
akan bisa terbendung, memaksa kepala
daerah yang bersangkutan mencalonkan kembali. Bagi kepala daerah seperti ini,
kemenangan sudah di depan mata.
Permasalahanya
Kehadiran
calon petahana dalam Pilkada 2015 menjadi persoalan tersendiri. Petahana
dianggap sebagai calon yang tidak bisa sportif, bertarung dengan jujur. Kecenderungan petahana berbuat curang
diyakini sangat besar oleh masyarakat luas. Berikut kecenderungan itu, pertama, potensi menggunakan birokrasi
dan PNS menjadi mesin politik. Bagi birokrasi Pilkada seperti buah simalakama. Karena
petahana menggunakan mereka menjadi mesin politik untuk kemenangannya. Posisi
mereka menjadi serba salah. Di depan mereka ada tarik ulur politik. Tidak
mendukung diancam sanksi birokrasi
seperti mutasi atau lainnya. Sementara memihak bertentangan dengan UU No.
43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok kepegawaian
dan Peraturan Pemerintah Nomor
53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Penggunaan birokrasi
sebagai mesin politik seperti ini yang disebut oleh Sri Yuliani, dosen FISI UNS
sebagai man in the middle yakni
birokrasi sebagai kepanjangan tangan penguasa. (http://sriyuliani.staff.fisip.uns.ac.id/)
Kedua,
menyalahgunakan wewenang. Menjelang berakhirnya masa jabatan, petahana berusaha
meningkatkan pembangunan. Petahana dengan agresifnya membuktikan janji ke
tengah-tengah masyarakat, yang dikemasnya sedemikian rupa melalui
kegiatan-kegiatan pembangunan yang didanai APBD. Petahana rajin menyambangi
rakyat dengan merealisasikan berbagai hal dari perbaikan jalan, bantuan ke
masjid, membangun sekolah, sampai menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Ada beberapa
pos anggaran yang bisa digunakan untuk itu semua. Salah satu pos yang paling mudah dipergunakan adalah pos
bantuan sosial (bansos). Dari laporan
audit BPK, pos anggaran ini kerap membengkak menjelang Pilkada.
Menurut Ali Masykur (2012), diduga ada tiga modus yang
digunakan dalam penyalahgunaan dana bansos. Pertama,
usulan proposal fiktif, yang mengatasnamakan lembaga tertentu, tetapi
kenyataannya lembaga tersebut tidak ada. Kedua, dana yang diterima
pihak yang berhak menerima tidak sesuai besaran. Pembuat proposal yang dianggap
hanya bermodal kertas dan cap, dianggap sudah terbantu dengan dana seadanya
tersebut karena dianggap tidak memerlukan upaya yang signifikan, tetapi
merekalah yang menggolkannya. Ketiga,
berhubungan dengan prosesi politik atau Pilkada. Beberapa penelitan menunjukkan
pos bansos ini membengkak mendekati masa perhelatan politik, utamanya ketika
ada calon peserta yang berasal dari petahana.
Singkat
kata, kehadiran petahana di Pilkada 2015 merupakan fenomena demokrasi kita.
Mereka hadir meramaikan persaingan. Walau kehadiran mereka dipandang sebelah
mata oleh sebagian kalangan karena potensi dan kecenderungan mereka dalam menyalahgunakan
wewenang, berbuat curang, memaksa birokrasi dan PNS menjadi mesin politik, bagi
masyarakat yang melek politik hal itu tidak akan berpengaruh apa-apa. Pemilih
yang melek politik mampu membedakan pemimpin yang berkualitas, memiliki
komitmen kuat membangun, jujur, serta berakhlak mulia. Maka apa pun kecurangan
yang dilakukan para pasangan calon (baik petahana atau tidak), pemilih yang
cerdas tak akan terjebak.Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar