Politik diartikan sebagai seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan
secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Di samping itu politik juga dapat
ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain: politik adalah usaha
yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Sedangkan gaduh
dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai rusuh dan gempar karena
perkelahian (percecokan dan lainnya), keributan dan hura-hura. (http://kbbi.web.id/gaduh)
Melihat
arti dua kata di atas, politik gaduh dapat dipahami sebagai ribut-ribut memperebutkan
dan meraih kekuasaan, jabatan, kepentingan baik secara konstitusional maupun
non konstitusional. Istilah politik gaduh di tanah air baru muncul di era
pemerintahan Jokowi-JK. Istilah “politik gaduh” dikenal publik setelah presiden
Jokowi meminta kepada DPR, para politisi,
semua pihak untuk tidak selalu menciptakan kegaduhan politik. Sebab,
menurut presiden, kegaduhan akan memecah konsentrasi, energi, juga waktu dalam
bekerja, menjalankan roda pemerintahan.
Peringatan
Presiden Jokowi itu tentu bukan tanpa
alasan. Di mata Jokowi, pergulatan, dinamika politik di gedung DPR sebagai
simbol rumahnya poltisi sudah melampaui batas kewajaran. Jokowi menyebutnya
gaduh. Sejak pelantikan, mereka membuat kegaduhan, berebut kepemimpinan, alat
kelengkapan dewan dan lainnya. Berbulan-bulan Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH)
bergelut dalam kegaduhan, keributan, perkelahian. Mereka tak ubahnya anak TK
berebut mainan, meminjam istilahnya Gusdur. Mereka saling jegal, saling
memojokkan sampai ada wacana DPR tandingan. Kegaduhan mereka tak sebatas
bahasa verbal tapi sudah pada kekerasan fisik seperti adu jotos, membanting
meja, melempar botol air minuman dan lainnya.
Kegaduhan selama 2015
Saya
mencatat sepanjang tahun 2015, kinerja DPR RI jauh jauh dari kata memuaskan
kalau tidak mau menyebut mengecwakan. Bahkan sebagian kalangan berkeyakinan
bahwa kinerja anggota DPR periode ini sebagai yang terburuk. Itu dapat diukur
dari legislasi sebagai salah satu fungsi dewan. Selama tahun 2015, bahkan sejak
dilantik, DPR hanya mengesahkan tiga undang-undang. Itu pun dua diantaranya
berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) yang tak banyak
menguras energi dan waktu, hanya mengesahkan. Satu UU merupakan hasil jerih
payah mereka, menunjukkan betapa mereka makan gaji buta selama setahun. Akibatnya,
DPR menjadi lumpuh dan tidak bisa menjalankan
fungsi dan perannya dengan baik bagi pemerintahan Jokowi-JK.
Kegaduhan politik telah mempertontonkan perilaku
politik anggota DPR yang tak santun kepada rakyat Indonesia. Menurut peneliti
FORMAPPI, Lucius Karus, kinerja buruk tersebut tak lepas dari pertikaian dan
tarik menarik kepentingan politik berkepanjangan antara kubu Koalisi Merah
Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). (http://korankota.co.id/)
Waktu
dan energi anggota dewan yang terhormat itu habis dalam kegaduhan, keributan
politik dengan isu-isu yang dimunculkan oleh mereka sendiri. Berikut saya
mencatatnya sebagiannya, pertama, isu pemilihan kepala daerah. Tarik ulur apakah
kepala daerah dipilih langsung atau dipilih DPRD menjadi polemik di akhir tahun
2014 dan mengawali kegaduhan di awal tahun 2015. Tarik ulur itu dipahami oleh
rakyat bukan karena kepentingan bangsa dan negara tapi semata-mata untuk
kepentingan kepentingan kelompok masing-masing. Konflik berkepanjangan itu
berakhir dengan disahkannya UU Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No. 1
tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota tertanggal 20 Januari
2015.
Kedua, terkait dana aspirasi. Dana aspirasi adalah dana pembangunan yang dianggarkan oleh
pemerintah pusat untuk daerah mengacuh pada aspirasi setiap anggota DPR. Setiap
anggota DPR akan mengusulkan aspirasi pembangunan di dapilnya, dianggarkan setiap
anggota sebesar 20 miliar. Dana aspirasi
diusulkan oleh fraksi Partai Golkar. Awalnya sejumlah fraksi seperti Demokrat,
PPP, PAN, PDIP, Gerindra, PKS, Hanura menolak, tapi dalam rapat Badan Anggaran
pada tanggal 15 Juni 2015, tak satu fraksi pun yang menolak, dana aspirasi
akhirnya menjadi usulan resmi. Dana aspirasi mendapat penolakan keras dari
rakyat, tapi anggota DPR tak menggubrisnya. Mereka buta mata, buta hati demi 20
miliar per anggota. Padahal DPR tidak dalam kapasitas sebagai ekskutor (baca:pelaksana)
anggaran seperti ditegaskan Undanng-undang Dasar 1945 Pasal 23 ayat 2.
Ketiga, proyek megah DPR. Usulan atau
tepatnya wacana internal DPR tentang proyek megah itu sempat menjebak Presiden.
Jebakan Bath Man itu dengan cerdas dipahami oleh Jokowi. Di tengah kemerian HUT RI ke 70, Presiden Jokowi batal menandatangani prasasti
Penataan Kompleks Parlemen yang diminta DPR usai pemyampaian pidato kenegaraan tentang nota keuangan RAPBN 2016 pada 14 Agustus 2015. Sebelumnya, Ketua DPR Setya
Novanto dalam sambutannya meminta Presiden meneken prasasti. Tapi, ketika
mengunjungi museum, Jokowi tak membubuhkan tanda tangan. Ia hanya melihat-lihat
proyek tersebut bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla dan pimpinan DPR selama
sekitar 15 menit.
Keempat, sidang etik papa minta saham.
Berawal dari dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden dalam proses
perpanjangan kontrak PT Freeport oleh Setya Novanto, Ketua DPR itu telah
membuat rakyat geram, marah, dan kecewa pada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Pasalnya persoalan yang sebenarnya sangat gamblang, mudah diputuskan karena
bukti yang terang benerang dibuat rumit. Mereka berputar-putar, berlogika
dengan mengesampingkan akal. Hampir dua bulan energi bangsa ini terkuras untuk
kasus ini.
Saran
Sebagai
komuntas terdidik, terpilih serta terhormat, anggota DPR selayaknya menjadikan
kinerja tahun pertama yang buruk ini menjadi pelajaran. Bahwa kegaduhan politik
hanya membuang waktu, energi. Harus dipahami masih banyak persoalan bangsa dan
negara yang lebih membutuhkan perhatian dan konsentrasi DPR soal legislasi
misalnya. Berdasarkan catatan, ada 160 RUU yang harus dibahas, disahkan oleh
DPR. Bila kinerja mereka hanya membuat kegaduhan, dipastikan nasib RUU tersebut
akan terbengkalai. (http://www.dpr.go.id/)
Akhir
kata, sebagai lembaga yang mewakili rakyat,
DPR seharusnya meletakan kepentingan rakyat, bangsa dan negara di atas
kepentingan pribadi dan golongan.
Kegaduhan politk yang berlatarbelakang kepentingan pribadi dan kelompok tidak
boleh muncul kembali di tahun 2016 yang akan datang. Bila hal ini tidak
diperhatikan, jangan salahkan bila tingkat keperayaan rakyat akan menurun
secara dratis. DPR akan berada di titik paling nadzir. Partai politik sebagai
produsen anggota dewan akan menerima dampaknya. Karena itu, para pemimpin
partai politk harus menyadari. Bukankah kegaduhan selama ini juga akibat
pimpinan partai atau elit politik yang tidak mampu memberi teladan? Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar