Sebanyak 17 pasang Gubernur dan 199
pasang Walikota/Bupati telah dilantik. Kepala daerah hasil Pilkada serentak itu
telah resmi menjadi pimpinan di daerah mereka masing-masing. Sekarang mereka
mulai berbena, memahami persoalan, bersosialisasi dengan bawahan serta
menyiapkan gebrakan. Setiap kepala daerah memiliki visi-misi. Visi-misi
tersebut akan dijadikan acuan rakyat mengukur kinerja mereka. Di samping itu
tentu janji-janji saat kampanye juga akan dinanti realisasinya.
Dalam meraih sukses memenangkan
Pilkada, kepala daerah telah mengeluarkan biaya cukup besar, dukungan dari
berbagai pihak. Dukungan datang dari para pengusaha, birokrat dan tokoh
masyarakat. Dukungan politik seperti itu tentu tak gratis. Ada transaksi yang disepakati. Ada kepentingan yang
dijanjikan. Bahkan ada jabatan, kursi
atau posisi yang ditawarkan.
Pada banyak kasus, birokrasi yang
berstatus Pegawai Negeri Sipil kerap dijadikan rebutan para calon kepala
daerah. Alasanya karena jumlah mereka cukup besar, juga karena posisi mereka di
pemerintahan. Padahal menurut Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang
Disiplin Pegawai Negeri Sipil, PNS dituntut netral. PNS yang mustinya bersikap netral itu
dimanfaatkan untuk kepentingan mendukung
calon kepala daerah. Dan biasanya pasangan incumbent memilki peluang lebih
besar menguasai birokrasi karena kedekatan sebelumnya.
Setelah menjabat, kepala daerah
menghadapi berbagai macam tagihan. Tagihan datang dari para pendukung yang telah berjasa
mengantar sang kepala daerah ke tampuk kepemimpinan. Politik balas jasa
menjadi fakta nyata di berbagai daerah.
Kepala daerah akan membagi kursi, jabatan atau posisi penting kepada mereka
yang berjasa.
Persaingan saat Pilkada telah menyisahkan
dendam politik. Sebagian kepala daerah melampiaskan dendam tersebut dengan menggeser,
memutasi bahkan memecat mereka dari
kalangan birokrasi yang telah menjadi lawan politknya. Kasus seperti ini
disebut sebagai politik balas dendam. Di awal kepemimpinan kepala daerah yang
baru, bagi sebagian birokrat (para pegawai daerah) yang dianggap sebagai lawan
politk menjadi masa yang menakutkan. Ancaman mutasi, pergeseran, pencopotan
telah nyata di depan mata. Posisi, kedudukan mereka akan diganti oleh mereka
yang telah berjasa pada kepala daerah terpilih.
Fenomena dan kecenderungan di atas
bukan mengada-ada. Praktek politik balas jasa dan balas
dendam seusai dilantik sebagai kepala daerah mulai tercium Kementerian Dalam
Negeri. Politik balas jasa dalam hal ini dengan menempatkan orang dekat atau
tim sukses dalam posisi pejabat di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), adapun
politik balas dendam dengan menyingkirkan birokrat yang tidak mendukung kepala
daerah terpilih saat pemilihan.
Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri
Sumarsono menegaskan jajarannya sudah melihat gerak-gerik dari para kepala
daerah untuk membuat kabinet baru yang diisi orang dekat, begitupula dengan
persiapan mutasi yang bakal menggusur pejabat yang kontra dengan kepada daerah.
(http://www.mediaindonesia.com/)
Untuk itu, meski telah jelas diatur dalam Pasal 162 UU Pilkada dimana
kepala daerah tidak boleh mengganti pejabat selama enam bulan setelah dilantik,
namum Kemendagri akan menegaskan aturan tersebut dalam Surat Edaran Mendagri
yang akan diterbitkan dalam waktu dekat. Selain melarang penggantian pejabat
sebelum enam bulan menjabat, Surat Edaran itu juga mengatur kepala daerah untuk
mengembalikan uang negara jika tetap mengganti pejabat dengan orang dekat.
Penggantian uang negara itu karena orang dekat yang menggantikan mendapat gaji
dan tunjangan yang diambil dari APBD.
Dalam melakukan pengawasan, Kemendagri
berencana akan memaksimalkan inspektorat daerah, selain itu Komisi Aparatur
Sipil Negara (KASN) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk melakukan
supervisi. Masyarakat luas pun diminta untuk bersama-sama mengawasi. Sehingga
apa yang dikhawatirkan oleh kita semua terkait munculnya politik balas jasa
atau politk balas dendam di awal pemerintahan para kepala daerah yang baru dapat dicegah.
Bagaimana
Seharusnya
Untuk
menopang visi-misi dan program kerja, seorang kepala daerah dianggap wajar
melakukan pengangkatan, pergantian pejabat di Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD). Namun demikian, hal itu harus sesuai dengan peraturan
dan perundang-undangan yang berlaku, mempertimbangkan dan mengutamakan hal-hal
berikut. Pertama, aspek
profesionalisme. Artinya pengangkatan seorang pejabat bukan berdasarkan
kedekatan atau balas jasa semata. Kepala daerah tidak boleh seenaknya
mengangkat atau memberhentikan orang. Tidak dapat dibayangkan bila satu posisi
dijabat oleh orang yang tak memahami dan menguasai persoalan. Jaabatan bila diberikan kepada orang yang tidak
profesional (baca:bukan ahlinya) maka
tunggulah saat kehancurannya.
Kedua, dilakukan
sesuai kebutuhan. Pengangkatan dan penggantian pejabat yang dilakukan kepala
daerah di lingkungan SKPD harus sesuai kebutuhan. Artinya kalau memang tidak
perlu pergantian, maka tak ada alasan untuk melakukannya. Berilah kesempatan
kepada pejabat yang lama untuk bekerja lebih baik lagi. Karenanya, kepala
daerah perlu melakukan evaluasi dan kajian terlebih dahulu sebelum melakukan
pergantian pejabat. Evaluasi dan kajian itu yang dijadikan pertimbangan perlu
tidaknya perombakan pejabat. Evaluasi dan kajian tentu butuh waktu cukup. Oleh
sebab itu, Kemendagri memberi batas minimal dengan kurun waktu enam bulan.
Tidak begitu dilantik langsung melakukan perombakan. Itu jelas sesuatu yang
gegabah. Hal itu juga mengisyaratkan dengan jelas praktek politik balas jasa.
Ketiga, memperhatikan kaderisasi dan
regenerasi. Dalam satuan kerja pasti ada kaderisasi dan regenerasi. Kaitan
dengan ini kepala daerah seyogyanya mendukung. Kepala daerah tidak boleh mematikan
semangat kaderisasi dan regenerasi tersebut. Sebab itu, pengangkatan pejabat
lebih baik mengutamakan dari internal satuan kerja.
Akhir
kata, fenomena politik balas jasa harus ditolak. Masyarakat dituntut berperan
aktif mengawasi kepala daerah baru. Kepala daerah tidak boleh mengangkat atau
mengganti pejabat di lingkungan SKPD kecuali setelah enam bulan setelah
pelantikan seperti diatur dalam Undang-undang
tentang Pilkada Pasal 162. Para kepala daerah dalam merombak jajaran
pejabat di SKPD harus mengedepankan profesionalitas, asas kebutuhan, kaderisasi
dan regenerasi. Praktek politik balas jasa atau balas dendam akan menghambat
kepala daerah dalam merealisasikan visi-misi, program kerja dan janji kampanye.
Wa
Allahu Alam
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar