Beberapa hari lalu (13/12), PGRI
memperingati hari lahirnya yang ke 70. Bertempat di gelora Bung Karno, ribuan
guru datang dari berbagai daerah. Mereka berdatangan mewakili daerah
masing-masing. Nampaknya keberangkatan mereka ke Jakarta berdasarkan intruksi
dari organisasi. Itu terlihat dari kehadiran setiap daerah, dari Aceh sampai
Papua. Untuk daerah yang berdekatan dengan Jakarta pastinya lebih banyak, bisa
jadi intrusksi sampai pada setiap kecamatan. Namun ada yang ganjil dari kegiatan
cukup besar itu. Yakni keluarnya surat edaran dari Mendikbud dan Men PAN-RB
yang melarang guru berangkat ke Jakarta. Alasanya, karena Hari Guru Nasional
(HGN), yang kebetulan diambil dari hari lahir PGRI, telah dilaksanakan di
tempat yang sama (GBK) pada tanggal 24 Nopember yang lalu.
Perhelatan besar itu telah melahirkan
kekecewaan para guru. Pasalnya, Presiden Jokowi yang dijanjikan akan datang
oleh pengurus PGRI ternyata tak hadir. Kekecewaan guru atas ketidakhadiran
Presiden Joko Widodo dalam HUT PGRI ke 70 itu terlihat saat Menteri Kordinator
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Puan Maharani membacakan sambutan
Presiden. Puan Maharani disoraki oleh masa guru yang hadir.
Tidak hanya Presiden, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Anis Baswedan juga tidak hadir. Hal ini menimbulkan
tanya di kalangan guru yang hadir. Menurut Anies, dirinya tak diundang. Ia
menilai acara yang biasanya digelar bersamaan dengan Hari Guru Nasional (HGN)
itu merupakan acara internal PGRI. Jadi,
tak masalah bila ia tak diundang, tak datang. Menurut Anies pemerintah secara
resmi telah menggelar acar puncak HGN pada tanggal 24 Nopember yang lalu. Acara
itu dihadiri oleh Presiden Jokowi. Acara
tersebut digelar oleh pemerintah untuk semua guru Indonesia dan bukan hanya
untuk guru yang tergabung dalam satu organisasi tertntu. Hari Guru Nasional
(HGN) ditetapkan lewat Keppres Nomor 78/1994 sebagai peringatan resmi negara.
Dan kemaren (24/11), pemerintah untuk pertama kalinya menyelenggarakan HGN sebagai sebuah acara
negara untuk semua guru Indonesia. (http://news.liputan6.com/)
Menurut hemat saya, ada beberapa pesan
penting yang yang harus dipahami oleh
guru atas ketidakhadiran presiden. Pertama,
pemerintah ingin merangkul semua organisasi guru yang ada. Pemerintah tidak
ingin membedakan satu dengan yang lain. Semua diperlakukan secara sama. Dan itu
diperlihatkan dalam peringatan Hari Guru Nasional tahun ini. Dalam acara
tersebut, pemerintah melibatkan, mengundang seluruh organisasi guru yang ada.
Pemerintah tak mengistimewakan yang satu atas yang lain.
Kedua, PGRI diharapkan tidak terjebak pada
politik praktis. Seperti diketahui oleh khalayak umum, PGRI selama ini sangat
mendominasi para guru. Kemudian PGRI kerapkali dijadikan alat politik oleh
pemerintah baik di pusat atau di daerah. Bahkan sampai saat ini, di beberapa
daerah, PGRI masih digunakan tunggangan politik oleh oknum kepala daerah. Suara
mereka dalam pemilihan apapun selalu diperebutkan oleh politisi. Dan saat itu,
PGRI kerapkali mengarahkan suara guru ke pihak tertentu. Tentu itu tidak
gratis, kepentingan senantiasa mengikuti. Ke depan, PGRI harus independen. PGRI
tak boleh berpolitik. Ketidakhadiran presiden sebagai sinyal agar PGRI berlepas
diri dari ketergantungan pada pemerintah.
Ketiga,
pemerintah memberi kesempatan yang sama pada semua organisasi guru untuk
mengembangkan diri. Seperti diketahui, pasca reformasi PGRI tidak lagi mejadi
satu-satunya organisasi guru di tanah air. Ada organisai guru yang lain seperti
Federasi Guru Independen Indonesia
(FGII), Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), juga yang lain. Pemerintah mendambahkan
semua organisasi guru berkembang secara profesional, mandiri, dan independen.
Karenanya, semua organisai guru harus fokus mengembangkan diri. Sebagai
organisasi profesi, ormas-ormas itu harus mampu menghadirkan guru yang
berkualitas dan profesional.
Saran
untuk PGRI
Untuk menghadirkan PGRI yang lebih
profesional, mandri, juga independen saya menyarankan hal-hal berikut, pertama, memisahkan guru dan dosen. Selama
ini mereka bergabung dengan PGRI. Walau harus diakui, kepatuhan dan partisipasi
pada organisasi, para dosen tidak
terlihat sama seklai. Walau demikian dosen telah mendominasi kepengurusan baik
di tingkat kabupaten, propinsi, sampai pusat. Dosen lebih baik berkonsrntrasi
mengembangkan, dan megemban misi tri darma perguruan tinggi yakni pendidikan
dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada
masyarakat. Pemisahan ini bukan berarti ketidaksukaan atas kehadiran dosen di
PGRI, tetapi semata-mata untuk tujuan agar masing-masing dapat fokus pada
fungsi dan profesionalismenya.
Kedua,
pengurus harus diseterilkan dari para pejabat. Selama ini pengurus PGRI
didominasi oleh para pejabat seperti kepala dinas atau instansi di level
kabupaten. Para pengurus idealnya adalah guru, bukan mantan guru, apalagi
pejabat. Sehingga mereka mampu membawa organisasi guru terbesar itu menjadi
profesional, maju. Sebab hanya guru yang mengetahui secara persis permasalahan
yang dihadapi, juga solusi yang akan diambil. Kepentingan guru di level paling
bawah seringkali tak terakomodasi dan terabaikan oleh PGRI karana pengurus yang
bukan guru itu pada hakekatnya tak memahami pesoalan guru.
Ketiga,
PGRI harus netral, independen dan mandiri. PGRI tak boleh bergantung dengan
pemerintah baik di daerah maupun pusat. PGRI tidak boleh terjebak pada
kepentingan politik praktis di setiap levelnya. Ketergantungan PGRI pada
pemerintah akan dengan mudah dimanfaatkan, dipolitisasi. Dan ini harus
dihindari.
Keempat,
PGRI lebih fokus mengembangkan profesionalisme guru. PGRI harus mampu
mengembangkan guru lebih profesional. Apalagi di era sertifikasi seperti
sekarang, guru mendapat sorotan tajam, negatif dari masyarakat juga pemerintah.
Profesionalisme guru dianggap tak berkembang, kenerja mereka dianggap stagnan
setelah mereka menerima Tunjangan Profesi Guru (TPG). Ini harus disikapi oleh
PGRI. PGRI harus mendorong guru lebih profesional. Dengan demkian, keberadaan
PGRI akan terasa.
Akhir kata, ketidakhadiran Jokowi
dalam HUT PGRI ke 70 kemaren harus dipahami secara positif. Ini sebuah sinyal
dari presiden untuk PGRI agar dapat mandiri, tak bergantung pada pemerintah.
Kesempatan ini harus dimanfaatkan. PGRI harus melepaskan diri, tidak boleh lagi
dimanfaatkan atau memanfaatkan, terjebak dalam kepentingan politik praktis.
PGRI harus mampu keluar. Paradigma PGRI harus berubah. Berdasarkan
pengalaman, sejak orde baru, PGRI
kerapkali menjadi atau dijadikan tungangan politik pihak tertentu. Hal ini yang
mengahmbat kemandirian PGRI. PGRI tak lagi menjadi organisasi profesi yang
mampu melahirkan, menghadirkan guru profesional seperti tuntutan pemerintah
dalam program Tunjangan Guru Profesional (TPG).Wa Allau Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar