Melalui juru bicaranya, Presiden Joko
Widodo mengungkapkan kekesalan dan kemarahannya terhadap menteri yang berpolemik,
berdebat, berseteru di ruang publik
termasuk di media sosial. Belum lagi
dengan menteri yang suka mendahului, berbicara
ke publik dengan mengatasnamakan presiden. Juga menteri yang
gemar mengomentari, mengkritisi atau menyalahkan kebijakan menteri lain.
Menurut Johan Budi, presiden tidak
senang dengan perseteruan para menteri. Apalagi, ada beberapa menteri yang
sudah menyerang secara personal dan dengan jelas dilihat publik. Padahal
Presiden
berulang kali menegaskan bahwa hal seperti ini harus dihentikan. Kepada para menteri perdebatan
hanya ada di ruang rapat terbatas atau rapat kabinet. Hal ini disampaikan oleh
presiden dengan bahasa jangan membuat
gaduh di luar.
Melalui Johan, Jokowi
mengingatkan bahwa menteri adalah pembantu presiden yang harus selalu patuh
pada perintah dan arahan. Oleh sebab itu,
ditegaskan bahwa presiden marah dengan perseteruan yang terjadi antar
menterinya karena sudah mengarah ke tindakan kontra produktif. Dan ini akan
menjadi pertimbangan Presiden dalam mengevaluasi para menteri.
Paling mutakhir
perseteruan atau kegaduhan dalam kebinet dipertontonkan oleh Menteri Energi
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said dengan Menko Kemaritiman
Rizal Ramli. Perseteruan
keduanya dipicu perbedaan pendapat mengenai rencana pembangunan kilang gas Blok
Masela. Rizal Ramli berpendapat pembangunan dilakukan di darat. Sementara
menurut Sudirman Said pembagunan harus dilakukan
di laut. Perseteruan kedua anggota kabinet ini sebenarnya bukan sesuatu yang
baru. Sebelumnya mereka berseteru terkait soal perpanjangan kontrak PT
Freeport.
Terkait blok gas
lapangan abadi Masela, pemerintah disodorkan dua dua pilihan. Pertama,
membangun kilang terapung gas alam cair (Floating LNG Plant). Yang kedua,
membangun kilang gas alam cair di darat (On shore LNG Plant) dan mengalirkannya
dengan menggunakan pipa sepanjang 600 km ke Pulau Aru.
Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli memilih yang kedua.
Alasannya, investasi yang dibutuhkan ‘hanya’ sekitar US$14 ,6 miliar.
Sedangkan bila yang dibangun Floating LNG Plant, maka butuh duit sebanyak
US$19,3 miliar. Berbeda dengan Rizal, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
Sudirman Said, lebih suka yang kedua. Begitu juga dengan Satuan Kerja Khusus
Pelaksana Kegiatan Hulu (SKK) Migas. Mereka berdua pihak satu suara, FLNG
Plant!. Menurut Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi, angka yang disodorkan Rizal
Ramli terbalik. Itulah sebabnya SKK Migas memberi rekomendasi agar pemerintah
membangun FLNG karena lebih murah ketimbang On shore LNG Plant. Bagaimana
dengan Sudirman? Dia lebih suka memenuhi rekomendasi dari SKK Migas.) (http://www.rmol.co/)
Kasus di atas bukanlah yang pertama. Perseteruan para menteri
yang menimbulkan kegaduhan politik itu kerap terjadi. Sebelumnya, ada
perseteruan Menteri BUMN Rini Sumarno dengan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan
terkait proyek kereta cepat Jakarta- Bandung. Juga Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti dengan Menteri Perdagangan Thomas Lembong terkait regulasi
yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan tentang berbagai produk kelautan dan
perikanan. Gaduh pula ditimbulkan oleh Menteri Yudi Crisnandi terkait pengumuman
hasil Evaluasi Kementerian dan lembaga negara.
Di balik polemik di atas terlintas pertanyaan, apa demokrasi
itu harus gaduh? Pertanyaan ini menarik didiskusikan. Kenapa? Karena seringnya
kegaduhan terjadi di era pemerintahan Jokowi-JK dan anggapan bahwa adem ayem (dalam
tanda petik) tidak mencerminkan dinamika kebebasan berpendapat dan hidupnya
demokrasi.
Sebenarnya gaduh atau tidak bukan ukuran demokrasi. Gaduh
hanya akibat dari praktek kehidupan berdemokrasi. Demokrasi tak selalu
menimbulkan kegaduhan politik. Karena kegaduhan bukan pilar atau ciri
demokrasi. Menurut Reza A.A Wattimena, dosen Fislafat Politik UNIKA Widya
Mandala, pilar demokrasi itu ada empat. Pertama,
kemampuan mengelola pendapat secara sehat. Perbedaan adalah fakta hidup.
Tak ada pola hidup yang seragam. Penyeragaman adalah pemaksaan. Pemaksaan ciri
pemerintahan yang otoriter dan totaliter. Demokrasi tidak untuk menyeragamkan
kehidupan melainkan memelihara dan mengelola perbedaan sehingga menjadi energi
untuk mewujudkan keadilan dan
kemakmuran.
Dalam masyarakat demokratis, perbedaan adalah sesuatu yang
dibanggakan asal semua perbedaan
dikelola dengan prinsip fairneess.
Artinya, segala persoalan dan keputusan dibicarakan secara bersama secara
terbuka di ruang publik yang bebas dan egaliter.
Kedua, tidak adanya
kekuasaan politik yang bersifat mutlak.
Kekuasaan politik bersifat relatif.
Artinya kekuasaan tersebut ada, selama ia masih berperan dalam mengupayakan
keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Jika ia dianggap gagal dalam
menjalankan misi tersebut, maka kekuasaan politis itu harus dicabut, dan
diberikan kepada pihak lain yang lebih kompeten. Kekuasan absolut seperti pada
pemerintahan monarki dan totaliter tidak berlaku dalam pemerintahan demokratis.
Ketiga, asas akuntabilitas dan transparansi. Transparansi
atau keterbukaan merupakan ciri utama demokrasi. Setiap kebijakan yang diambil penguasa (pemerintah) harus dilakukan secara
terbuka sehingga dapat dipahami oleh rakyat. Rakyat bisa terlibat di dalamnya. Karena
bagaimanapun kebijakan itu akan berkaitan dengan mereka. Transparansi berfungsi
sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat.
Pertanggungjawaban atas setiap kebijakan yang diambil disebut asas
akuntabilitas.
Keempat, partisipasi publik.
Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Sebagai penguasa, rakyat harus cerdas dan kritis dalam menjalankan dan
mengawasi gerak roda politik. Rakyat juga dituntut cerdas, kritis dan aktif
ambil bagian mengawasi kekuasaan. Sehingga mereka terhindar dari segala bentuk
kekuasaan absolut, otoriter dan totaliter.
Walhasil, demokrasi tak harus gaduh. Kegaduhan politik tak
lebih sebagai akibat kehidupan berdemokrasi. Tapi berdemokrasi yang tak
menimbulkan kegaduhan berlebihan tentu lebih baik. Karena kegaduhan yang
berlebihan akan berdampak negatif pada kehidupan sosial masyarakat juga ekonomi
nasional. Namun demikian kita wajib menghargai setiap perbedaan. Perbedaan
pendapat anggota kabinet dapat diikuti dengan kajian dan partisipasi aktif dari
publik sehingga kegaduhan berdampak positif.
Kegaduhan bisa mendorong partisipasi aktif rakyat terkait setiap
kebijakan yang akan diambil pemerintah. Wa
Allahu Alam
Dimuat di RADAR CIREBON, Selasa 8 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar