Di tengah sorotan khalayak terhadap
eksistensinya, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) justru mempertontonkan kegaduhan
pada rakyat. Rapat paripurna DPD (17/3)
berlangsung ricuh. Kericuan dipicuh oleh penolakan Ketua DPD Irman Gusman dan
Wakil Ketua DPD Farouk Muhamad selaku pimpinan rapat untuk menandatangani
perubahan tata tertib DPD yang telah disepakati. Pimpinan DPD beralasan,
pihaknya menolak menandatangani disebabkan revisi tata tertib hasil rapat
paripurna 17 Februari itu bertentangan dengan Undang-undang MPR, DPR, DPD dan
DPRD (MD3) Pasal 300.
Dalam
tata tertib itu diantaranya memperpendek masa jabatan pimpinan DPD dari 5 tahun
menjadi 2,5 tahun. Pada rapat
paripurna sebelumnya
(17/2) telah disepakati perubahan tata
tertib tersebut. Dalam
rapat itu mayoritas anggota DPD menyetujui perubahan masa jabatan tersebut.
Keputusan diambil melalui cara voting. Dari 63
anggota DPD yang hadir, 44 orang setuju masa jabatan pimpinan DPD dipangkas.
Hanya 17 anggota yang mendukung masa kerja pimpinan DPD tetap lima tahun.
Sementara dua anggota memilih abstain.
Usulan mempersingkatan
masa jabatan pimpinan DPD terjadi ketika panitia
khusus (pansus) tata tertib dibentuk sekitar delapan bulan lalu. Dalam rapat
paripurna, DPD menyetujui pembentukan pansus untuk merevisi tata tertib. Adapun
wacana perubahan tata tertib disebabkan banyaknya anggapan bahwa kinerja
DPD sangat rendaah. Selama ini DPD tidak ada output-nya. Pansus pun terus bekerja merumuskan tata tertib baru
yang lebih baik. Salah satu yang diatur adalah mempersingkat masa jabatan
seluruh alat kelengkapan, termasuk pimpinan DPD, menjadi hanya 2,5 tahun.
Gaduh di DPR menular,
pindah ke DPD, apa yang melatar belakangi? Kegaduhan di DPR disebabkan dominasi
kepentingan pribadi dan kelompok mengabaikan kepentingan bangsa dan negara.
Bagaimana di DPD? Apa mereka ricuh untuk bangsa dan negara? Melihat apa yang
jadi pemicuh jelas bukan untuk kepentingan bangsa dan negara. Perbedaan kepentingan,
ambisi kekuasaan individu dan kelompok menjadi sebab nyata.
Pemicuhnya
adalah soal perlu tidaknya pemangkasan masa
jabatan pimpinan. Ini memunculkan tanya, ada apa dengan jabatan para pemimpin DPD? Apa ada
kesenjangan yang mencolok antara pimpinan dan anggota yang melahirkan
kecemburuan? Bila disebabkan kecemburuan tentu kita prihatin. Ternyata tidak
beda dengan para politis di lembaga lain, senator DPD masih berkutat dalam
kubangan kepentingan individu. Mereka tidak lagi memperjuangkan aspirasi daerah
seperti fungsinya.
Mereka
berebut jabatan, kursi dan materi. Para
anggota DPD
rupanya tergiur dengan simbol-simbol dan tampilan formal sang
Ketua. Di antara mereka
ingin menikmatinya. Mungkin
mereka tak puas dengan
fasilitas dari harta rakyat yang besarannya sangat 'wah'.
Padahal mereka rata-rata
bisa menikmati di atas Rp100 juta rph per-bulan. Barangkali
mereka tergiur dengan pelayanan protokoler, mobil mewah, rumah dinas, dan sebagainya. Mereka
hanya mengejar fasilitas. Mereka tak pernah mengintropeksi diri. Bukankah
kinerja DPD sangat rendah, nyaris tak ada yang dibanggakan.
Kegaduhan
ini sangat disayangkan. DPD sejatinya meningkatkan peran dan fungsinya.
Berbagai kalangan mempertanyakan keberadaanya. DPD dianggap antara ada dan tiada. Eksistensi DPD tak dirasakan rakyat. DPD
dipandang sekadar aksesoris demokrasi. Tapi harapan tinggal harapan, DPD justru
mengikuti jejak DPR yang gemar gaduh untuk urusan yang tak penting bagi rakyat.
Mantan
Wakil Ketua DPD, Loede Ida menegaskan kericuhan dan kegaduhan ini sangat
memalukan dan menyedihkan, tak pantas dilakukan oleh para senator DPD. Pimpinan DPD dianggap membangkang dengan putusan rapat
paripurna. Sehingga merasa perlu memaksanya untuk tanda tangan di depan
paripurna. Tapi Irman Gusman dan Faroukh M rupanya tetap tak mau, sehingga
langsung mengetuk palu sidang tanda rapur ditutup. (http://news.metrotvnews.com/)
Lebih
Jauh, marwah lembaga
wakil daerah itu menjadi
hancur akibat ulah figur-figur di dalamnya. Mereka merusak citra lembaga, citra para tokoh daerah, serta
marwah bangsa. Pasalnya
soal kursi atau jabatan pimpinan. Sebagian besar anggota mungkin tak puas
dengan kinerja pimpinan sehingga merasa perlu segera disingkirkan. Itu
hanya logika mereka, atau memang benar adanya. Namun kecumburuan anggota terhadap segala fasilitas pimpinan
justru terlihat
menonjol di permukaan.
DPD, intropeksilah
DPD
sebelumnya sepi. Tidak ada dinamika yang berarti. Kinerja mereka nyaris tak terdengar. Belum lama Ketua Umum
PKB pernah mewacanakan membubakannya. Sebab, DPD dianggap sudah tak layak
dipertahankan. DPD hanya
memboroskan uang
negara, tersedot oleh figur-figur yang hanya bangga dengan jabatan seraya cari
ruang perebutan kekuasaan di lembaga negara yang ompong itu.
Kegaduhan
harus segara dihentikan. Apalagi gaduh yang tak produktif, tak
menguntungkan apa-apa bagi
rakyat. Sebab itu, sorotan
publik sejatinya lebih
menjadikan mawas diri.
Tidak sebaliknya. Saya melihat ada kesalahan langkah, blunder. DPD harusnya membuat trobosan, gebrakan di tengah
sorotan tersebut. Misalnya, mengusulkan dan memperjuangkan amandemen UUD 1945
terkait kewenangannya. Bukankah selama ini kewenangan DPD yang minim dianggap
sebagai alasan tak mampunya DPD berperan lebih seperti harapan masyarakat?
Kemudian bercermin pada DPR yang dinilai mandul, tak banyak melahirkan aturan
(legislasi), DPD sebenarnya dapat memberikan secercah harapan kepada rakyat dengan produktif mengusulkan
RUU terkait daerah. Banyak daerah yang menanti peran aktif DPD, dalam wacana
pemakaran misalnya. Seperti wacana propinsi Cirebon, sampai hari
ini tak memperlihatkan perkembangan berarti. Dimana peran DPD?
Tegasnya, intropeksi diri merupakan
pilihan wajib bagi DPD sekarang. Cepat akhiri kegaduhan. Kegaduhan seperti ini
hanya menghabiskan energi. Lihatlah jauh ke depan. Banyak problematika bangsa
yang butuh penyelesaian. Kegaduhan, perebutan jabatan tak akan menghasilkan
apa-apa selain mengoyak persatuan dan kebersamaan.
Singkat kata, sangat disayangkan gaduh
yang tak produktif beralih ke DPD. DPD gaduh bukan pada hal prinsip yang
terkait kesejahteraan rakyat. Kegaduhan mereka hanya berebut kepentingan,
jabatan. Terlebih kegaduhan itu di
tengah sorotan terkait keberadaanya yang diyakini rakyat tak berarti. Karenanya,
tak perlu berlama-lama, anggota DPD cepat intropeksi diri. Bila itu tak
dilakukan, dorongan pembubaran akan semakin kuat, menjadi kenyataan. Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar