Politik memang unik. Dalam berpolitik
ada tawa, tangis, juga rasa takut. Saat menggapai tujuan dan ambisi,
kebahagiaan datang beriringan dengan tawa. Ketika gagal meraih apa yang
dicitakan, kesedihan dan tangiisan tak
terhindari. Kemudian bila ancaman
menghadang, rasa takut membayangi
kegagalan. Bagi politisi tawa, tangis dan taku
terekspersikan secara berbeda. Tawa diekspresikan dengan perayaan
syukuran atau pesta kemenangan atas kesuksesan yang diraih. Semua orang yang
terlibat merasakan. Team sukses, sponsor, juga massa pendukung akan menikmati
hasil jerih payah mereka.
Tangisan
saat kalah diungkapkan politisi dengan menggugat sang pemenang. Mencari seribu
cara mengungkap kecurangan. Menyiapkan puluhan pengacara untuk kembali
bertarung di ranah hukum. Berbeda ketika menang, team sukses, sponsor, massa pendukung cukup meratapi. Selanjutnya
jajaran elit partai dengan para pendekar hukum yang berusaha keras meraih
kesuksesan yang hampir hilang. Politisi kerap tak siap kalah. Buktinya sengketa
Pilkada serentak beberapa waktu lalu menumpuk di MK. Hampir semua daerah
menggugat.
Jika
ada ancaman yang menghadang, menghalangi impian politik. Politisi menghadapi
dan menyikapinya berbeda lagi. Takut kalah melahirkan kepanikan. Kepanikan
kadang menggiring ke pilihan yang tak rasional, yang bertentangan dengan logika
masyarakat. Maka dipilihlah strategi sesat menyesatkan. Walau, masih ada
politisi yang bersikap realistis. Dengan optimisme, mereka mencari strategi
jitu.
Terkait
dengan rasa takut politisi, menarik bila mengamati isu politik mutakhir. Poltik
nasional mencerminkan ketakutan para politisi. Pertama, soal banyaknya para
pejabat (dari kalangan politisi seperti anggota legislatif, kepala daerah) yang
tidak melaporkan harta kekayaan. Kedua, rencana revisi Undang-undang Pilkada
akibat Ahok efek.
Kekayaan
pejabat
Belum lama Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) merilis, banyak pejabat negara yang tidak atau belum mengumpulkan
laporan harta kekayaan. KPK menyatakan tingkat
kepatuhan pejabat untuk melaporkan harta kekayaan belum terlalu tinggi. Menurut
data KPK, sekitar 30 persen pejabat
belum melaporkan kekayaannya.
Lebih mengejutkan,
menurut Koalisi Masyarakat untuk Parlemen Bersih, ternyata anggota DPR yang paling banyak. Arief Rachman, kordinator koalisi menyebutkan
setidaknya ada 60 persen anggota DPR yang belum melaporkan kekayaannya. Saat
ini jumlah anggota DPR mencapai 560 orang. Karenanya pihaknya mendesak
KPK membuka daftar nama anggota DPR yang tak melaporkan kekayaan. (https://nasional.tempo.co)
Melaporkan harta kekayaan
bagi para penyelenggara negara merupakan tuntutan Undang-undang. Hal itu diatur
dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme,
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, dan Keputusan Komisi Pemberantas Korupsi Nomor: KEP.07/KPK/02/2005
tentang Tata Cara Pendaftaran, Pemeriksaan, dan Pengumuman Laporan Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara.
Apa
yang dilakukan para politisi di senayan menimbulkan tanya, kenapa mereka tidak melakukan? Ada apa di
balik strategi menyembunyikan kekayaan seperti itu? Menurut hemat saya ini
bagian dari rasa takut para politisi terhadap ancaman terhadap kekayaan yang
mereka timbun. Hal itu sekaligus menjadi
ancaman terhadap eksistensi mereka di pentas politik nasional. Bukankah dari
rekening gendut, transaksi yang mencurigakan, atau perkembangan kekayaan yang
tak logis bisa menjadi pintu masuk pada jeratan korupsi oleh KPK? Dan pastinya akan menghancurkan karir dan mimpi
politik yang sedang dibangun.
Isu Revisi UU Pilkada
Paling
mutakhir adalah isu revisi UU Pilkada. Kalangan DPR berencana merivisi UU
tentang Pilkada. Isu revisi UU Pilkada sarat dengan muatan politik. Diyakini
khalayak ada motif pencegalan terhadap calon independen. Sebabnya tak lain
karena diantara yang menjadi fokus revisi adalah syarat pencalonan calon
independen. Syarat dukungan direncanakan dinaikan menjadi 10%- 15% atau 15%-20%
dari jumlah DPT.
Fakta
politik di atas, saya melihatnya sebagai Ahok
efect. Sebelumnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berencana mencalonkan diri
sebagai Gubernur DKI pada Pilkada serentak 2017 lewat jalur independen. Ahok
yang sempat merapat ke PDIP itu akhirnya mengikuti saran Teman Ahok memilih
jalur independen. Seperti diketahui, sebagai bakal calon potensial berdasarkan
hasil berbagai survei tentu banyak partai politik yang mengincar, ingin
mencalonkan termasuk PDIP.
Kekecewaan
PDIP ditujukkan elit politik partai banteng mocong itu dengan mendiskriditkan
relawan yang tergabung dalam Teman Ahok. Mereka dianggap telah melakukan
deparpolisasi. Yakni usaha melemahkan dan menghilangkan pengaruh partai
politik. Padahal Teman Ahok merupakan
komunitas anak muda yang peduli dengan daerahnya. Mereka bermimipi memiliki
pemimpin yang bebas dari kepentingan parta politik. Pemimpin yang hanya bekerja
untuk rakyat. Untuk tujuan itu mereka
mempercayai Ahok.
Ahok effect telah menggebrak parlemen. Para
poltisi mulai takut fenomena Ahok diikuti di daerah lain. Menurut Pengamat Politik dari IndoStrategi, Pangi Syarwi
Chaniago Ahok efect sesuatu yang tak
mustahil. Bakal banyak calon kepala
daerah meninggalkan parpol, tidak mau terikat dan menjadi hamba parpol dengan
jalur independen. Revisi UU Pilkada, bertujuan mengantisipasinya. Ini adalah langkah partai agar kembali laris dan laku,
serta stategi partai untuk menjegal kemungkinan Ahok
Effect. (http://sp.beritasatu.com/)
Hal
di atas diakui oleh Sekretaris Fraksi
Hanura di DPR, Dadang Rusdiana. Menurutnya, wacana memperberat syarat bagi calon
independen untuk maju dalam pilkada muncul karena kekhawatiran terhadap sosok Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Jika Ahok mampu memenangi Pilkada DKI Jakarta
2017 melalui jalur independen, maka hal tersebut dikhawatirkan akan menjadi
inspirasi bagi calon di berbagai daerah untuk maju melalui jalur tersebut. (http://nasional.kompas.com/)
Akhir kata, politisi akan dihantui rasa takut ketika kepentingan politiknya terancam.
Mengekspresikan rasa takut dalam batas wajar dan rasional itu tak masalah. Menjadi
problem ketika rasa takut itu disikapi secara
berlebihan bahkan tak masuk akal. Politisi tak harus takut melaporkan
kekayaan. Politisi tak perlu panik dengan fenomena Ahok beserta effect-nya.
Ketakutan berlebihan pada kedua persoalan itu membuat rakyat tertawa. Rakyat
merasa geli melihat pola, tingkah laku para
poltisi. Dalam pikiran mereka, kenapa para politisi harus takut? Wa
Allahu Alam
Tulisan Dimuat di Harian Umum Radar Cirebon, Senin 21 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar